Di hari Minggu yang seharusnya tenang, kantor redaksi Kompasi malah dipenuhi hiruk-pikuk para karyawan yang sibuk mempersiapkan penerbitan artikel paling penting dalam sejarah mereka. Artikel milikku akan terbit pukul 9 malam, dan semuanya berkejaran dengan waktu. Pameela dan beberapa rekan kerja bolak-balik mengurusi tata letak, memeriksa ulang fakta, memastikan tak ada detail yang terlewat.
Di salah satu sudut ruangan, aku dan Hasby duduk di meja kerja milikku. Raut wajah kami serius, berkutat dengan peta dan dokumen yang baru ditemukan. Kami sedang menyusun strategi untuk menyelinap ke rumah Moeharyodo tanpa menarik perhatian siapa pun.
"Kita harus menunggu waktu yang tepat," ujar Hasby, jari-jarinya menunjuk ke sebuah bagian di peta yang menunjukkan gerbang belakang rumah Moeharyodo. "Ini satu-satunya titik yang bisa kita masuki tanpa terdeteksi. Tapi keamanan di sana ketat."
Aku mengangguk sambil mempelajari peta lebih dalam. "Dan Lara akan mengalihkan perhatiannya. Dia sudah berjanji akan membuat Moeharyodo sibuk dengan obrolan mengenai kasus penjeblosanku ke penjara."
Mata Hasby memperhatikan Ayse dengan cermat. "Kau yakin dengan ini? Kalau kita ketahuan, kau tahu risikonya."
"Aku tahu," Kataku menatap Hasby dengan penuh keyakinan. "Tapi artikelku akan terbit hari ini. Jika kita tidak bertindak sekarang, rahasia yang disembunyikan Moeharyodo mungkin akan hilang selamanya."
Hasby mendesah panjang. "Baiklah. Aku akan bersamamu, Ayse. Kita akan menyusup ke rumah itu tepat setelah Lara mulai pertemuan dengan Moeharyodo. Kau harus fokus pada apa yang perlu kau temukan. Dokumen Vivany adalah kunci dari semua ini."
Aku menguatkan diri. Aku tahu bahwa setiap langkah penuh dengan bahaya, tapi ada sesuatu yang lebih besar dari ketakutan-kebenaran yang harus diungkapkan.
"Kita hanya punya waktu beberapa jam sebelum artikel itu diterbitkan," kataku. "Jika kita berhasil, maka ini akan menghancurkan seluruh imperium Moeharyodo."
Hasby mengangguk. "Dan jika tidak... kita mungkin tidak akan pernah keluar dari sana."
Kami berdua terdiam sejenak, meresapi kenyataan pahit yang menanti kami. Namun, tekadku tetap bulat. Ini bukan hanya soal membongkar kebusukan Moeharyodo, ini soal keadilan untuk Vivany, untuk semua jurnalis yang telah mati tanpa bisa menerbitkan kebenaran mereka.
"Waktu kita semakin sempit," kataku melihat jam yang terus berdetak. "Kita harus segera bersiap."
Hasby berdiri dari kursinya, menatap Ayse dengan pandangan penuh dukungan. "Ayo kita lakukan ini, bersama-sama."
"Tapi.. Has.." Aku menatap mata Hasby dalam-dalam
"Ada apa?"
"Lenganmu.."
"Aku tidak apa-apa. Kamu tidak perlu khawatir." Hasby menyentuh bahuku.
Aku mengangguk. Kami pun mulai menyiapkan segala sesuatunya dengan hati-hati. Kami menyadari bahwa keamanan di rumah Moeharyodo sangat ketat, sehingga kami membutuhkan rencana matang. Hasby, yang sejak awal dikenal sebagai orang yang ahli dalam teknologi, langsung duduk di depan komputer, jari-jarinya mencari cepat di atas keyboard.
"CCTV rumah Moeharyodo terhubung ke jaringan pribadi. Aku harus mencari cara untuk meretasnya tanpa ketahuan," Hasby berkata sambil fokus pada layar. Dia membuka berbagai jendela program, menjalankan kode demi kode untuk menembus jaringan keamanan Moeharyodo.
Sementara itu, aku menyiapkan peralatan lain yang akan kami butuhkan, membuka tas ransel kecil dan memasukkan senter, ponsel dengan aplikasi perekam, serta buku catatan kecil untuk mencatat temuan kami nanti. Aku juga mengenakan jaket hitam dan menyembunyikan rambutku di balik topi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ayse (Pena, Luka, dan Darah)
Teen FictionAyse, seorang jurnalis pemberani, bertekad mengungkap nepotisme yang merusak masyarakat melalui tulisannya yang berjudul "Nepotisme." Hidupnya semakin rumit ketika cinta pertamanya, Dimas, tiba-tiba kembali setelah lima tahun menghilang, membawa rah...