Hari sabtu adalah hari paling membosankan bagi sebagian siswa SMA Dalton, karena dihari itu jadwal sekolah mereka hanya senam dan bekerja bakti, tetapi itu wajib untuk diikuti. Sekolah mereka memang sangat menjunjung tinggi kesehatan dan kebersihan, jadi tidak heran lagi.
"Satu dua tiga empat lima enam tujuh delapan, lagi! Satu dua tiga empat lima enam tujuh delapan, mantep!" Seluruh siswa terlihat sangat tak bersemangat mengikuti instruksi coach Inem, terlebih para siswa yang lebih memilih di barisan belakang agar bisa berteduh.
Berbeda dengan Maura, gadis itu kabur ke perpustakaan. Salahkan petugas perpustakaan yang lalai, bukannya menjaga malah tidur.
Maura tengah membaca selembar demi selembar komik milik perpustakaan dengan khidmatnya. Jika ponselnya tidak hilang kemungkinan saat ini benda pipih tersebut akan menampilkan notifikasi dari Arlan. Sampai sekarang tas Maura masih menjadi misteri, tiba-tiba saja hilang. Akibatnya, Maura harus memfotokopi beberapa buku pelajaran dan catatan milik Haga.
Suara tapakan kaki terdengar memasuki ruang perpustakaan, disusul sapaan yang Maura yakini mengarah padanya.
"Hai!" Suara berat itu berbisik.
Maura mengadah, mendapati Haga yang kini duduk dihadapannya sembari menyodorkan roti selai srikaya kesukaan Maura, dan author hehe.
"Makasih." Maura menerimanya pelan, takut suara bungkusan plastik roti tersebut membangunkan pak Kemal.
Haga duduk memangku wajahnya dengan kedua tangannya.
"Kamu ga senam?"
"Buat?"
"Biar sehat."
"Tanpa lo, gue sakit."
Maura tersenyum simpul, sebisa mungkin menutupi pipi meronanya akibat gombalan pria dihadapannya ini.
"Ada-ada aja."
"Belakangan ini gue suka bolos." Pengakuan Haga membuatnya berhasil mendapat pelototan dari Maura.
"Kamu ketua kelas, kalau kamu bolos gimana sama temen-temen yang lain. Pasti mereka ngikut kamu."
"Udah gue ancem." Maura terkekeh. Candaan Haga sebenarnya tidak lucu. Gadis itu menatap wajah Haga lama, sekedar memeriksa wajah babak belur Haga sudah lebih mendingan dibanding beberapa hari yang lalu, sangat parah.
Maura menyentuh rahang Haga, terdapat warna kebiruan disana.
"Masih sakit?"
Haga bingung harus menjawab apa, seketika jantungnya berdegup kencang. Maura tidak sadar, tindakannya mampu membuat ketua kelasnya ini kehilangan gravitasi.
"Ga sakit."
Refleks Maura menekan rahang kebiruan itu dengan sedikit keras.
"Ssh!"
"Eh, maaf! Katanya ga sakit, gimana sih!"
Haga meringis, ia tidak berbohong. Lebam itu sudah tidak terasa sakit namun jika ditekan ya sakit lah ya shay!
Beberapa menit berlalu, selesailah kegiatan senam pada sabtu pagi ini. Seluruh siswa sudah bubar dan memasuki kelas masing masing-masing, begitupun Maura dan Haga.
***
Askal kini tengah berada di ruangan basket seorang diri. Menatap potret seorang gadis bersurai hitam sepunggung dengan gaun putih setulut yang tengah tersenyum lebar menghadap kamera. Senyum manis itu entah sejak kapan menjadi candu bagi Askal, ia akui! Gadis itu sangat cantik.
"Woi! Bengong aja lo, kesambet tau rasa!"
Askal diam saja. Ewin mengintip potret seseorang yang menjadi perhatian Askal, karena penasaran. Seorang gadis pada potret tersebut nampak sekilas, ia tidak mengenalinya.
"Siapa tu? Pacar lo?"
Erhan lantas menghentikan aksi mendribble bola basketnya.
"Askal punya pacar? Wah, sial banget tu cewe."
Ewin sontak tertawa.
"Bukan urusan kalian." Balas Askal, memilih menyimpan kembali foto itu.
Ewin dan Erhan hanya bisa memaklumi. Memang, diantara mereka bertiga Askal lah yang paling bodoh jika soal percintaan. Pria itu tidak pernah punya pacar asal kalian tau! Ketika ia dekat dengan seseorang, orang itu akan menjadi sangat membosankan baginya.
"Sekarang emang bukan urusan kita Kal, tapi pasti nanti lo bakal butuh bantuan kita."
Ewin mengangguk, setuju pada Erhan.
"Paling nanti, bantuin gue gimana caranya biar dia bisa jadi milik gue."
Erhan dan Ewin tertawa puas, sepertinya mereka sudah tidak sabar melihat Askal menderita karena cinta.
***
Askal ngeselin ga si.
KAMU SEDANG MEMBACA
HANYA SEBENTAR (On Going)
Fiksi RemajaTidak ada yang special dihidup Maura Gabriella. Menjadi anak brokenhome dan korban bullying, seringkali membuat pikirannya kalut. Muncul satu pertanyaan dibenaknya, bagaimana rasanya hidup bahagia? Maura penasaran sekali, hingga akhirnya memutuskan...