2 - Bumi Wilwatikta

117 12 2
                                    

"Kal... bangun..."

Seruni mendengar suaranya sendiri memanggil-manggil dari kejauhan. Ia ingin bergerak, tapi tubuhnya terasa sangat lemah. Kepalanya pusing, bahunya nyeri, dan ada beberapa titik di tungkainya yang perih luar biasa. Rasanya seperti ada yang menaburkan garam di luka yang terbuka, lagi dan lagi, hingga akhirnya Seruni tidak tahan. Rintihan serak lolos dari bibirnya selagi ia berjuang keras untuk membuka mata.

"Sakit..."

Sepatah kata yang disuarakan dengan lemah itu ternyata bekerja seperti magnet. Dalam sekejap, Seruni mendadak dikelilingi tiga wajah asing. Satu wanita cantik yang rambutnya digelung dan dua pria yang sama-sama berambut panjang sampai nyaris mencapai pinggang. Pria yang lebih tinggi mengenakan ikat kepala berwarna ungu tua, sedangkan yang satu lagi menutup mata kanannya dengan kain hitam, seperti bajak laut dalam film-film Hollywood.

Ketika Seruni berusaha melihat lebih jelas di ruangan yang temaram, ia menangkap sosok tiga pria lainnya berjalan hilir mudik. Pria-pria itu mengenakan aksesoris dan atribut yang berbeda, tapi ada satu kesamaan yang membuat Seruni tercengang: semuanya bertelanjang dada!

Oke, ada satu orang yang mengenakan atasan hitam, tapi yang lain hanya mengenakan kain batik dan katun beraneka warna untuk menutup tubuh bagian bawah. Bahkan, wanita yang rambutnya digelung itu juga hanya memakai kemben polos di dada dan kain batik sebagai bawahan.

Ini pasti mimpi! Seruni menjerit dalam hati.

Atau... jangan-jangan dia sudah meninggal dan saat ini berada di surga? Tidak mungkin, Seruni merasa terlalu banyak dosa untuk bisa masuk surga. Lagipula orang-orang ini tidak mirip gambaran bidadari dan bidadara yang konon menghuni surga. Dan surga macam apa yang tampak begitu... kuno? Dengan dinding batu bata merah, perabotan kayu sederhana, dan tempat tidur yang keras?

Seratus persen mimpi! Ini pasti—

"Seruni!"

"Dia sudah sadar?"

"Bagaimana keadaannya?"

"Kepalanya tidak apa-apa?"

"Kakinya bagaimana?"

Orang-orang yang mengelilinginya bicara nyaris bersamaan. Namun selain namanya, Seruni merasa tidak mengenali bahasa yang mereka gunakan. Sekilas terdengar seperti bahasa Jawa, tapi sama sekali tidak familier. Atau lebih tepatnya, tidak familier di telinga Seruni, sementara otaknya bisa memproses dengan cepat. Seperti ada fitur penerjemah otomatis di kepala Seruni, yang bertugas mengartikan semua kalimat asing itu menjadi bahasa Indonesia yang bisa ia mengerti. Lebih anehnya lagi, Seruni bahkan bisa menuturkan bahasa yang sama dari mulutnya. Dengan sangat fasih.

"Ini di mana?" tanyanya dengan suara serak. Tenggorokannya sakit, ia mendadak merasa sangat haus.

"Di kamarmu, tentu saja," sahut wanita yang rambutnya digelung. Ia tampak sangat muda, usianya mungkin baru awal 20-an. "Di rumah Paman Mada."

Nama yang asing. Seruni tidak ingat pernah kenal dengan seseorang bernama Paman Mada. "Siapa itu?" tanyanya.

"Paman Mada. Ayah angkatmu. Mahapatih Gajah Mada."

"SIAPA?"

Seruni terbelalak lebar. Dia pasti salah dengar. Atau wanita itu memang sedang meracau? Seruni sudah membuka mulutnya, hendak bicara lagi, ketika pria berambut panjang yang memakai penutup mata mendekati tempat tidurnya.

"Hara, biarkan aku bicara dulu dengannya. Dia perlu memahami ini pelan-pelan," ujarnya pada wanita bergelung yang dipanggil Hara, lalu menatap Seruni dan bertanya dengan suaranya yang rendah dan dalam. "Apa kau ingat siapa namamu?"

Bulan Merah Wilwatikta [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang