“Gue ada buat lo, itu yang perlu lo ingat.”
Seperti kaset rusak, ucapan Galaksi berputar berulang-ulang kali di kepala Senja. Entah kenapa kalimat sederhana itu membuat Senja merasa tenang, seperti punya sandaran. Rumah untuk ia pulang dan bercerita akan semua yang dirasakannya.
Pertama, Galaksi bisa menenangkannya melalui ucapannya yang lagi dan lagi seperti mengandung sihir. Yang membuat Senja mampu menurut.
Kedua, Galaksi mungkin terkesan cuek, kadang. Tapi tidak bisa dipungkiri bahwa kepedulian dari laki-laki itu lebih besar.
Ketiga, ucapannya mungkin kadang terlalu keras untuk Senja, tapi Senja merasa terlindungi akan kehadiran laki-laki itu.
Sungguh, ia benar-benar berterima kasih kepada Tuhan. Yang telah mengatur pertemuannya dengan Galaksi hingga membuat Galaksi tergerak untuk selalu ada untuknya. Meski masih banyak kejanggalan bagi Senja, karena Galaksi notabene orang baru dalam hidupnya, tapi mau membuat dirinya terlibat dengan masalahnya.
Lamunan Senja buyar, saat ia mendengar ponselnya berdering. Ia mengambil ponselnya, dan melihat nama si penelpon. Tanpa tersadar bibir Senja tertarik ke atas membentuk senyum. Bukannya mengangkat, Senja malah membiarkan panggilan itu begitu saja. Menunggunya sampai terputus sendiri. Setelahnya, jari letih Senja dengan lincah mengetikkan sebuah pesan untuk si penelpon tadi, yang tidak lain adalah laki-laki yang berhasil membuatnya sedari tadi memikirkannya. Galaksi, dialah orangnya.
Senja
Ada apa?
Tidak lama, balasan dari Galaksi pun masuk ke dalam ponsel Senja.
Galaksi
Knp gak lo angkat aja, knp malah chat
Senja terkekeh pelan membaca deretan kata yang ditulis oleh Galaksi. Ia sengaja, karena nanti kalau panggilan Galaksi diterima pasti banyak pertanyaan yang akan diajukan oleh laki-laki itu. Ia sedang malas menjelaskan apapun.
Senja
Gapapa
Galaksi
Gue tlpn aja
Senja
Gue gak mau angkat
Galaksi
Jgn krs kpla
Senja
Terserah gue
****
Di jam yang sama, di tempat yang berbeda. Laki-laki yang kini tengah memangku gitar sembari menikmati malam di balkon kamarnya. Sesekali melirik ponselnya yang tergeletak di sampingnya, menunggu balasan dari seseorang. Sedikit kesal, karena panggilannya sedari tadi tidak ada yang diangkat, pesannya tidak juga dibaca. Padahal sudah centang dua abu-abu.
“Lo paling bisa bikin gue kesel,” gumam laki-laki yang tidak lain adalah Galaksi.
Derap langkah kaki membuat Galaksi menoleh. Ia mendengkus, saat melihat ketiga temannya itu sudah berdiri di ambang pintu dan sebentar lagi akan sampai menuju ke arahnya. Niatnya malam ini ia ingin bersantai, tapi ketiga temannya itu seperti tidak ingin itu terjadi.
“Ngapain ke sini?” tanya Galaksi dengan pandangan lurus ke depan. Tanpa melihat ketiga temannya yang sudah mengambil duduk di sampingnya.
“Tamu datang, disuguhin minum dulu kek atau apa gitu. Jangan langsung ditanya-tanya.” Awan menyahuti ucapan Galaksi sembari mengambil alih gitar Galaksi yang nganggur di pangkuannya.
“Beneran, kalian ngapain ke sini?”
“Main.” Satu kata yang keluar dari mulut Farel dan mendapatkan anggukan dari Cakra, membuat Galaksi berdecak kesal.
“Pulang aja, deh,” usir Galaksi.
Awan menggeleng. Pertanda ia tidak ingin menurut ucapan Galaksi. Laki-laki itu bahkan sudah memetik gitar, bersiap untuk bernyanyi.
“Gue tau lo perlu hiburan, makanya kita ke sini,” ucap Awan yang masih fokus dengan gitar Galaksi.
Galaksi diam. Memilih tidak membalas apapun perkataan Awan dan beralih memainkan ponselnya. Ia mengembuskan napas kasar, saat melihat pesannya dibiarkan centang dua biru tanpa sebuah balasan. Baru kali ini, Galaksi sekesal itu hanya karena pesannya diabaikan. Padahal biasanya dirinya yang suka mengabaikan pesannya. Untuk pertama kalinya, ada gadis yang berani melakukan ini kepadanya. Ya, dari awal Galaksi seharusnya juga paham. Gadis itu memang sedikit unik dan lain daripada yang lain.
Cakra yang tidak sengaja melirik apa yang dilakukan Galaksi pun bersuara. “Chat aja lagi, cewek emang gitu.”
Galaksi yang tersadar ucapan Cakra ditujukan padanya pun segera menutup ponselnya dan memasukkannya ke celana pendeknya. Sementara Farel dan Awan yang awalnya fokus mempelajari kunci gitar sontak menoleh.
“Lagi chat siapa emang, Cak, si Galak?” tanya Awan yang memang memiliki keingintahuan yang tinggi.
Galaksi menatap Cakra, berharap laki-laki itu mau bekerja sama dengannya. Dan tidak membongkar apapun yang baru saja diketahuinya.
Awalnya Galaksi lega, saat Cakra tidak juga bersuara. Malah mengeluarkan ponselnya dari saku hoodie-nya. Namun setelah itu, ia dibuat gelagapan karena tiba-tiba Cakra menyebutkan satu nama yang membuat Awan dan Farel menatapnya.
“Senja,” ucap Cakra singkat.
Farel bersikap biasa, tapi berbeda dengan Awan yang sudah bersorak heboh. Seolah Galaksi telah melakukan kesalahan.
“Nggak nyangka, teman gue geraknya cepat banget. Lo takut gue ambil, ya?”
Galaksi melemparkan kulit kacang ke arah wajah Awan. Bukannya marah, Awan justru tertawa melihat tingkah Galaksi yang seperti itu. Entah kenapa malah terus membuat Awan ingin berulah.
“Santai kali aja, Gal. Kalo dia jodoh lo juga bakal sama lo. Tapi kalo dia bukan jodoh lo, ya gue ambil. Gue nggak mau nyia-nyiain kesempatan yang ada soalnya,” ucap Awan masih terdengar santai.
“Kayak dia mau sama lo aja,” sahut Galaksi ketus.
Awan terkekeh. “Mau dia nolak gue di awal, kalau Tuhan ngaturnya gue jodohnya dia. Ya dia nggak ada pilihan lain selain nerima.”
“Benar kata Awan, Gal,” timpal Farel.
Entah kenapa, Galaksi rasanya saat ini juga semakin ingin mengusir semua teman-temannya. Apalagi Awan, yang menurut Galaksi sekarang lebih banyak bicara. Dan yang dibicarakan pasti tidak jauh dari Senja dan mengambil Senja.
“Lo takut Senja sama gue, Gal?”
____
Bojonegoro, 28 Februari 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
SENJA
General FictionBagi Senja, dunia itu terlalu kejam untuknya. Atau mungkin ia berada di lingkungan yang salah? Entahlah. Senja tidak pernah tau apa salahnya selama ini, hingga ia harus dikucilkan di tengah keluarganya sendiri hanya karena ia memiliki mimpi yang bes...