"Hei, junior!"
Hari itu, ketika aku tengah menikmati makan siangku seorang diri di bangku pojok yang tidak mencolok, Wendy yang biasanya lebih sering bersama kawan-kawan sekelasnya datang menghampiriku.
Aku yang masih sedikit canggung dengannya hanya diam saja. Aku masih bertanya-tanya apa alasan Wendy mau berteman denganku. Dan juga mengenai pandangannya tentang pertemanan kami yang menurutku masih abu-abu, sebenarnya aku hanya tidak mau menjadi satu pihak yang menganggap bahwa pertemanan kami sudah sedalam itu. Yang jelas pada waktu itu aku masih tidak merasa bebas mengeluarkan sifat asliku, takut Wendy memandang aneh.
"Aduh, kau ini kaku sekali," komentarnya. Merebut buku dari tanganku dan membalik-baliknya.
"Tunggu, kau bisa fokus membacanya di tempat seramai ini?" Wendy menatapku dengan alis berkerut.
Aku menggeleng.
"Harusnya kau mencari tempat yang tenang, bodoh!" Dia pura-pura memukul kepalaku dengan buku.
Aku hanya terkekeh, tidak terkejut dengan kebiasannya yang suka berbicara keras. "Aku tidak tahu tempat mana yang nyaman. Perpustakaan tidak boleh dijadikan tempat makan siang."
"Aku tahu satu tempat yang lebih baik daripada di sini."
Dia bangkit berdiri dengan semangat. Wendy memang selalu bersemangat. Aku melihatnya sebagai manusia dengan ledakan keceriaan yang tidak pernah mati. Begitulah anggapanku sebelum Wendy menampakkan realita hidupnya, kebenaran di balik topeng yang dia pasang.
Mau tidak mau aku buru-buru membereskan bekal dan berjalan mengejarnya. Mensejajarkan langkah dengan Wendy yang langkahnya nyaris berubah menjadi lompatan riang.
"Kenapa tidak bersama teman-temanmu?"
"Mereka tidak suka membaca buku."
"Hah?"
Terkadang omongan Wendy sulit dicerna. Aku enggan bertanya lagi dan memikirkan maksud ucapannya yang kemungkinan dia juga ingin mencari ketenangan membaca buku. Dan kebetulan akulah yang menjadi sasarannya.
Kami tiba di taman belakang yang memang jarang dikunjungi siswa. Suasananya memang seram dengan kehadiran pohon besar dan rimbun yang menaungi gazebo-gazebo yang dicat warna-warni. Namun bagi kami yang senang membaca dan membutuhkan tempat tenang selain perpustakaan, di sini adalah tempat yang sempurna.
"Lanjutkan makan siangmu."
Aku duduk di hadapan Wendy yang malah membaca novelku. Tetapi kemudian dia menutupnya dan menyingkirkannya dari meja.
"Sebelumnya aku selalu kesini sendirian, sekarang aku punya teman."
"Ke tempat seram ini sendirian?" Aku bertanya ulang. Diam-diam merasa senang bahwa Wendy sungguhan menganggapku sebagai salah satu teman.
Wendy mengangguk. Membetulkan sedikit ucapanku, "Ini tidak seram, tahu."
Dia menarik napas dalam-dalam, seolah tempat ini punya aroma yang lebih menyegarkan. Lalu dihembuskannya perlahan. Aku terkikik geli dengan aksinya. "Kau seperti tahanan yang dibebaskan setelah bertahun-tahun lamanya."
Wendy menatapku dalam. Dan di sinilah awal mula aku memasuki sebagian hidup Wendy yang penuh tekanan.
"Kau benar, Rose. Tempat ini adalah satu-satunya dimana aku lepas dari penjara."
KAMU SEDANG MEMBACA
Wish You Were Here ✓
Short StoryRose berusaha menerima kenyataan bahwa kini Wendy sudah pergi. Namun kenangan-kenangan menyakitkan itu terus membuatnya berharap bahwa Wendy masih ada di sini. Thanks to McNugget Graphic @cocokies for the cover!