Chapter 06

112 30 9
                                    

Tidak ada lima detik aku sampai di ruang administrasi, bahkan belum sempat aku mendudukkan diri di atas kursi, Boruto datang dengan senyuman—yang bagiku agak—menyebalkan.

Aku mengembuskan napas panjang sebelum mengembangkan segaris senyum tipis. Hingga tiba-tiba keadaan berubah gelap.

Aku panik, tentu saja. Boruto lekas menghampiriku, menarik lenganku dan menggenggamnya. Aku tahu dia berusaha untuk membuatku sedikit lebih tenang, dan itu berhasil. Boruto bergumam pelan tentang siapa yang menyabotase semua lampu di seluruh ruangan padahal pertemuan baru saja dibubarkan. Boruto juga tampaknya gemetar sebab ada suara langkah kaki yang kian mendekat menuju presensi kami berdua setelah ia bergeming kurang dari tiga detik.

"Boruto, kau ... em, baik-baik saja?" tanyaku. Kendati aku tidak tahu bagaimana ekspresinya sekarang, namun aku tahu bahwa wajahnya tepat di hadapanku dan kuyakin dia sekuat mungkin menekan rasa takutnya agar tak membuatku panik. Aku bisa merasakan napasnya yang sedikit memburu di dahiku.

"Ya."

Aku bersyukur Boruto menjawab, kemudian sesekon berikutnya suara Mitsuki datang diikuti dengan siluet terang dari pantulan seragam astronautnya yang berwarna cyan itu. Aku agak terkejut namun Mitsuki tampaknya butuh teman, dia jelas terdengar ketakutan ketika lampu mendadak mati dan tak menemukan seorang pun di dekatnya. Mitsuki begitu bersyukur saat mendengar suara bisik-bisik kami di ruangan ini, katanya dia berada di ruang oksigen bersama Sumire tadi, namun saat keadaan berubah gelap, Mitsuki sama sekali tak menemukan suara siapa-siapa di ruang oksigen. Sumire sudah pergi. Dan entah kapan gadis itu meninggalkannya sendirian.

"Kapten, kita tidak memperbaiki ini?" Mitsuki mencari keberadaanku. Bahuku tersentuh tangannya yang meraba-raba sekitar.

Aku menggeleng dan langsung merasa bodoh karena mereka berdua pasti tidak akan melihat apa yang kulakukan. Lalu aku membuang napas kasar, "Tidak. Kita tunggu sampai sepuluh menit. Kalian tetap di sini bersamaku. Kalau tidak menyala juga, maka kita ke sana hati-hati dan memperbaikinya."

Mereka berdua berucap tegas dan menuruti perintahku. Kami duduk berjejeran dengan diriku berada di tengah antara Boruto dan Mitsuki.

Aku menyalakan layar pelacak yang ikut mati seiring dengan padamnya lampu di seluruh ruangan di pesawat Mira HQ ini. Keadaan sedikit lebih terang dan aku sekarang bisa melihat wajah kedua pria di sebelahku yang spontan memasang wajah takjub setelah melihat ke sana.

Aku jelas terpaku, karena ya ... tidak ada siapa pun di ruangan mana pun. Hingga jantungku mendadak berhenti sejenak, sebelum Mitsuki kembali menenangkanku bahwa ketika lampu mati maka semua anggota tak akan terlihat juga di layar pelacak karena sistemnya tersambung dengan listrik yang sama. Koneksinya mati, jadi yang kami lihat hanya layar proyeksi tanpa sambungan prosesor citra yang terpasang di pesawat ini.

Sungguh, aku merasa amat tolol. Aku kapten namun melupakan hal lumrah ini—yang padahal sudah sangat kuingat ketika kali pertama aku ditunjuk untuk menjadi kapten waktu itu. Sekelabat aku diempas oleh komentar beberapa orang yang mengatakan bahwa aku tak pantas menjadi seorang pemimpin.

Aku spontan menunduk, mengembuskan napas berat lalu mengusap wajah.

"Kapten, jangan terlalu memaksakan dirimu. Kau boleh beristirahat dan jangan terlalu keras berpikir, kau harus sedikit rileks." Boruto menepuk bahu kananku seraya tersenyum lebar.

Aku mengangguk. Menoleh ke Mitsuki dan tersenyum, berterima kasih kepada mereka berdua bergantian. Lalu aku teringat kalau di dekat sini ada sebuah ventilasi, lantas aku menegakkan tubuh dan berpikir di mana letak lubang itu. Karena jika sampai sepuluh menit tidak ada yang memperbaiki penerangan maka kuyakin pembunuh itu tengah beraksi dengan mengandalkan jalur ventilasi di pesawat ini.

Di Antara KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang