4. BAHAYA DALAM GELAP

445 148 42
                                    

Helloo....

Selamat membaca. Kalau suka lapak ini, jangan lupa vomen, ya!

Hm, jangan bosen-bosen dukung Buni juga.

Makasih sudah baik.



•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


4. BAHAYA DALAM GELAP

Jam menunjukkan pukul delapan malam. Ketujuh sekawan itu sedang berkumpul di kafe Melati. Ini untuk pertama kalinya mereka nongkrong bersama setelah hampir tiga tahun satu kelas. Mereka memang tidak seakrab itu sebelumnya.

"Oiya, kata Nadhea, sebenernya Kakaknya belum meninggal. Pada percaya, nggak, sih?" Thea mengawali obrolan.

"Bukannya sekolah ngumumin kabar meninggalnya, ya?" Adisti menimpali. Kabar kematian Alika memang diumumkan di sekolah. Dia masih ingat kejadian itu.

Nathala menyela. "Tapi pihak ke sekolah nggak ada yang dateng ke rumah duka, 'kan? Bahkan keluarganya kayak langsung tutup komunikasi gitu."

"Kita cuma tau Kak Alika meninggal. Tapi penyebabnya juga simpang siur," sahut Jiwa.

Magaskar menyimak. Belum lagi misteri juara satu terpecahkan, ini malah datang lagi misteri kematian Alika. Menyebalkan sekali hidup ini.

Mata Magaskar menatap Toka yang dari tadi diam tidak ikut menimpali. "Ka, kenapa lo diem aja?"

Toka menatapnya. "Ntah lah. Belum ngapa-ngapain aja gue udah capek." Dia menghembuskan nafasnya begitu kasar. "Menurut kalian, Ip Address yang kemarin itu punya siapa?"

"Nadhea?"

Semua mata menatap Thea. Nadhea?

"Kenapa Nadhea?" debat Toka.

"Ya, karena nilainya Nadhea yang nggak pernah cacat," jawabnya. "Sepinter-pinternya orang masak nggak pernah salah?"

"Bukan Nadhea!" tolak Magaskar, membuatnya diperhatikan. "Setelah gue pikir-pikir, itu bukan Nadhea. Kalo Nadhea, nggak mungkin dia selalu bisa ngasih penjelasan ke guru. Tau sendiri guru kita pada ribet. Kalo ngasih soal harus dijelasin sedetail mungkin."

Nathala menjetikkan jari. "Setuju gue. Nadhea emang pinter."

"Bisa juga dari kelas IPA lain," sahut Kamandanu. "Jurusan IPA 'kan ada empat kelas."

"Pusing banget!" Adisti meletak pipinya dimeja setelah meremas rambutnya. Nathala langsung minta tukar kursi oleh Kamandanu agar dia bersebelahan dengan Adisti.

"Nggak papa. Nggak usah terlalu over mikirnya," nasehati Nathala. Tangannya naik mengusap kepala Adisti dengan lembut.

Nathala sering sekali memberi perhatian pada Adisti, namun gadis itu seperti tidak menyadari.

Misteri Juara 1 + MagaskarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang