Suasana pagi tampak berbeda di SMA Angkasa hari ini. Hal ini jelas banyak menimbulkan pertanyaan dibenak Deandra. Pasalnya setelah dia menginjakkan kaki di gerbang sekolah sampai di koridor kelas, banyak sekali yang membicarakan tentang kedatangan anak beasiswa. Mulai dari gunjingan hingga pujian karena kecerdasan anak itu bisa menembus tes beasiswa SMA Angkasa yang terkenal sulit.
Deandra yang mulai risih dengan itu semua lantas mempercepat langkahnya. Hingga akhirnya dia bertemu dengan Chaca di bangku taman yang sepertinya sedang enggan masuk kelas lebih awal. Memang kebiasaan seorang Aresha Nabila, berangkat pagi tapi masuk kelas mentok bel.
"Kebiasaan deh, udah berangkat duluan tapi tas sama barangnya masih di bawa gini."
Merasa ada yang mengomel padanya, Chaca mengangkat kepalanya yang sedari tadi menunduk sambil memperhatikan handphonenya ke arah si lawan bicara. "Hehehe abisnya gue males ah, kelas gue isinya polusi semua apalagi si Panji pagi-pagi mulutnya udah mulai julidin orang."
"Hih gitu-gitu juga temen kamu lho Cha." Peringat Deandra kepada sahabatnya sambil terkekeh dan hal itu membuat wajah gadis kelahiran Jakarta itu berubah masam.
"Hahahaha, eh iya kamu udah denger pembicaraan anak-anak gak sih?"
"Tentang anak baru itu? Udah kok, bakal jadi temen sekelas gue nanti. Btw tumben amat lo nanya begituan?" alis Chaca terangkat sambil memandang Deandra dengan tatapan yang tidak biasa.
"Enggak, heran aja. Abisnya banyak banget gunjingannya."
"Kayak gak ngerti anak-anak budak kapitalis yang haus bahan ghibah aja sih. Padahal yang kayak gitu gak perlu dipermasalahin IMO, toh mau latar belakangnya dia kayak gimana juga gak pengaruh sama kehidupan mereka kali." Balas Chaca.
"Tapi kamu tahu Cha tentang anak baru itu?" tanya Deandra.
"Tahu, basicnya anak panti tapi otaknya encer banget. Gue lihat kemarin hasil seleksinya nilainya nyaris sempurna. Terus dari segi wajah oke lah dia, gak buruk-buruk amat. Kalo gak salah kemarin namanya Keandra."
*****
Deandra POV on
"Kalo gak salah kemarin namanya Keandra"
Deg
Entah kenapa saat Chaca menyebut nama itu, aku langsung teringat dengan kakak. Nama yang sama, tapi aku tidak bisa langsung mengklaim jika dia adalah kakak bukan? Tapi entah kenapa hatiku berdebar begitu kencang mendengar nama itu. Ah mungkin efek karena aku terlalu rindu dengan kakak.
"Ke-kenapa muka lo tegang begitu?" tanya Chaca panik, mungkin dia menangkap perubahan ekspresiku. Haha anak ini memang paling cepat peka terhadap sekitar.
"Lo keinget kakak lo ya?" tebakan yang tidak pernah meleset. Ah aku terkadang iri dengan Chaca karena memiliki kepekaan yang tinggi dan otak yang cerdas sehingga mampu menebak dengan benar. Dan tanpa basa-basi dia langsung memelukku. Jujur aku merasa sangat senang ketika Chaca memelukku rasanya aku bisa merasakan kasih sayang seorang kakak dari Chaca. Ya diantara kami bertiga Chaca memegang peran sebagai kakak, sedangkan Anya berperan sebagai mama, bukan hanya kami bertiga tapi kami berdelapan dengan 5 orang anak laki-laki lainnya.
"Cup cup cup udah ya gak perlu sedih. Inget kalo emang udah waktunya nanti kalian pasti berkumpul lagi oke. Gue sama Anya dan si para begundal itu pasti bantuin kok, kita gak akan biarin lo nyari kakak lo sendirian, hmm percaya kan sama kita?"
Aku hanya mengangguk menanggapi ucapan Chaca. Aku tidak kuasa mengeluarkan suara karena jika aku bersuara sudah dipastikan aku akan menangis. Dan aku tidak mau membuat Chaca merasa bersalah karena aku yang tiba-tiba menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Beloved Twins
FanfictionSebuah kisah klasik tentang si kembar dan jarak serta waktu yang memisahkan mereka.