Desember, adalah bulan yang paling rintik di tahun itu. Bulan yang seharusnya romantis, malah menjadi bulan paling melankolis. Bagaimana tidak? Dimas, orang yang telah lama kucintai, tiba-tiba lenyap, ditelan kenangan.
"I don't love you anymore" Katanya lewat pesan singkat di Email. Kalimat itu adalah kata-kata terakhir yang Dimas sematkan untukku, sebelum dirinya benar-benar menghilang.
***
Ini tahun baru, kau tahu?
Tak ada lengkingan terompet dan kembang api di udara
Hanya berembus namamu
Pecah diangkasa mataku
Memecahkan semua rindu
Yang kupikul seorang diri di masa lalu.Larik-larik yang kutumpahkan pada setapak kertas, menjadi perjalanan panjang melupakannya. Desember telah pergi, namun segala bayangan tentang lelaki bertubuh kekar itu masih tetap utuh di jantung puisi.
Perawakan Dimas hampir sempurna. Tingginya sekitar 172 cm, hidungnya mancung, matanya agak sipit, lengannya penuh dengan otot-otot hasil olahraga angkat besi tiap minggu, dahinya lebar, serta alisnya tebal dan lurus. Secara keseluruhan, wajah yang dimiliki Dimas itu lonjong dan mempesona. Siapa saja yang bertemu dengannya, mereka pasti menyukai lelaki itu. Apalagi, sifat Dimas yang dengan mudah dapat mengakrabi siapa pun.
Aku masih ingat, tatapan Dimas itu dingin, tapi seperti memancarkan magnet atau cahaya lembayung di sore hari. Kadang indah, kadang juga bisa sangat menakutkan. Jika sudah terlanjur menatap mata lelaki itu, orang tidak akan mudah untuk mengalihkan pandangannya. Mereka bagaikan serangga yang sedang menikmati hidangan manis di perjamuan. Tiap bagian wajahnya, entah mengapa sangat mengesankan.
"Ay..." Suara lembut tiba-tiba menyusup melalui celah di balik pintu kamar apartemen, membuyarkan lamunanku tentang Dimas.
Aku tersentak, memutar pandangan ke arah suara itu. Perlahan, kakiku turun dari tepi kasur, melangkah menuju pintu.
Kudapati wajah yang berseri, kulitnya putih, matanya bulat melingkar, berbinar laksana purnama menyuar, rambutnya lebat dibiarkan menjuntai. Dia Lara- nama panjangnya- Dilara Nazan, nama yang begitu indah melukiskan perawakannya.
Kami mulai dekat, menjalin persahabatan semenjak awal kuliah semester dua. Hanya Lara, orang satu-satunya yang sangat dekat denganku. Mungkin karena ada banyak persamaan di antara kami, mulai dari suka kopi, buku, sampai warna pada baju. Hanya satu yang berbeda; perkara cinta.
"Masuk.. Ra!" Sambutku membuka lebar pintu, membiarkan tubuhnya yang tinggi semampai memasuki ruang resah yang kubangun beberapa pekan ini.
Berpisah dari Dimas bukanlah keinginan ku. Tidakkah kebersamaan ini terlalu cepat untuk disudahi? gumamku dalam hati, berkali-kali. Tapi, memilih untuk tetap bersama juga barangkali akan membuat seluruh nyeriku menjadi.
Lara duduk di atas tempat tidurku. Kakinya selalu disilang anggun.
"Belum selesai, ya?" kata Lara mengangkat sedikit alisnya
"Apa?" Tanyaku sembari merebahkan badan di dekatnya
"Kesedihan yang kau buat itu. Jangan membuat sakit berlarut-larut. Ada banyak cara agar harimu tak melulu kelabu, Ay" Katanya berusaha membuatku tenang.
Mungkin kata-kata dari Lara sedikit menjadi senjata. Tetapi, kepergian Dimas masih menjelma tonjokan keras di dada. Menyakitkan, seperti alkohol di atas luka. Mungkin benar, aku memang tak pantas dicinta, tapi bukan berarti aku harus terhinakan. Selama ini aku berjuang lebih baik. Selalu berusaha mengerti keinginannya, dan jujur aku kesulitan. Sampai akhirnya aku kewalahan dan dia malah pergi. Tak menghargai segala jerih payahku di balik layar. Aku butuh balasan, tetapi dengan hikmah, bukan dengan kepergian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ayse (Pena, Luka, dan Darah)
Teen FictionAyse, seorang jurnalis pemberani, bertekad mengungkap nepotisme yang merusak masyarakat melalui tulisannya yang berjudul "Nepotisme." Hidupnya semakin rumit ketika cinta pertamanya, Dimas, tiba-tiba kembali setelah lima tahun menghilang, membawa rah...