Assalamualaikum...
Akhirnya setelah sekian lama, bisa kembali menyapa. Menuliskan sepenggal cerita yang semoga bisa diterima dengan baik, ya. Untuk kali ini, berbeda dari cerita-ceritaku sebelumnya. Sebab ini untuk pertama kalinya mendapatkan tantangan nulis yang temanya Mental Healt. Ambil baiknya, buang buruknya hehe.
Sekian dulu cuap-cuapnya 😀
HAPPY READING!!!
****
Mendengar kata Senja, mungkin dari banyaknya orang akan langsung membayangkan bagaimana keindahan Senja itu memuaskan mata mereka. Meski keindahannya hanya hadir sesaat, tapi tak bisa dipungkiri bahwa Senja selalu dinanti oleh kebanyakan orang. Hanya sekadar untuk menikmati waktu sore sembari menikmati secangkir kopi hangat di teras rumah. Namun, semua itu berbanding terbalik bagi gadis bernama Senja. Menurutnya, nama yang diberikan Ibunya itu hanya membuatnya semakin berharap kehadirannya akan diterima oleh orang lain sebesar itu. Padahal, nyatanya ia selalu terhempas. Dalam hidupnya, hanya ibu dan ayahnya yang selalu berdiri di sampingnya dan satu temannya bernama Ola.
Dengan napas terengah-engah, Senja memasuki gedung berwarna putih yang sudah kusam. Tempat yang selalu ia datangi ketika hatinya tengah kacau. Ia masih tak percaya, jika di dunia ini masih ada manusia yang tidak memiliki perasaan seperti itu. Padahal sedari kecil, Senja selalu menghormati dan memperlakukannya dengan baik. Tapi kenapa dirinya selalu ditekan seperti ini hanya karena keinginannya untuk melanjutkan kuliah?
Tiba-tiba, ada sebuah tangan memegang pundak sebelah kiri Senja. Membuatnya terpekik kaget. Sebab saat ia masuk tadi, gedung tua ini sangat sepi. Tidak orang satu pun kecuali dirinya.
“Lo—siapa?” Dengan terbata-bata Senja bertanya.
Seorang laki-laki yang berada di hadapan Senja itu hanya menunjukkan wajah datarnya. “Kepo!”Senja mendengkus kesal mendengar jawaban dari laki-laki yang memiliki pawakan tinggi, kulit putih bersih, hidung mancung dan terlihat sangat tampan menurut Senja.
“Lo ngapain di sini?” lanjutnya.
“Kepo!” jawab Senja menirukan ucapan laki-laki di depannya. Membuat laki-laki tampan itu mendekat ke arah Senja. Tepat di telinganya laki-laki itu membisikkan sesuatu pada Senja, “Jangan sok berani!”
Menyadari dirinya yang terlalu dekat dengan tubuh laki-laki asing itu, dengan tenaganya yang tidak seberapa Senja mendorong tubuh laki-laki itu. Namun semua sia-sia, saat laki-laki itu kembali mengikis jarak antara keduanya.
“Lo apa-apaan, sih!” sentak Senja yang sudah hilang kesabaran menghadapi tingkah laki-laki itu yang menurutnya sangat aneh.
“Bantu gue.” Dua kata yang keluar dari mulut laki-laki itu membuat Senja menghentikan rontaannya.
Dengan alis yang terangkat sebelah, Senja bertanya, “Bantu apa?”
“Peluk gue, ya.”
“Hah?” Belum sempat Senja mencerna dengan baik, laki-laki itu sudah membawa Senja dalam dekapannya. Kaget dan rasa nyaman berpadu menjadi satu.
Tidak lama, hanya berlangsung sepuluh menitan. Laki-laki itu mengurai pelukannya sembari tersenyum tipis. “Gue tadi nggak sengaja ngikutin lo. Gue lihat lo diperlakukan dengan tidak baik.”
Tubuh Senja menegang. Ia tidak sadar, bahwa setelah pertikaiannya dengan bibinya ada yang mengikutinya sampai di sini. Dari banyaknya manusia yang ada, kenapa harus laki-laki di depannya ini? Arghh...
“Gue nggak tau, sejak kapan lo mendapat perlakuan yang tidak adil seperti itu. Yang gue tau, lo gadis yang kuat. Jaga diri lo, kalau lo udah nggak kuat di sana. Lo pergi, jangan buat mental lo semakin rusak,” ucap laki-laki itu sebelum akhirnya memilih untuk duduk di sebuah kursi sembari membaca buku. Yang entah dari mana laki-laki itu dapatkan buku itu, Senja tidak tahu.
Senja mendekat ke arah laki-laki asing yang sudah melihat bagian kecil dari hidupnya. “Lo siapa?” tanya Senja.“Galaksi, lo Senja?” jawab Galaksi tanpa mengalihkan pandangan dari bukunya.
Senja mengangguk.
“Lo nggak pulang?”
Senja menggeleng. Ia masih ragu untuk pulang, ada ketakutan tersendiri yang ia rasakan. Bukan karena ibu dan ayahnya, namun bibinya yang selalu membuat ia tak betah. Tanpa sepengetahuan ibu dan ayahnya, bibinya selalu memaki Senja dengan kata-kata pedas. Tidak jarang, bibinya pun mempengaruhi orang-orang di lingkungannya untuk tidak menyukainya. Padahal Senja, sedari dulu selalu berusaha untuk tidak mengusik kehidupan siapa pun. Ia berusaha untuk membuat dirinya sebaik mungkin agar kehadirannya diterima. Namun sepertinya bibinya dan orang-orang itu sudah menutup mata untuk melihat sisi lain yang ada pada Senja.
Galaksi terdiam, mengamati wajah Senja. Cantik ucap hatinya. Meski Senja tidak memiliki kulit putih bersih seperti gadis kebanyakan.
“Lo juga nggak pulang?” tanya Senja yang membuat Galaksi tersadar dari lamunannya.
“Gue? Pulang. Tapi nanti. Gue mau nenangin diri gue dulu.”
Galaksi dalam diam, merasakan perubahan pada dirinya. Biasanya ia tidak banyak bicara, bahkan ia terkenal dingin. Namun entah kenapa, bersama gadis di depannya ia menjadi berbeda. Seakan ada magnet yang membuat ia ingin terus memantau keadaan gadis itu. Padahal ia baru saja menemuinya tadi saat ia baru saja pulang dari rumah temannya—Fares.
“Lo ada masalah?” tanya Senja polos.
Galaksi terkekeh. “Orang hidup pasti ya punya masalah. Pertanyaan lo nggak mutu banget.”
Senja tertunduk malu. “Ya gue tau, semua orang juga punya masalah,” ucapnya lirih namun masih terdengar di telinga Galaksi.
“Masalah ada juga pasti ada jalan keluarnya. Santai aja, nggak usah dibawa tegang. Anggap aja kayak lo lagi ujian sekolah.”
“Terus kenapa lo tadi tiba-tiba meluk gue?”
“Karena gue mau nenangin lo, udah nggak usah banyak tanya.”
Mendengar ucapan Galaksi, membuat Senja bertanya-tanya. Maksudnya apa?
___
Bojonegoro, 16 Februari 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
SENJA
General FictionBagi Senja, dunia itu terlalu kejam untuknya. Atau mungkin ia berada di lingkungan yang salah? Entahlah. Senja tidak pernah tau apa salahnya selama ini, hingga ia harus dikucilkan di tengah keluarganya sendiri hanya karena ia memiliki mimpi yang bes...