PROLOG

46 6 0
                                    

Tiga pemuda terlihat memasuki kawasan rumah tua di tengah hutan Alas Purwo. Rumah yang terlihat angker itu seolah-olah memanggil mereka untuk berteduh ketika hujan mulai turun dengan lebatnya. Mereka adalah pemuda yang  duduk di bangku perkuliahan semester akhir. Awalnya mereka berjumlah empat orang, tetapi satu dari mereka hilang di hutan entah ke mana. Tersisa Dika, Jeno, dan Danish. Rencana mereka ingin melakukan sebuah penelitian di hutan tersebut. Namun malah terperangkap tipuan gaib yang membawa mereka masuk area terlarang.

Lelah, letih, lapar, dan kedinginan. Empat hal yang tak mampu mereka elakkan. Sebab empat hal itu mereka memberanikan diri untuk masuk rumah tak berpenghuni tersebut. Mengabaikan pertanyaan besar yang ada di benak mereka. Rumah siapakah itu?

Kakek Simbah adalah pria tua yang pertama mereka temui ketika masuk ke dalam rumah. Bukan marah, Kakek Simbah malah menjamu mereka dengan berbagai hidangan dan menyuruh beristirahat di sana. Mereka senang awalnya, sebelum sesuatu yang aneh terjadi. Dika memasuki sebuah kamar misterius di lantai atas.

Kamar yang elok dengan ornamen naga. Bagai kamar penuh kehormatan, itulah kamar seorang raja. Sebuah cermin besar mengangetkan Dika. Ada sosok Yogi—temannya yang hilang ada di dalam sana. Tiba-tiba sebuah bisikan asing terdengar oleh indra. Bahkan ketika Dika menutup erat telinganya, suara bisikan itu masih jelas terdengar. Suara yang memerintahnya untuk menghancurkan cermin itu.

"Yo-Yogi ngapain lo di situ?"

Yogi menatap kosong ke arah Dika. Seolah-olah raga tanpa jiwa.

"Yogi! Gue tanya lo kenapa di dalam? Ayo keluar! Kami bertiga nyariin lo susah payah!"

Lagi, Dika mendengar bisikan itu. Dika merasa pening dan menutup erat telinganya. Sebuah perasaan tak nyaman dan memuakkan menjadi satu. Dika menatap nanar cermin di hadapannya. Dika perlahan maju, hingga detik berikutnya cermin itu pecah oleh tinjuan Dika.

Danish dan Jeno yang terlelap di ruang tengah berjengkit kaget. Tiba-tiba rumah yang mereka tempati berguncang hebat. Mereka berpegangan pada sofa dengan erat. Hingga hal di luar nalar terjadi. Rumah tua yang mereka pijak menjelma menjadi sebuah istana tanpa warna. Di tengah keterkejutan itu, suara erangan Dika terdengar dari lantai atas.

"Danish! I-ini kenapa?"

"Gue nggak tau! Dika mana?"

Tubuh Dika membentur lantai. Yogi berdiri di hadapannya dengan bola mata memerah seutuhnya. Dika meringsut mundur, menghindari Yogi yang terus melangkah maju.

"Yo-Yogi ini gue. Gue Dika, teman lo! L-lo—"

Yogi mencekik leher Dika dengan keras. Berusaha mempertemukan sorot matanya dengan Dika. Namun Dika, memilih menatap ke arah lain. Kendati mulutnya terbuka untuk mengais oksigen sebanyak mungkin.

Bruk!

Dika menendang keras perut Yogi. Dika secepatnya membuka pintu dan keluar dari kamar itu. Langkah brutal Dika menuruni anak tangga terdengar oleh Danish dan Jeno. Juga memancing satu pasukan istana keluar dari bilik-bilik.

"Kabur! Kabur gue bilang!" teriak Dika menghampiri kedua temannya.

Ketiganya melarikan diri. Berlari kencang tak tahu arah. Rumah tua yang tak begitu luas awalnya menjelma menjadi istana nan luas. Membuat mereka bingung mencari jalan keluar ke arah mana. Sementara pasukan asing terus mengejar mereka dari arah belakang.

"Pintunya mana! Nggak ada pintu!" teriak Danish frustrasi.

"Naik ke atas!" seru Dika ketika menemukan sebuah tangga.

"Ya udah cepetan!"

Deru napas saling bersahutan, keringat mengucur deras membasahi wajah. Danish, Jeno, dan Dika berada di atap istana. Terduduk lemas hampir tak ada tenang tersisa.

"H-hhaah ... a-apa yang terjadi sih?" tanya Danish.

"Ini cuma mimpi 'kan?" tanya Jeno juga.

Dika mengajak rambut basahnya frustrasi. Bersandar sepenuhnya pada pintu atap istana. Sekelebat ingatannya kembali muncul, ketika ia mendengar suara nyanyian gadis pada awalnya.

"Pokoknya setelah gue coba menemukan pemilik suara itu, gue malah melihat sebuah tangga menuju ke arah atas. Ada satu kamar yang bener-bener punya aura aneh. Gue masuk dan kaget liat nuansa kamar itu. Persis kediaman seorang raja. Gue nemuin sebuah cermin gede. Dan kalian tau apa gue liat?" jede Dika menatap kedua temannya yang langsung menggeleng.

"Apa?" tanya Jeno.

"Gue liat Yogi ada di dalam," imbuh Dika.

"Apa? Yogi? Serius lo?" tanya Danish terkejut.

Dika kembali menceritakan bagaimana ia memecahkan cermin itu dan Yogi tiba-tiba muncul di hadapannya.

"Yogi nyerang gue, Nish, No. Tampilan dia aneh banget. Kayak orang kerasukan setan tau nggak. Dia bahkan cekik gue sampai gue hampir mampus." Dika menatap bergantian Danish dan Jeno. Melemparkan sorot mata menyakinkan agar dipercaya keduanya.

"Ini nggak masuk akal tau nggak!" kesal Jeno.

"Lo nggak percaya sama gue, No?" balas Dika menatap nyalang.

"Yaiyalah. Konyol banget tau nggak."

"Lo mending pergi deh ke kamar itu. Liat gimana Yogi berubah. Raga dia emang Yogi, tapi jiwa dia entah siapa. Sorot matanya merah asal kalian tau!" Dika marah. Ia berdiri menunjuk wajah Jeno saking kesalnya.

"Oke stop! Ini bukan saatnya buat ribut." Danish melerai. "Ini beneran terjadi. Aneh tapi nyata. Di luar, pasukan aneh nyerang kita! Pikirin cara buat kabur!" imbuhnya.

"Oke anggap gue percaya. Terus kita gimana? Tempat ini udah berubah jadi istana aneh. Kita bisa kabur lewat mana? Dengan cara apa?" tanya Jeno menuntut.

Brak! Brak! Brak!

Ketiganya berjengkit kaget dan panik. Pintu atap istana berusaha dibuka dari dalam. Jeno dan Danish menatap Dika dengan tatapan bertanya-tanya. Apa yang harus mereka lalukan.

"Dik, ini gimana?"

"Kita kabur!" sahut Dika berlari ke arah pembatas atap.

Dika langsung berpegangan pada Danish begitu melihat ke arah bawah istana yang benar-benar berjarak sangat tinggi dari atas. Meski keadaan bawah terbilang sepi dan gelap, tetapi tak ada cara untuk turun.

"Tinggi banget. Kita nggak bisa loncat dari atas sini, Dik!" ucap Jeno.

"Tapi mereka bakal masuk ke sini dan kita—"

Brak!

Sekali lagi semangat hati mereka dipermainkan. Rasanya seperti pijakkan kaki yang meleset hingga jatuh ke jurang. Beberapa pasukan aneh bermata merah berbondong-bondong menghampiri mereka. Tak ada cara lain selain melawan dengan kemampuan yang ada. Dika meraih tongkat besi yang menancap di sudut atap istana. Danish pun melakukan hal yang sama. Kecuali Jeno yang mengandalkan tinjuannya. Di tengah perlawanan itu, Dika tiba-tiba teringat sesuatu. Yakni ketika Yogi yang berusaha membuat dirinya menatap mata merah itu.

"Danish! Jeno! Hindari kontak mata dengan mereka! Kalian nggak boleh tatap mereka! Pokoknya kalian—"

Dika membulatkan matanya ketika melihat Jeno tergeletak di lantai sambil meradu tatap dengan salah satu penyerang. Sambil melakukan perlawanan, Dika melihat Jeno menatap kosong ke arah atas. Dika yakin, jiwa Jeno sudah tak ada di sana.

"Jeno! Jeno bangun woy!"

Dika beralih menatap si penyerang Jeno yang berjalan gontai menuju pintu atap. Belum sempat Dika melakukan pergerakan, tubuhnya terhunyung ke belakang. Dika merasakan tubuhnya melayang, pandangannya menggelap menatap langit malam. Dika terjatuh dari atas atap istana.


-PROLOG END-

📆Jumat, 18 Februari 2022

Be Careful [On-Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang