Pembohong

1.7K 200 17
                                    

Dear Osamu - Pembohong

Aku tidak tahu sudah berapa lama berada didalam ruangan operasi. Tangan kananku mati rasa karena efek dari obat bius, dan aku sesekali memejamkan mata akibat cahaya lampu yang amat terang.

Ruangan ini begitu dingin, dikelilingi oleh banyak tenaga kesehatan membuatku sedikit merasa ketakutan. Aku masih berharap-harap supaya bisa pulih dengan cepat, dan beraktivitas seperti semula.

Aku ingin membuktikan, terutama kepada Papah- bahwa prestasi yang ku dapatkan tidak kalah berharganya dengan apa yang didapatkan Osamu.

"Iya, meskipun gw cacat- itupun nggak masalah. Karena gw masih punya keluarga yang pastinya bakal selalu kasih semangat."

Mengingat kembali apa yang jawaban Osamu di malam itu, sepertinya mustahil bagiku untuk merasakannya. Aku sudah banyak mendapatkan ujaran negatif dengan fisikku yang normal ini. Kurasa jika aku cacat nantinya, yang cacian yang kudapat akan semakin menyayat hati.

---

Gerak-gerik Osamu kunilai sangat mencurigakan akhir-akhir ini. Dia tidak tinggal hingga operasiku selesai, bahkan sekarang Osamu berlalu pergi setelah berucap bahwa kedatangannya ke rumah sakit bukan hanya sekadar untuk menjengukku.

Osamu langsung salah tingkah, meninggalkan ruangan ku dan juga tas sekolahnya.

"Duh, si Samu kenapa, sih?" Aku bergumam sendiri. Dengan susah payah, aku meraih tas milik Osamu yang tergeletak pada kursi disamping ranjang.

Aku hanya ingin memastikan, apakah Osamu membawa ponselnya atau tidak. Namun, aku malah mendapati sebuah map berlogo rumah sakit ini. Hatiku berkata bahwa aku harus segera melihatnya.

"Kanker otak, setahun yang lalu?" Rasanya, aku tidak ingin percaya dengan apa yang baru saja kulihat. Seharusnya aku tidak penasaran, dan terkadang ada hal yang seharusnya lebih baik tidak kita ketahui.

Ponsel Osamu tidak ada dimanapun, maka ku putuskan untuk meneleponnya- dengan harapan ia belum berjalan terlalu jauh dari sekitaran rumah sakit.

"Ada yang ketinggalan, nih." Ucapku begitu mendengar suara Osamu dari speaker telepon. Saat ini, aku sedang bersusah-payah menahan emosiku.

Osamu bertanya, apa barang miliknya yang tertinggal. Ia kebingungan ketika aku menjawab bahwa Osamu meninggalkan sebuah kertas.

"Gak tau, ada di dalem tas lo, sih." Seusai aku berucap, Osamu mematikan sambungan teleponnya secara sepihak.

Aku yakin kalau Osamu sedang buru-buru kembali ke ruangan ini. Dia pasti berharap kalau aku bukan membaca dokumen-dokumen miliknya.

Pantas saja Osamu bisa semangat menjalani hari-harinya. Meskipun ia menderita penyakit yang sangat mengancam nyawa, Mamah dan Papah tetap- bahkan lebih menyayanginya.

Itu artinya, seluruh keluargaku sepakat menutupi semua ini dariku. Mungkin alasannya sederhana, karena aku adalah tipe orang yang mudah terpukul atas apa yang ku alami.

BRAKKK!!

Lihat, Osamu datang dengan wajahnya yang panik itu.

"Mmh ... M-mana tas gw?" Tanya Osamu sembari melangkah mendekatiku.

"Santai aja kali. Bisa ancur tuh pintu kalo Lo buka-nya pake tenaga dalem." Dengan ekspresi datar, aku menunjuk ke arah kursi.

Osamu semakin salah tingkah. Ia buru-buru menyambar tas miliknya, sembari mengecek isi tas-nya. "Sorry..." Kata Osamu yang ingin segera pergi.

Benih kebencian di dalam hatiku kembali tumbuh. Aku merasa bahwa Osamu banyak merenggut apa yang seharusnya aku dapatkan dalam hidupku. Orang-orang menyukainya, bahkan orangtuaku lebih mendukung Osamu daripada aku, dan sekarang Osamu juga berbohong kepadaku.

Dear Osamu [ END ] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang