Dear Osamu - Perihal Merelakan
Aku pernah dengar sebuah gossip yang kebenarannya masih simpang-siur. Ada yang bilang, bahwa ikatan antara anak kembar itu lebih kuat daripada adik dan kakak pada umumnya.
Dimana anggota anak kembar bisa merasakan, atau mempunyai feeling yang kuat mengenai kembarannya sendiri.
Awalnya, aku tidak pernah mempercayai hal tersebut. Bagiku, kata-kata itu hanyalah omong kosong.
Kenapa?
Tentu saja karena aku merasa kalau Osamu tidak akan pernah mengerti apa yang aku rasakan. Ia tidak akan pernah mengerti bagaimana perbedaan garis kehidupan antara aku dan dirinya.
Osamu selalu berdiri di atas sana, sangat berkilau dan tidak pernah bisa kugapai.
Sementara aku tertinggal di dasar yang paling gelap. Seolah tidak akan ada satupun orang yang menolongku, membuatku harus terus berteriak kuat-kuat untum mendapatkan perhatian.
Tapi, sekarang semuanya berbeda. Aku benar-benar percaya kalau sedaridulu, Osamu dan aku selalu terhubung.
Bulan-bulan berikutnya, kesehatanku dan Osamu naik turun secara bergantian. Jika Osamu sedang sakit, maka aku yang akan menjaganya- begitupun sebaliknya.
Dikala aku sedang jatuh sakit, aku selalu berharap bahwa kematian akan datang menjemputku.
Dari lubuk hatiku yang paling dalam, aku benar-benar tidak bisa merelakan Osamu.
"Hari ini suasananya lain, ya, Pah...?" Gumamku.
Papah memejamkan kedua matanya kuat-kuat, seperti sedang menahan beban yang masuk kedalam kepalanya. Beliau menarik napas panjang, lalu menghembuskannya dengan sedikit kasar.
Aku tahu, Mamah dan Papah mengerti dengan apa yang kumaksud.
Semalaman penuh, kami bertiga sibuk menjaga Osamu yang terlelap. Meskipun tidak mengucapkannya secara langsung, tapi kami bertiga merasa bahwa Osamu perlu dijaga.
Kami tidak ingin, malaikat maut membawa Osamu tanpa permisi.
Mungkin Osamu tidak sadar, tapi dirinya selalu mengigau- berkata bahwa besok ia akan pulang.
Diantara kami bertiga, Mamah adalah orang yang hatinya selalu tersayat ketika mendengar setiap bualan keluar dari bibir Osamu. Air matanya bahkan sudah kering, setelah berjam-jam menangis.
"Mah... Pah... Kalian harus baik-baik aja, oke?" Osamu tiba-tiba saja datang. Merentangkan tangannya lalu mendekap Mamah dan Papah.
Aku berusaha meredam rasa sedih, hingga kepalaku terasa begitu sakit. Aku benci ketika mendengar Osamu berujar seolah-olah ia tidak akan berada disini lagi.
"Jadi, Samu mau kemana hari ini?" Kedua tanganku semakin mengepal kuat ketika mendengar Papah berujar demikian.
Situasi ini sungguh berat bagiku. Belum lagi, ketika Osamu menjawab bahwa dirinya ingin Pulang.
Kalimat serupa seperti yang Osamu ucapkan semalam.
Aku satu-satunya orang yang terus terdiam. Bibirku seolah tidak tahu harus berucap apa.
"Kan ada Tsumu yang nemenin Samu dirumah." Osamu tiba-tiba saja merangkul, membuatku sedikit terkejut.
"I-iya... Mah, Pah... Kalian berangkat aja." Ucapku yang langsung beradaptasi dengan suasana saat itu.
Menahan diri terus menerus seperti ini bukanlah suatu hal yang nyaman. Aku tahu kedua orangtuaku tidak benar-benar pergi. Mereka hanya menuruti apa yang Osamu katakan.
Osamu memang spesial, semua anggota keluarga begitu mencintainya- termasuk aku.
"Jangan pergi, Samu..." Aku mengucapkannya, Tapi Osamu mengabaikanku. Ia malah mengajakku bermain play station.
Sepanjang permainan, aku masih saja murung. Rasaya, aku tidak dapat menikmati semua kegiatan yang kulakukan.
"Samu, kepala Lo nggak sakit lagi, kan? Lo sembuh, kan?" Daripada disebut pertanyaan, apa yang keluar dari bibirku seperti sebuah paksaan. aku ingin Osamu berkata bahwa dirinya baik-baik saja.
Sayangnya, Osamu menggeleng.
Mungkin, Osamu mengira bahwa aku tidak menyadarinya. Tapi, dari sikapnya yang kelewat tenang itu- aku justru tahu kalau Osamu sedang merasa ketakutan.
Sedari awal, Osamu selalu menghindari pembicaraan yang berat. Osamu selalu mengalihkan pembicaraan, mulai dari mengajakku bermain game- sampai membawaku ke ruang makan untuk mencari sesuatu yang bisa dimakan.
"Sam..." Panggilku.
"Buat mie aja mau nggak? Gw udah lama nggak makan mie." Osamu berkata demikian, tapi ia tidak menyentuh deretan mie instan yang sudah jelas ada didepan matanya.
"Samu..." Panggilku sembari mendekat sedikit demi sedikit.
"Apa kita pesen online aja. Lo mau apa?" Tanya Osamu sembari menutup pintu kulkas.
"Osamu..." Aku menarik Osamu kedalam pelukanku begitu ia berbalik.
Dugaanku benar, bahwa Osamu tengah ketakutan. Biar bagaimanapun aku bisa merasakan bagaimana detak jantungnya berdegup tidak karuan.
Tubuh Osamu juga gemetar beberapa kali.
"Tsumu... Gw takut." Sampai akhirnya Osamu mengakui apa yang ia rasakan.
"Tsumu... Tsumu... Jangan nangis." Lirik Osamu setelah mendengarku berujar, bahwa aku tidak ingin kehilangannya. Tapi aku juga tidak ingin dirinya merasa kesakitan lebih dalam lagi.
Di detik-detik ini, aku membuang semua keinginan egois ku. Aku tidak ingin Osamu merasa kepergiannya membebaniku.
Aku bersumpah dihadapannya, bahwa aku akan merelakan kematiannya.
"Iya, nanti gw yang kasih tau ke Mamah sama Papah kalau Lo pamit pergi, ya." Aku menatap wajah Osamu yang kian memucat itu.
Suhu tubuh Osamu semakin turun. Padahal beberapa menit yang lalu, ia masih bisa beraktivitas banyak.
"Tsumu... Senyum." Kata Osamu.
Aku menurutinya. Osamu juga memberikan sebuah flashdisk untukku. Aku yakin ia meninggalkan sesuatu didalam sana.
Osamu sampai repot-repot meninggalkan kenangan seperti ini untkku.
"Selamat istirahat, adikku tersayang, Osamu." Aku membisikkan seutas kalimat, lalu mengecup kepalanya.
Osamu masih ada didalam pelukanku, tapi sekarang ia sudah tidak ada bersamaku lagi.
Pada akhirnya, Osamu bisa benar-benar pergi tanpa satupun beban yang tertinggal di pundaknya. Kanker tidak akan membuat kepalanya sakit lagi, dan Osamu bisa berbahagia diatas sana.
.
.
.
.
To be continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Osamu [ END ] ✓
Fiksi PenggemarTerlalu sering dibanding-bandingkan membuatku ingin menjauhi adikku. Meskipun bukan dia yang kubenci, tapi orang-orang yang fanatik dengannya menimbulkan rasa kesal didalam hatiku. Meskipun begitu, aku tidak pernah bisa membencinya- berapakali pun k...