Namaku Tri Em. Tapi teman-teman lebih suka memanggil aku 'playboy'.
Bersama kisah ini, aku ingin betul-betul mengenal diriku, juga orang-orang di sekitarku. Walau mereka tidak percaya-ketika aku bercerita-apa saja yang telah aku alami di masa lalu...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
(Ilustrasi 'Lembar Pertama' oleh Rendy Ridwan)
Hari demi hari kulalui dengan sungguh-sungguh. Tugas-tugas sekolah kukerjakan tanpa terlewat. Ekskul basket juga kuikuti setiap minggunya. Sampai aku menyadari, kalau ada yang aneh dengan sikapku selama beberapa minggu terakhir, terutama sejak wajah dan suara Anis selalu dan tiba-tiba muncul di dalam pikiranku.
Aku merasa ia begitu dekat.
Ya, aku merasa Anis cukup dekat, meski kami belum lagi berkenalan. Debat kecil tiap kali ingin masuk ke dalam kelas pun tak lagi terjadi. Ia tetap menjalankan tugasnya sebagai ketua kelas—menyiapkan barisan seperti biasanya. Sementara itu, aku hanya bisa memperhatikan Anis dari jauh, sambil menepis perasaan suka yang aku sendiri masih belum meyakininya.
Namun, semakin aku menghindar dari perasaan itu, aku justru ingin mengungkapkannya kepada Anis. Aku ingin ia tahu, bahwa hadirnya ia dalam hidupku, setidaknya cukup mengganggu. Bagaimana hal itu kemudian tidak mengangguku? Aku jatuh hati pada seseorang yang bahkan kami sama-sama belum berkenalan.
Akhirnya, aku menyusun rencana gila sekadar ingin menyatakan isi hatiku pada Anis.
Ramadan 1426 Hijriah. Sekolahku mengadakan pesantren kilat selama tiga hari. Hari pertama dan hari kedua untuk kegiatan kelas 8 dan kelas 9, sedangkan hari terakhir untuk kami anak-anak kelas 7. Pesantren kilat ini menutup seluruh kegiatan di sekolah, sebelum liburan awal puasa.
Kegiatan berlangsung dan terpusat di musala sekolah. Mengaji dan membaca surat-surat pendek, mendengarkan ceramah, salat berjamaah, buka puasa bersama, semua itu bukan hal baru buatku. Sebab saat SD aku sering mengikuti pesantren kilat yang diadakan oleh sekolah. Aku ingat semua itu, dan tak ada yang seistimewa seperti saat kelas 7 SMP.
Dari semua kegiatan yang diadakan saat pesantren kilat, aku yakin yang paling ditunggu oleh kebanyakan murid adalah buka puasa bersama, apalagi dengan kelas masing-masing. Itu selalu jadi momen seru dan tidak bisa dipisahkan dari pesantren kilat, bahkan dari bulan Ramadan itu sendiri. Momen itulah yang membantuku merealisasikan rencana untuk bisa bertemu Anis tanpa diketahui oleh teman-temanku.
Aku seorang yang cukup pemalu, juga penyendiri. Aku kenal cukup baik beberapa teman, baik di kelas maupun di sekolah, tapi tidak sebanyak seperti yang orang ketahui. Akan lebih memalukan ketika teman-temanku tahu bahwa aku menyukai Anis, ketua kelas 7-5. Siapa aku? Hanya cowok yang kepengin masuk ekskul band, tapi malah masuk ekskul Paskibra karena dipaksa, kemudian beralih mengikuti ekskul basket. Cowok biasa sepertiku tak cocok jika berpasangan dengan seorang ketua kelas.
Acara buka puasa bersama saat itu berlangsung dramatis, terutama untukku dan rencana yang telah kususun secara sistematis: aku akan mengobrol berdua saja dengan Anis.
Menjelang selesainya acara buka puasa bersama, aku segera keluar dari dalam kelas dan mencari seseorang dari kelas 7-5. Meski cukup pemalu dan penyendiri, aku sadar kalau rencanaku membutuhkan bantuan orang lain. Setidaknya, aku mempercayai orang itu dan ia mau membantuku tanpa pamrih.