26

2.9K 333 23
                                    




🥀__🥀


Jevin tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya, padahal Marsha dan putri kecil nan cantiknya sudah ada bersamanya, tapi mimpi-mimpi itu, suara-suara itu tidak pernah mau berhenti menghukum Jevin, malah suaranya semakin berisik membuat Jevin harus meninggalkan Marsha dan Icel yang sudah berjelajah kealam mimpi, tidak ingin keduanya terganggu.

Jevin terisak kecil, kepalanya sakit, dadanya sakit, tangannya bergetar. Ini semua ia dapatkan ketika ia sudah memasuki dunia kerja, fikirannya tentang keadaan Marsha, tentang pekerjaan, tentang hidupnya membuat mentalnya melemah. Kadang Jevin harus menelan beberapa butir obat tidur agar ia bisa terlelap dan suara itu menghilang. Jevin merasakan ada yang memeluknya, tidak perlu bertanya siapa, karena sudah pasti Marsha.


"Shhhh, I'm here" Pelukkan itu menenangkan, dan sedikit mengusir kegelisahannya.


"I'm the worst. Aku ninggalin kamu, aku gak ada tanggung jawab sama sekali atas kamu. Aku punya anak tapi aku gak ada diwaktu pertumbuhan anak aku. Aku bukan orang baik, Sha kepala ku sakit" Kalimat itu tidak diucapkan dengan lancar, karena nafas Jevin tidak beraturan tangisnya pun belum mereda.

"No, you're the best. Laki-laki yang pantas untuk dicintai, ayah yang pantas untuk dijadikan cinta pertama. Kamu manusia Jev, berbuat kesalahan itu wajar, sekarang kamu udah dapat ganjarannya, aku juga sudah memaafkan kamu. Tolong, maafkan diri kamu sendiri ya?" Marsha juga menangis disana. Mama Jevin dan Karin selalu bercerita kalau selama kepergiannya Jevin rutin menemui psikolog, meminum berbagai macam obat tidur, bahkan sesekali Jevin pernah melakukan percobaan bunuh diri. Jevin merasa dirinya tidak patut untuk dicintai lagi karena ia sendiri sudah menyakiti orang yang ia cintai.


"Jangan gini, Aku disini sama Icel bakal selalu ada buat kamu. Jev jangan berfikiran kayak gini lagi"


"Icel gak seharusnya punya ayah kayak aku, aku bukan ayah yang baik Sha" Marsha menguraikan pelukkannya, memaksa Jevin untuk menatap dirinya. Tatapan Marsha serius, Marsha tidak ingin Jevin terus menerus tenggelam dalam rasa bersalahnya sedang dirinya sudah memaafkan.

"Icel, will love her ayah unconditionally. And of course me too. Jev, gak ada didunia ini orang yang gak pantes dicintain. Jadi tolong. Maafkan diri kamu sendiri, abis ini kita jalanin hidup kita bertiga. Aku, kamu sama Icel" Marsha kembali memeluk Jevin ketika tubuh bergetar Jevin sudah mereda. Membisikkan jutaan kalimat cinta, agar Jevin tahu kalau cinta Marsha masih miliknya.







🥀__🥀







"Hueee ibuuu, aku gamau pisah sama kaka Clala" Bandara penuh dengan suara tangis Icel, agak lebay sebenarnya tapi tangis Icel benar-benar melengking sampai-sampai beberapa orang memandang risih mereka.


"Icel. Daddy, Mommy sama kak Clara kan masih tinggal disana. Kita disini sama ayah. Nanti pasti ketemu lagi kok" Balita itu menggeleng. Tangisnya masih sama kuatnya.


"Icel mau bareng Mommy?" Icel mengangguk.

"Yasudah, sama Mommy sini. Tapi ibunya gak berangkat loh ya?? Ibunya sama Ayah disini" Tangisnya mereda meski masih sesenggukan.

"Icel mau sama Mommy, tapi mau sama ibu jugaa" Giliran Jevin yang maju, berharap ini bujukkan terakhir.


"Ayah kan kerja disini sayang, nanti ada oma sama opa juga disini. Kita beli mainan juga yang banyak. Nanti kalo ayah libur baru kita susul kakaknya ya?? Nanti kita liburan kesana oke??" Icel tidak menjawab, tapi tanganya sudah beralih memeluk erat leher Jevin. Beberapa orang dewasa disana menghembuskan nafas lega.


"Dadah dulu dong kakaknya, nanti kan lama gak ketemunya"


"Mainan aku jangan diganggu loh kakakkk" Marko yang receh tidak dapat menahan tawanya, ekspresi Icel saat memperingati kakaknya sangat lucu dan jauh dari kata seram.


"Iyaa, nanti mainan kamu aku kirim semuanya" Meski seumuran, entah kenapa Clara selalu mengalah pada Icel. Kadang Marsha takjub karena Clara termasuk dewasa untuk balita seumuran mereka.


"Secepatnya kirim undangan ya bro, adek gue gak mungkin lo gantungin buat kedua kalinya kan" Marko menepuk bahu Jevin sebelum akhirnya menggendong Clara, anak itu tidak mungkin dibiarkan berjalan.

Lambaian tangan mengiringi kepergian Marko, Yeri dan juga Clara. Icel masih bersedih karena sedari kecil ia dan Clara tidak pernah berpisah.


"Ayahh, Icel mau kakak. Ayah bisa gaaa caliin kakak buat Icel??"


"Kalo kakak gak bisa Icel, tapi kalo adek bisa ayah usahakan"







🥀__🥀





For next book, mau cheating lagi gak?? tapi agak komplek soalnya ada masalah sama family juga(?)

ini belum tau, tapi aku udah kefikiran mau nulis draftnya wkwkwkwk, tapi aku mau liat draft lain dulu, siapa tau ada yg cocok di publish....

See you tomorrow muah muahhhh

Behind Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang