Hari ini hari Senin, hari yang dibenci kebanyakan orang. Sejak pagi tadi matahari bersinar cerah. Udara naik beberapa derajat hingga orang-orang lebih memilih untuk diam di dalam rumah. Kupikir tak perlu lah sedia payung, toh tak ada tanda-tanda akan hujan hari ini. Tapi ternyata nasib berkata lain. Matahari mengkhianatiku.Aku sedang dalam perjalanan menuju halte dekat sekolahku ketika tiba-tiba hujan turun dengan deras dan tanpa ampun. Dengan sigap kupeluk tasku dan berlari menuju kesana. Prinsipku satu, tak apa badanku basah, asalkan semua buku milikku tetap kering. Sesampainya di halte, aku mengecek isi tasku. Semua buku kering, aku pun bernafas lega. Tak lama kemudian, kelegaan itu pergi ketika aku sadar bahwa bukan aku saja yang berteduh di halte ini.
"Rin, harusnya kamu ke sini 10 menit yang lalu biar ga basah kayak gitu," kata seorang pemuda berseragam SMA Y, sekolah yang sama dengan tempatku menuntut ilmu sekarang ini.
Aku menyipitkan mata, kesal. "Well, makasih sarannya Fi, berguna banget," kataku. Dia tertawa.
Rafi Mahendra Putra namanya. Kebetulan ia sekelas denganku tahun ini. Penampilannya tipikal nerd, hanya saja lebih casual dan keren, menurutku. Ia cukup tinggi, sekitar 175 cm mungkin. Kulitnya kuning langsat dan rambutnya yang hitam masih terlihat rapi meskipun ini waktunya pulang sekolah dimana rambut harusnya mulai terlihat berantakan. Kacamata berbingkai hitam bertengger manis di hidungnya yang cukup mancung, membingkai mata hitam sipitnya.
Aku duduk agak jauh darinya lalu mengambil handuk kecil yang biasa kusimpan di dalam tas. Aku mencoba mengeringkan rambut dan badanku, tapi rasanya percuma saking banyaknya air yang meresap ke rambut dan seragamku. Untungnya hari ini aku memakai seragam kaus berkerah, jadi saat basah tidak perlu khawatir akan terlihat transparan.
Ketika memasukkan handuk ke dalam tas, aku melirik ke arahnya. Seperti biasa, ia terpaku pada layar smartphonenya. Mungkin ia sedang membaca manga favoritnya atau hanya scrolling di timeline Instagramnya.
"Serius amat Pak, kurang deket tuh muka sama hapenya," sindirku. Ia tidak menghentikan aktivitasnya dan malah membalas,
"Nanggung Bu, dikit lagi beres. Nah kan bener, abis. Salah kamu nih."
"Hah? Kok salah aku?"
"Kamu ngajak ngobrol pas udah mau abis si manganya, jadi aku kurang dapet feelnya," katanya.
"Yhaaa, baperan abangnya. Kalo emang lagi serius menghayati ya ga usah dibales Fi," kataku dengan nada bercanda.
"Kalo ngga dibales ntar bertepuk sebelah tangan dong?" Katanya.
"Hah gimana?" Tanyaku.
"Ngga ngga, oh iya mau main 8-pool?" Tawarnya.
"Boleh-boleh," kataku. Aku pun langsung mengeluarkan tablet 7-inch yang biasa kubawa kemana-mana.
Iya, aku pengguna tab, bukan hp seperti kebanyakan orang di luar sana.
Kami bermain 8-pool alias biliar di sebuah aplikasi game online yang sedang viral di kelasku. Sebenarnya dalam aplikasi ini ada banyak game yang bisa dimainkan banyak orang seperti game Werewolf dan Uno, tapi game favoritku adalah 8-pool.
Karena game ini membuatku dekat dengan Rafi, as simple as that.
Awalnya aku tahu seorang Rafi karena ketika SMP, salah satu teman ekskulku bercerita bahwa ia menyukai Rafi. Sayangnya rasa suka itu tak berbalas karena Rafi suka teman ekskulku yang lain. Mereka jadi sempat terlibat perselisihan karena cinta segitiga hingga akhirnya mereka bertiga malah jadi sahabat baik. Konyol memang, tapi itu yang terjadi. Lalu tiba-tiba saja kami masuk ke sekolah yang sama lagi dan kini menjadi classmate di kelas 11.

KAMU SEDANG MEMBACA
Novelleja
Short StoryNovelleja (Finlandia) n. short stories a story with a fully developed theme but significantly shorter and less elaborate than a novel. . . . . . . Dunia ini dipenuhi berbagai macam cerita, mulai dari cerita singkat yang membekas di hati hingga cerit...