BAB 1. Lembar Pertama (Part 5)

31 0 0
                                    

(Ilustrasi 'Lembar Pertama' oleh Rendy Ridwan)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

(Ilustrasi 'Lembar Pertama' oleh Rendy Ridwan)

Libur sekolah saat bulan ramadan jadi hal yang selalu kutunggu. Saat SD dulu, bahkan aku sempat merasakan libur sekolah selama sebulan penuh. Masa-masa menyenangkan itu kualami saat Gus Dur menjabat sebagai presiden—sosok pemimpin yang berani membela minoritas dan kaum tertindas.

Sejak Anis mau menjadi pacarku, libur seminggu pada awal puasa justru membuatku memikirkannya. Sedang apakah ia, atau sama sepertiku, setiap malam tarawih dan sore harinya ngabuburit dengan bermain sepakbola, atau ke rental PlayStation, atau patungan menyewa studio musik bersama teman-teman di rumah?

Kupikir, Anis tidak melakukan kegiatan yang sama sepertiku. Ia tidak akan memilih ngadem di rental PS dan studio musik, seperti caraku dan teman-teman agar kuat berpuasa. Selama libur, mungkin ia menghabiskan waktunya bersama keluarganya, atau menonton DVD film. Mungkin ia belum menganggapku sebagai pacar. Dan lagi, seberapa berarti sih seorang pacar itu?

Usai libur awal puasa, pada hari pertama kembali masuk sekolah, aku langsung mencari Anis di beberapa sudut sekolah. Saat melihatnya sedang duduk di kantin bersama teman-teman kelasnya, hatiku sedikit lega. Tapi aku tak segera menemui Anis. Seperti saat diam-diam menyukainya, aku sedikit mengambil jarak, namun tetap memperhatikan pacarku itu.

Warung-warung di kantin, mulai dari warung yang hanya berisi jajanan, warung nasi, warung mie ayam dan bakso, tukang es, warung ketoprak, sampai gerobak siomay, semua tutup selama bulan puasa. Tapi di kantin—sebagaimana tempat duduk di koridor di tengah sekolah—ada juga bangku panjang yang terbuat dari semen dan beralaskan keramik. Setidaknya, kantin di sekolahku cukup untuk menampung murid-murid kelas VII dan sebagian kelas VIII yang masuk siang.

Beberapa menit sebelum bel pulang kelas pagi berdering nyaring, aku sempatkan diri untuk menemui Anis. Namun, ketika aku menghampirinya—seperti saat ia menemuiku di belakang mobil guru di parkiran sekolah—aku masih agak canggung sekadar menyapa pacarku itu.

Anis mengajakku duduk bareng, sekalian berkenalan dengan teman-temannya. Tapi aku memilih untuk tetap berdiri, karena tak lama setelah itu, tiba waktu untuk pergantian kelas pagi dan kelas siang.

Saat kulihat Anis mempunyai telepon genggam, aku bertanya padanya, “Nis, nomor hape kamu berapa?”
“Nomor kamu aja, berapa?”
“Aku nggak punya handphone,” jawabku cepat.

Tiba-tiba aku teringat saat MOS dulu. Indah, kakak kelasku, ia yang pertama kali mendapat jawaban kalau aku tak punya handphone. “Ya udah, nanti aja pulang sekolah aku kasih nomor hapeku,” jawab Anis dan kami saling melempar senyum.

Bodohnya aku! Bukan bersabar. Aku malah bilang, “Nggak bisa sekarang?”

Senyum yang sebelumnya sama-sama kami tunjukkan, lalu berganti sedikit kekesalan, “Nggak lihat aku lagi sama temen-temen aku?” balas Anis.

KRING... KRING... KRING...KRING... KRING... KRING...

Bel pergantian kelas berbunyi. Tanpa sempat meminta maaf, aku bilang kepada Anis untuk masuk kelas terlebih dahulu. Tapi tak ada jawaban darinya, atau suasana kantin dan bel pulang kelas pagi terlalu berisik, sehingga Anis tak mendengarkan kata-kataku.

Yang terjadi kemudian: aku meninggalkannya di kantin, lalu menuju kelasku dengan sedikit rasa bersalah.

***

Di kelas, aku berusaha untuk tetap fokus belajar. Saat jam istirahat pun aku tak menemui Anis, melainkan bersama beberapa teman pergi ke musala—apa lagi kalau bukan untuk beribadah sekaligus ngadem.

Sampai semua mata pelajaran hari itu selesai dan bel pulang berbunyi, kulihat Anis menungguku di depan kelasnya. Ia lalu memberikan secarik kertas kecil dan segera kusimpan di balik saku baju. Kertas kecil itu bertuliskan sebelas digit nomor hape Anis.

Sejenak melupakan debat kecil di kantin, aku dan Anis kemudian berjalan pulang bersama. Tapi kami tidak hanya berdua. Betapa polosnya aku—lagi-lagi dalam situasi di mana aku seperti seorang bodyguard. Aku mengikuti Anis dua-tiga langkah di belakang ia dan teman kelasnya.

Sekolahku berada sekitar satu kilometer dari jalan raya. Kalau ingin naik angkot, kami mesti melewati Tornado, atau lewat jalan lain yang pernah kulewati bersama Anis saat hari pertama jadian.

Pertama kali aku pulang bersama Anis melewati Tornado, kukira kami harus pulang dengan menembus badai. Ternyata, Tornado itu tidak bukan dan tidak lain adalah sebutan dari Jalan Batu Tumbuh.

Sesampainya kami di pinggir jalan raya, samar-samar kudengar pacarku bertanya, “Kamu nggak pulang?” Tapi bising kendaraan membuat suara Anis tidak begitu jelas terdengar.
“Kamu ngomong apa?”
“KAMU NGGAK PULANG??!” teriak Anis di telinga kiriku.
“Kurang keras suaranya.”
“Abis kamu pura-pura nggak denger.”
“Aku anter sampai depan rumah, ya?” pintaku, sambil berharap Anis mau mengajakku main ke rumahnya.

Bukan! Mana berani aku main ke rumah Anis! Aku hanya ingin menghafal jalan menuju rumahnya, itu pun supaya aku tidak nyasar lagi.

“Kamu pulang aja! Aku bisa pulang sendiri.”
“Sampai seberang aja deh, gimana?” pintaku lagi, dan terpaksa membatalkan niat menghafal jalan menuju rumah Anis.
“Udah, sampai di sini aja. Kamu pulang, gih!”
“Hmm… Nunggu kamu sampai seberang, baru aku mau pulang,”
“Ya udah, aku mau nyeberang sekarang. Dah!”
“Hati-hati, ya?”

Seperti caraku meninggalkan Anis di kantin, seketika itu juga ia berlalu, sedang aku berdiri mematung—menatap punggung dan rambutnya yang tak lagi dikucir satu.

Memastikan bahwa hubungan kami akan baik-baik saja, aku pun menunggu angkot nomor 17 jurusan Cililitan-Kampung Makasar-Pinang Ranti. Jika beruntung, aku hanya perlu menunggu selama sepuluh menit sampai angkot itu datang. Dan jika setengah beruntung, angkot itu penuh penumpang, namun aku bisa berdiri di sisi luar pintu layaknya kernet. Dan jika sedang sial, calon penumpang akan menunggu sampai setengah jam, atau tak ada angkot 17 yang beroperasi karena seluruh pengemudinya sedang melakukan aksi mogok.

Sejak berpacaran dengan Anis, kuakui hidupku sedikit berubah. Ya, aku yang tadinya pergi-pulang sekolah dengan berjalan kaki, kemudian berganti menggunakan moda transportasi umum. Tapi yang lebih penting, aku jadi semangat belajar, dan nilai-nilaiku di sekolah semakin baik.

Aku sampai di rumah dengan wajah berseri-seri. Ibu tak tahu kalau saat itu bontotnya sedang jatuh hati. Maka selesai mandi, buka puasa, mengaji di musala dan tarawih, lalu kembali ke rumah untuk mengerjakan tugas sekolah dan belajar, langsung saja kudekati pesawat telepon di ruang tengah.

Kupandangi secarik kertas kecil yang Anis berikan padaku di depan kelasnya.

Tut.. Tut.. Tut… Telepon tersambung.

“Halo. Maaf, ini siapa ya?” sapa Anis dari seberang telepon.
“Halo. Ini Anis ya?”
“Iya, ini Anis, emang kamu siapa?”
“Pacar kamu,” jawabku sambil senyum-senyum menatap kertas kecil di tangan kiri.
“Pacarku? Tri Em? Ada apa nelepon aku? Kangen ya?”

Aku terkejut. Saat itu aku belum tahu apa itu kangen. “Nggak apa-apa, pengin nelepon kamu aja. Kamu lagi ngapain?” lanjutku, setelah sempat membisu.
Anis balik bertanya, “Lagi mau belajar. Kamu nggak belajar?”
“Aku udah belajar kok! Ya udah, kamu belajar aja dulu, nanti aku telepon lagi. Maaf ya kalau aku ganggu.”
“Jadi kamu nggak kangen sama aku? Ya udah! Bye!”

Klik. Tut.. Tut.. Tut…

Belum sempat kujawab, seketika pacarku itu mengakhiri percakapan kami. Aku diam seribu bahasa, dengan masih memegang gagang pesawat telepon.

***

Memoar Mantan PlayboyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang