Terpesona

2 1 0
                                    

Penahkah kalian melihat sesuatu yang sebenarnya biasa saja bagi orang lain, tetapi bagi kalian sesuatu itu sangat menarik, melebihi hal apapun yang ada di dunia ini? Pernahkah kalian melihat sesuatu sampai ingin berada di dekatnya, bahkan menyentuhnya? Pernahkah kalian merasa tenggelam di kegelapan lalu melihat suatu cahaya yang bersinar kemudian ingin meraihnya?

Aku pernah.

Hari itu masih hari sekolah, mungkin hari Jumat karena sekolahku pulang cepat. Rumahku tidak terlalu jauh dari sekolah, sekitar 10 menit jalan kaki lewat jalan besar yang selalu dipenuhi angkot dan melintasi rel kereta api. Hari itu aku berjalan sendirian karena sahabatku yang biasa pulang bersama sedang ada kerja kelompok. Panas, hari itu panas sekali. Akhirnya dengan sisa uang jajanku yang tinggal recehan, aku membeli seplastik es jeruk untuk menghilangkan dahaga.

Setelah berjalan tiga sampai lima menit, aku tiba di perlintasan kereta api yang palang pintunya sedang turun dan menutup jalan. Akan ada kereta yang lewat, itu tandanya. Tanpa sadar aku melamun, masih menyedot es jeruk yang kupegang di tangan kanan. Memikirkan banyak hal tapi tak ada yang ditekuni hingga suara di sekitar tak terdengar lagi. Tiba-tiba sebuah suara keras mengalihkan perhatianku, membuatku menoleh ke arah asal suara dan mendapati sebuah rangkaian kereta yang belum pernah kulihat sebelumnya.

Aku diam, masih memperhatikan rangkaian kereta itu. Entah mengapa semuanya terasa lambat dan suara-suara di sekitar masih saja menghilang. Semakin lama, semakin dekat. Apakah aku berjalan mendekatinya? Aku tak dapat berpikir lagi. Mungkinkah ia jawaban atas semua pikiranku sebelumnya?

Cat badannya yang masih bersih, berkilauan diterpa sinar mentari siang itu. Suara siulan yang khas terdengar jelas. Sepertinya aku terpesona, seperti lagu yang biasa dinyanyikan bapak-bapak tentara saat latihan fisik yang sempat viral itu. Es jerukku menghilang entah kemana, tahu-tahu tangan kananku sudah mendekati badan kereta yang berjalan lambat itu. Tinggal sedikit lagi, tanganku akan bisa meraihnya.

Tapi tiba-tiba aku terjatuh, menimpa sesuatu yang empuk lalu sesuatu yang keras dan bertekstur kasar. Tiba-tiba kereta itu melaju dengan kencang hingga semakin lama semakin menjauh dan tak terlihat lagi di mataku. Semua suara tiba-tiba memaksa masuk ke telingaku, kini hanya denging yang kudengar hingga aku menutup telingaku. Sampai detik berikutnya, suara seseorang yang keras tertangkap oleh telingaku.

"Hei kau tak apa? Apa kau bisa mendengarku?" teriaknya sambil mengguncang kedua bahuku dari depan.

Aku mengangkat kepalaku, mendapati seorang pemuda mengenakan seragam yang sewarna dengan seragamku hari ini. Raut wajahnya, aku tak bisa menggambarkannya dengan jelas. Lelah, khawatir, marah, tapi ada segaris rasa lega di matanya yang hitam legam itu. Dia masih mengguncang badanku lalu menurunkan tangan yang kugunakan untuk menutup telingaku.

Aku bingung lalu menoleh ke kanan dan ke kiri. Suara-suara lainnya mulai tertangkap olehku. Suara kendaraan yang mulai mengklakson kendaraan lain, suara sirine polisi, suara orang-orang.

"Ya Tuhan! Terima kasih Engkau masih menyelamatkan anak itu!"

"Apa mereka terluka? Astaga itu tadi nyaris sekali!"

"Gila tuh bocah, malah nyamperin kereta"

"Eh mereka anak sekolah kita kan?"

"Kamu dapet rekamannya tadi?"

"Harap minggir! Jangan berkumpul di sini!"

Tangan pemuda tadi meraih kedua sisi kepalaku, membuatku terpaksa memandangnya. Tiba-tiba ia memelukku, tidak terlalu erat, tapi tidak juga terlalu longgar. Ia berbisik "Tidak apa-apa, kau aman sekarang." Air mata mulai membasahi pipiku. Terakhir kali aku mendapat perlakuan seperti ini adalah ketika adik-adikku belum lahir. Ketika aku masih menjadi satu-satunya anak di keluargaku.

Tanpa sadar tangisanku makin keras. Kini baju pemuda itu basah dan kusut akibat kuremat dengan tanganku kuat-kuat. Kini yang kudengar hanya suara tangisanku dan juga bisikan-bisikannya yang entah mengapa terasa menenangkan.

Lalu semuanya menjadi kabur dan gelap pun menghampiri.

***

Ketika aku terbangun, yang pertama kali kulihat adalah langit-langit yang berwarna putih. Aroma khas rumah sakit menyapa hidungku. Kutatap ruangan sekitarku lalu mendapati ibuku yang baru masuk ke dalam ruangan tempatku berada. Ia terkejut lalu kembali keluar selama beberapa saat dan kembali dengan beberapa orang, yang kukenal maupun tidak. Seorang dokter dan suster memeriksa keadaanku dan melontarkan beberapa pertanyaan yang hanya kujawab dengan anggukan dan gelengan kepala. Tenggorokanku rasanya sakit sekali.

Aku lalu teringat dengan kejadian yang baru saja aku alami, semuanya muncul dengan cepat hingga membuatku mengernyitkan dahi karena sakit kepala yang mendadak. Dokter dan suster kemudian keluar dari ruangan bersama bapak-bapak berseragam coklat yang salah satunya sudah mengeluarkan pulpen dan buku kecil untuk mencatat. Ayahku mengantar mereka keluar sementara ibuku membantuku duduk dan minum segelas air. Beliau tak bertanya apa-apa, hanya menahan agar air matanya tak jatuh untuk kesekian kalinya, mungkin.

Aku teringat pemuda itu, tapi ragu untuk menanyakannya kepada ibu sehingga kuurungkan saja niat untuk bertanya. Ayahku kemudian masuk dan mencoba untuk berbincang, mencairkan suasana yang sejak tadi canggung. Aku tahu niatnya, jadi ketika ayahku bertanya "Tadi itu sebenarnya ada apa?" aku hanya menjawab, "Tidak apa-apa, aku hanya terpesona."

***

-Rayn, 6 Maret 2022

NovellejaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang