6 - Lonceng Besar Di Lautan Luas

59 9 0
                                    

"Mbakyu," panggil Menur lembut seraya menghampiri Seruni yang masih sibuk menyulam. Di butik hanya tinggal ia sendiri, sementara Cithra dan Ratri pamit pulang lebih awal karena ada upacara sembahyang. "Kakang Sagara mengirim pesan, katanya malam ini dia akan datang terlambat karena ada pertemuan dengan para Bhayangkara. Katanya lagi, Mbakyu tidak boleh pulang sendiri, harus menunggu Kakang Sagara menjemput."

Ini sudah hari kesembilan Seruni bekerja tak kenal waktu. Ia pulang nyaris tengah malam, hanya tidur tiga atau empat jam, kemudian bergegas kembali lagi ke butik untuk melanjutkan proyeknya. Dan setiap harinya, yang setia menemani Seruni bukan hanya Menur, Cithra, dan Ratri, tetapi juga Sagara Aji yang selalu ngotot mengantar-jemput Seruni, tak peduli sesibuk apapun dirinya.

"Sagara itu benar-benar keras kepala..." Seruni mendengus. "Padahal sudah kubilang, aku bisa pulang sendiri."

Menur hanya tersenyum mendengar gerutuan Seruni. Gadis bermata besar itu duduk di sampingnya, memandangi kelopak bunga wijaya kusuma berwarna putih yang baru saja selesai dikerjakan Seruni.

"Ternyata benar, Mbakyu sangat pandai menyulam. Kain ini jadi berkali-kali lipat lebih indah setelah ada bunga-bunganya," cetus Menur. "Dan bunga-bunga ini... oh, coba lihat, tampak sangat hidup dengan gradasi warna benang yang indah."

"Apa kau ingin tahu aku mendapat inspirasi dari mana?" Senyum Seruni mengembang. "Dari pakaian para putri dari Kerajaan Joseon."

"Kerajaan apa?" Kening Menur berkerut. Meski sudah dua bulan berinteraksi dengan Seruni versi baru ini, tapi ia tetap saja sering dibuat bingung dengan kata-kata aneh yang sering diucapkan Seruni.

"Joseon. Nantinya Kerajaan Joseon akan berubah menjadi sebuah negara bernama Korea, sama seperti Wilwatikta yang..." Seruni menghentikan kata-katanya sendiri, mendadak terbayang wajah Sagara Aji yang selalu kesal saat Seruni membicarakan masa depan Wilwatikta yang suram. "Intinya, aku terinspirasi dari pakaian para putri kerajaan yang jauuuh sekali dari sini. Pakaian mereka bernama hanbok, terbuat dari kain sutra warna-warni dan motif sulaman yang cantik. Nanti kalau kain untuk Dyah Nira sudah selesai, aku akan mencoba membuat motif yang lebih besar, mungkin untuk aksen di area dada atau ujung selendang."

Sambil terus menyulam, Seruni mengobrol dengan Menur tentang segala macam, hingga akhirnya mereka tiba pada satu topik yang sudah nyaris tidak punya tempat di kepala Seruni saking sibuknya.

"Aku tiba-tiba ingat nama Bhayangkara itu."

"Yang mana?"

"Yang jatuh di jurang landai dekat petirtaan," ujar Menur, sementara Seruni merasa jantungnya nyaris jatuh ke lantai. "Namanya Lingga."

"Lingga?" ulang Seruni. "Kau yakin namanya Lingga, bukan Lino? Atau Kalino?"

"Bukan."

"Apa dia benar-benar sudah meninggal?"

"Soal itu aku tidak tahu, Mbakyu. Tapi memang pria bernama Lingga itu sudah tidak pernah terlihat lagi di ibukota," ujar Menur. "Mungkin sebaiknya Mbakyu bertanya pada Kakang Sagara saja, karena Bhayangkara itu dulunya tinggal di—"

"Aku mendengar namaku disebut." Suara Sagara yang berat memenuhi butik, membuat Seruni dan Menur menoleh bersamaan. "Kalian sedang membicarakan apa?"

"Bukan apa-apa." Seruni menjawab cepat. Ia harus berpikir matang-matang sebelum membombardir Sagara Aji dengan pertanyaan tentang Bhayangkara yang misterius itu.

Sagara Aji menatap Seruni dengan kedua alis terangkat, tapi memutuskan untuk tidak mendesaknya. Ia mendekat ke tempat wanita itu duduk dan mengintip hasil kerjanya. "Sepertinya sudah hampir selesai."

"Sedikit lagi," sahut Seruni. "Tinggal dua bunga di sebelah sini, lalu selesai..."

"Apa kau ingin menyelesaikannya malam ini?"

Bulan Merah Wilwatikta [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang