Dear Osamu - Bertahan Untukmu
Kadang, aku tidak begitu mengerti- mengapa waktu bisa terasa lambat, lalu tiba-tiba terasa cepat. Tapi menurutku, emosi juga mempengaruhi bagaimana kita dapat merasakan waktu yang terus bergulir.
Saat merasa bosan, apalagi menunggu- waktu akan berjalan seolah-olah sangat lambat. Tapi jika sedang merasa panik atau menikmati suatu kegiatan, hal-hal yang terjadi tiba-tiba saja telah usai.
Aku bahkan tidak terlalu ingat kenapa sekarang berada di tengah perkelahian. Namun setelah berusaha meredam emosi, aku baru ingat- kalau kemarahanku dipicu oleh hal mengancam yang kudengar melalui telepon.
Iya, Oikawa Tooru. Seorang kapten basket yang pengecut itu, berkata bahwa ia akan membunuh Osamu. Terlebih, ia memintaku untuk datang secepat mungkin.
Sedari kecil, aku memang suka berkelahi. Meskipun tidak pernah ikut latihan beladiri secara sah, aku tetap mempelajarinya secara otodidak.
Setiap gerakan yang kulakukan sekarang terasa begitu lebih berarti. Aku ingat betapa besarnya ambisiku untuk menghajar orang yang menjadi lawanku. Tapi tidak dengan perkelahian kali ini. Yang ingin kulakukan hanyalah sebuah penyelamatan, juga mempertahankan harga diriku yang sudah seenaknya di injak-injak.
"Gapapa, bro?" Teriak Shinsuke yang langsung masuk kedalam perkelahian. Disaat yang tepat, ia dan Suna datang.
Osamu melakukan tugasnya dengan baik.
"Aman!" Ucapku sangat keras.
Biasanya, aku bisa bertahan dalam situasi ini hingga setengah- bahkan satu jam. Tapi luka operasi pada tanganku sekarang mulai terbuka kembali, membuatku merasakan nyeri yang amat dahsyat.
"Suna, Awas!" Teriakku begitu melihat ada yang hampir menyergap Suna dari arah belakang.
Aku hampir saja lengah.
"Atsumu, di belakang Lo!" Shinsuke mendorongku kearah samping, lalu menonjok orang yang tadi ada di belakangku.
"Nggak habis-habis..." Gumam Shinsuke pelan.
"Shin, Fokus!" Suna berteriak.
Melihat situasi yang semakin tidak terkendali, aku berpikir untuk melakukan serangan yang lebih gila.
Sayangnya, aku tidak menemukan keberadaan pisau lipat milikku. Sepertinya jatuh saat aku sibuk berkelahi.
"Osamu!!" Teriakku mendapati Osamu yang kesulitan menghadapi orang yang menghadangnya. Tepat beberapa waktu lalu, Osamu malah melakukan hal bodoh, dengan datang dan masuk ke area perkelahian.
Konsentrasi yang berkurang membuatku lengah. Oikawa meninju perutku dengan sisa tenaga yang ia miliki.
Seharusnya pukulan seperti itu tidak akan pernah bisa merobohkan ku. Beda ceritanya dengan hari ini, Oikawa melakukannya dengan sebuah benda tajam.
Aku bisa merasakannya. Benda itu mengoyak bagian dalam tubuhku, membuatku lemas dan ambruk detik itu juga.
Kekuatanku benar-benar sudah habis sekarang. Sepertinya, aku sudah kehilangan banyak darah.
Kupikir, aku akan mati di tempat itu.
---
"Ahaha... Lo nggak boleh kasar gitu ke Osamu." Gumamku setelah mendengar apa yang Suna ceritakan.
Suna mendecik, seolah tidak perduli dengan apa yang aku ucapkan barusan.
"Dia pinter. Tapi otaknya itu nggak berguna bahkan sekadar buat nyusun strategi." Suna buka suara. "... Osamu cuma planga-plongo kayak orang bego." Lanjutnya setelah melirik sejenak ke arahku.
Ku akui bahwa Suna adalah tipe orang yang begitu sensitif. Awal berkenalan dengannya, aku dan dia sepakat- bahwa kami tidak cocok berada dalam lingkaran pertemanan yang sama.
Tapi semakin lama, kami malah semakin dekat. Sampai akhirnya terikat dalam hubungan persahabatan.
Aku hanya tidak mengerti mengapa Suna begitu arogan menanggapi sikap adik kembarku, Osamu.
"Intinya, dia dapetin itu karena kecerobohannya sendiri." Suna bangkit dari tempat duduknya. "... Jadi, Lo nggak wajib untuk punya perasaan kalo Lo itu gagal ngelindunhin dia." Kata Suna kemudian.
Aku hanya mengangguk, meskipun bisa saja aku menyanggah apa yang Suna ujarkan itu. Hanya saja, aku sedang tidak ingin berdebat. Baik batin dan fisikku, keduanya sedang sama-sama lelah. Jadi aku ingin segera mengisinya kembali hingga penuh.
"Istirahat aja, biar gw yang kasih tau Shin sama Osamu- kalau Lo udah sadar." Suna melambai kecil. Kepergiannya berbarengan dengan kedatangan kedua orangtuaku.
Padahal aku baru saja ingin istirahat. Aku sedang tidak ingin berdebat dengan kedua orangtuaku. Tapi mereka juga tidak akan memaafkan ku atas apa yang terjadi dengan Osamu.
Kudengar dari Suna, salah satu mata Osamu mengalami kebutaan akibat cidera fatal.
"Yaampun, nak... Kamu sampe babak-belur begini." Aku membeku ketika Papah langsung membelai helaian rambutku. Wajahnya penuh akan rasa khawatir.
"Pa.. Papah... Maaf, ya- Atsumu nggak becus ngejagain Osamu." Aku lebih memilih untuk langsung meminta maaf, daripada harus mendengar Papah memaki-makiku terlebih dahulu.
Papah menggeleng. "Itu nggak betul." Katanya.
"Terimakasih udah jadi kakak yang sangat bertanggungjawab." Kata Mamah. Diangguki oleh Papah.
Kedua mataku berkaca-kaca. Kedua orangtuaku biasanya selalu memarahiku apabila aku berkelahi. Tapi sekarang, mereka berterimakasih kepadaku.
Sungguh, aku senang sekali.
"Atsumu sama Osamu, anak Papah yang paling kuat!" Meskipun Papah berkata demikian, aku malah menangis dibuatnya.
Apanya yang kuat kalau merengek begitu.
"Osamu lebih kuat daripada Atsumu, hehe." Kalimatku membuat Mamah dan Papah tersenyum bangga.
Bagaimana, ya. Aku hanya berusaha jujur. Osamu mampu menahan rasa sakit yang lebih besar daripada apa yang aku rasakan.
Hebatnya lagi, Osamu masih terus bertahan hingga detik ini. Meskipun kanker memangkas habis waktu hidupnya dengan begitu cepat- Osamu tetap masih membuka mata, meskipun sekarang hanya ada satu yang masih berfungsi.
BRAKKK!!
"ATSUMU!!" Pintu yang dipaksa terbuka itu, terbanting hingga menimbulkan suara yang kencang. Disana Ada sosok Shinsuke yang tengah mendorong kursi roda- dimana ada Osamu yang duduk disana.
Sementara Suna seperti orang yang sedang menahan tawa.
Ah, padahal aku sedang ingin menghabiskan waktu dengan kedua orangtuaku.
---
Setelah sekian lama, aku kembali bermimpi. Hari-hari dimana aku menghabiskan waktu dengan banyak kesia-siaan. Keresahan didalam mimpi membuatku merasa kalau aku ingin bisa kembali ke masa lalu.
Masih sama dengan apa yang aku harapkan ketika berbicara dengan Osamu. Meskipun terdengar omong kosong, aku tetap berharap- ketika terbangun aku berada didalam sebuah raga yang usianya masih delapan atau sepuluh tahun.
Karena aku tahu, Osamu tidak akan bisa bersama denganku lebih lama lagi. Dalam waktu dekat, ia akan pergi. Beristirahat dan meninggalkanku selama-lamanya.
Aku masih berpikir keras, apa sikap yang harus kutunjukkan dihadapan Osamu. Haruskah aku menunjukkan seolah-olah aku sudah rela apabila ditinggalkan olehnya, atau aku harus memaksanya untuk melawan Kanker tersebut.
Sebab aku juga tahu, Osamu sudah lelah.
Sulit rasanya membohongi diriku sendiri. Aku sudah tahu, kalau aku bukanlah orang yang merelakan sesuatu yang kumiliki hilang begitu saja.
Aku tidak senang ketika hal berharga milikku direnggut, dan Osamu adalah salah satu hal yang paling berharga bagiku.
Jika bisa ditukar, lebih baik aku yang mati daripada dirinya.
Dunia tidak memerlukan orang bodoh dan payah seperti aku. Osamu lebih layak tinggal lebih lama disini.
.
.
.
.
To be continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Osamu [ END ] ✓
FanfictionTerlalu sering dibanding-bandingkan membuatku ingin menjauhi adikku. Meskipun bukan dia yang kubenci, tapi orang-orang yang fanatik dengannya menimbulkan rasa kesal didalam hatiku. Meskipun begitu, aku tidak pernah bisa membencinya- berapakali pun k...