(Ilustrasi 'Lembar Pertama' oleh Rendy Ridwan)
Malam itu, setelah Anis menutup telepon dan membuatku terkesiap, aku pun mencari tahu padanan kata kangen. Jadi, kangen itu sama kayak rindu. Tapi 'rindu' terlalu sulit untuk diucapkan, apalagi bagi seorang cadel sepertiku.
Hari-hari berikutnya, aku tak lagi menelepon Anis. Seminggu, dua minggu, sampai libur Idulfitri dan kami masuk sekolah kembali, aku ragu untuk menghubungi apalagi bertemu dengannya.
Di sekolah, Anis juga seolah menghindar dariku. Ia selalu bersama teman-teman kelasnya. Hal itu kemudian mengingatkanku pada beberapa kejadian. Seperti di kantin saat aku meminta nomor hapenya. Mengantarnya pulang di hari pertama jadian. Seperti di awal aku diam-diam menyukainya. Melihatnya pertama kali di lapangan sekolah saat MOS.
Betapa menyebalkan jatuh cinta dan kangen itu.
Perubahan sikapnya cukup kurasakan. Semangat belajarku yang menggebu-gebu. Nilai-nilai bagus di hampir semua mata pelajaran. Bahkan, ekskul basket di hari Minggu dan lagu-lagu populer yang kudengar dan kunyanyikan tak mampu menghiburku.
Aku tak tahu mengapa aku jadi sulit berkonsentrasi. Di pikiranku hanya ada satu nama, dan ia adalah pacarku: Anis.
Sampai saat ia mengucap dua kata menyakitkan, kuingat baik-baik sekalipun tak ingin. "Kita putus," ucap Anis di depan kelasnya.
Waktu itu aku ingin pergi ke kantin, dan ternyata Anis sudah menungguku di depan kelas VII-5. Tak ada ekspresi senang apalagi bahagia di wajahnya. Sebentar kami saling terdiam, sampai kalimat itu keluar dari mulut Anis.
Tak ada yang bisa kulakukan, kecuali berdiri di depannya dengan degup jantung yang sama menyesakkan seperti orang jatuh cinta. Bedanya kali itu aku patah hati. Benar-benar patah hati.
Bu Susi, guru BP (Bimbingan dan Penyuluhan) kelas VII-4—sebelum berganti menjadi BK (Bimbingan dan Konseling)—sewaktu mengajar pernah berkata, "Anak-anak! Kalau kalian ada masalah, kalian bisa cerita ke Ibu. Tidak perlu khawatir, sebisa mungkin pasti Ibu bantu carikan solusinya!” ucapnya dengan penuh semangat.
Berminggu-minggu aku patah hati. Seperti ada yang hilang dari diriku. Aku yang merasa Anis begitu dekat, terasa juga olehku—ia bukan hanya menghindar, tapi juga menjauh.
Kenapa harus dia? Kenapa aku masih belum menerima kalau kami putus?
Dengan pertanyaan-pertanyaan yang cukup memusingkan kepala, lalu aku menemui Bu Susi di ruangan BP saat jam istirahat.
Lokasi ruangan BP hanya berjarak tiga ruangan dari kelasku. Arahnya menuju ke kantin sekolah, berada persis di sebelah kelas VII-6. Jujur saja, aku belum pernah masuk ke ruangan itu. Namun, setiap siswa di sekolahku bisa melihat ke dalam ruang BP karena pintunya selalu terbuka. Seingatku, ruangannya cukup besar dan di sana ada kursi dan meja tunggu untuk tamu.
Ada pula satu ruangan kecil, disekat kayu dengan jendela transparan, dan terdapat satu meja dan dua bangku yang saling berhadapan. Bu Susi mengajakku bicara empat mata di ruangan kecil itu.
Ketika aku bercerita soal masalahku dan apa yang kualami, Bu Susi malah tertawa. Ia tak tahu siapa Anis, kemudian aku ditinggalkannya sendiri di bilik konsultasi.
Hanya jeda beberapa menit sampai Bu Susi kembali duduk di hadapanku.
Tok-Tok-Tok! Suara pintu diketuk dari luar bilik konsultasi.
Bu Susi mempersilakan seseorang di luar bilik konsultasi untuk memasuki ruangan.
"Permisi, Bu? Kata temen saya, Ibu nyuruh saya ke sini?"
Anis tiba-tiba muncul di tengah-tengah kami.
"Kamu yang namanya Anis? Kamu putus sama Tri Em?" Pertanyaan Bu Susi membuatku seketika merasa bersalah karena telah berbagi cerita dengannya.
Anis melirikku dengan tatapan sinis, lalu berkata, "Emangnya kenapa, Bu? Tanya sendiri aja ke orangnya."
"Kalau kamu memang udah nggak nyaman, kalian kan masih bisa berteman?"
"Em! Ngomong apaan sih lu ke Bu Susi?!"
"Tenang dulu, Nis... Em, bisa kamu jelasin ke Anis?"Ketika itu aku cuma bisa menundukkan kepala.
"Tuh, Bu! Em tuh bisanya cuma diem doang! Mau lu apaan sih, Em?!"
Kutengadahkan kepala, kemudian memberanikan diri menatap kedua mata Anis. "Gue... gue
cuma mau minta penjelasan kenapa lu jauhin gue setelah kita..."
"Siapa juga yang ngejauhin lu?! Gue biasa aja, tuh!" balas Anis memotong pembicaraanku.
"… putus," lanjutku dalam hati.
"Loh? Kok pada berantem? Sudah, sekarang kalian jabatan tangan, dan nggak usah lah pakai musuh-musuhan," Bu Susi berusaha menenangkan keadaan.
“Denger tuh kata Bu Susi!”Setelah berjabatan tangan denganku, Anis langsung nyelonong pergi dan keluar dari bilik konsultasi. Bahkan, selama kami pacaran, aku tak pernah menggenggam tangannya.
Cukup lama kupandangi telapak tangan kananku, sampai Bu Susi mengajukan pertanyaan, "Usia kamu masih sangat muda. Kenapa kamu mau pacaran?" tanyanya diselingi senyum.
"Kenapa ya, Bu? Mungkin memotivasi saya belajar," jawabku dengan jawaban yang entah kudapat dari mana.
"Kalau memang memotivasi kamu belajar, ya kamu jangan bersikap seperti ini!"
"Terus saya harus ngapain, Bu? Saya nggak tahu gimana caranya biar semangat belajar saya jadi kayak dulu lagi."
"Cari pacar lagi."
"Apa, Bu?" tanyaku memastikan.
"Cari pacar lagi."Bu Susi lalu tersenyum, sedang aku mencoba mencerna kata-katanya.
Dalam hati, aku mengulang kalimat yang sama, beberapa kali.
♥️ Lembar Pertama ♥️
KAMU SEDANG MEMBACA
Memoar Mantan Playboy
Teen FictionNamaku Tri Em. Tapi teman-teman lebih suka memanggil aku 'playboy'. Bersama kisah ini, aku ingin betul-betul mengenal diriku, juga orang-orang di sekitarku. Walau mereka tidak percaya-ketika aku bercerita-apa saja yang telah aku alami di masa lalu...