Langkah kaki para karyawan berbunyi nyaring meramaikan suasana kantor tempat Ayse bekerja pada pagi hari itu. Mereka sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.
Di bagian ruang Jurnalis masih sepi. Belum terlihat aktifitas apapun di dalam sana.
Sementara di ruang editor in chief, Hasby tengah duduk di kursinya memeriksa catatan para Jurnalis yang akan siap diterbitkan di majalah dan koran Kompasi. Termasuk tulisan Ayse yang berjudul "Nepotisme Moeharyodo." Tulisan itu juga akan diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa, karena akan diterbitkan oleh media internasional.
"Segera selesaikan terjemahannya. Kita akan terima media dari Singapure dan Malaysia saja" Kata Hasby pada sekretaris editor yang sedang berdiri tepat di hadapannya.
Nama sekretaris itu adalah Pameela. Iya baru saja lulus magang selama 8 bulan. Wajahnya perpaduan antara kota Palangka dan juga Arab. Hidungnya mancung, kulitnya manis, alisnya tebal, dan matanya bulat sempurna.
"Baik, Pak. Media AS menghubungi saya tadi malam. Mereka ingin tulisan Ayse terbit di korannya, untuk edisi bulan ini"
"Jangan diberikan!" Kata Hasby menutup tulisan yang sedang dipegangnya. Matanya melingkar sempurna. Urat-urat di lehernya menegang kuat ke arah yang berbeda.
"Ta-tapi kenapa, Pak? Mereka menawarkan harga cukup fantastis untuk setiap paragraf yang ditulis Ayse"
Hasby menghela napas. Ia menahan emosinya karena paham bahwa perempuan itu masih belajar dan belum tahu apa-apa mengenai masalah komersial.
"Pokoknya jangan! Perusahaan sudah menutup kerja sama dengan media AS sejak 20 tahun yang lalu," ujar Hasby mencoba menjelaskan. "Mereka mengubah isi tulisan. Membuat judul yang mengadu domba para elite dengan Jurnalis kita. Terakhir melakukan selling dengan mereka, Jurnalis kita mati ditembak elite." Kata Hasby melanjutkan.
Pameela hanya terdiam. Ia berusaha mengerti ucapan dari atasannya itu.
"Bereskan saja terjemahannya. Kita akan segera terbitkan tulisan ini sesuai jadwal yang telah ditentukan"
"Baik, Pak" Jawab Pameela sambil melangkah meninggalkan ruang atasannya.
"Tunggu, tolong panggilkan Ayse untuk datang ke ruangan saya."
"Ayse tidak masuk hari ini. Dia ambil cuti selama dua hari"
"Kenapa?" Tanya Hasby dengan nada cukup khawatir
"Katanya sakit, Pak" Ujar Pameela sembari menutup pintu ruangan Hasby.
Hasby terlihat begitu cemas. Ia takut sesuatu terjadi pada Ayse karena kejadian tadi malam.
Sebenarnya, setelah pulang dari kedai kemarin sore, Hasby tak membiarkan Ayse pulang seorang diri. Ia diam-diam mengikuti arah mobil yang dinaiki Ayse. Saat melihat wajah Ayse, Hasby bisa merasakan bahwa perempuan itu sedang tidak baik-baik saja. Akhirnya ia memutuskan untuk mengikuti taxi yang Ayse pesan dari belakang.
Dan benar saja, ia melihat Ayse menangis keluar dari taman Upi, diikuti oleh seorang lelaki yang pernah Hasby temui juga di rumah makan beberapa waktu yang lalu bersama Ayse.
Hasby tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa Ayse mengenalkan dirinya sebagai kekasihnya pada Dimas? Siapa Dimas? Mengapa Ayse terlihat begitu terluka saat bersama lelaki dengan tubuh tinggi dan kekar itu? Pikirnya.
Ia segera keluar dari ruangannya dan bergegas menuju rumah Ayse.
Sementara Pameela sedang menyelesaikan terjemahan tulisan karya Ayse yang bernilai cukup mewah di ruangan kerja miliknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ayse (Pena, Luka, dan Darah)
Teen FictionAyse, seorang jurnalis pemberani, bertekad mengungkap nepotisme yang merusak masyarakat melalui tulisannya yang berjudul "Nepotisme." Hidupnya semakin rumit ketika cinta pertamanya, Dimas, tiba-tiba kembali setelah lima tahun menghilang, membawa rah...