17.2

18.1K 4.1K 324
                                    

Selamat membaca
••

Jangan lupa taburan bintang dan komen, Bestie! 🤌🏻🤣

USULAN MEMBANGUN keluarga dari Steven menggantung selama sisa waktu mereka di restoran ataupun gallery seni. Rukma tidak berminat mencari tahu itu sekadar usulan sambil lalu atau serius. Bahkan, sesampainya di rumah dan masuk kamar masing-masing, Rukma bersikap seakan-akan Steven tidak pernah mengucapkan apa pun.

Rukma mati-matian tidak memedulikan sinyal-sinyal yang coba dikirim mata Steven. Yang dia pedulikan hanyalah cara menjaga hatinya tidak lagi termakan kalimat-kalimat yang menawarkan mimpi-mimpi semu. Tentang keluarga utuh  yang dia inginkan sejak kanak-kanak. Tentang kebahagian memiliki orang yang tulus sayang sama dia. Dengan kaki diseret, Rukma berhasil duduk di pinggir ranjang—mamandang sendu pantulan diri sendiri di cermin. Tepat di saat helaan napas kasarnya terlepas, bayangan masa lalu yang mengintai sejak matanya beradu dengan David sore tadi—menangkap lalu memeluknya erat-erat, dan Rukma pasrah ....

"Kamu sering ngerasa sendiri, aku juga. Dua orang kesepian ketemu, kenapa kita nggak bareng aja?"

Rukma tercekat oleh kesakitan tak berujung saat suara yang berhasil diredam selama puluhan bulan berputar lagi di benaknya, disusul kalimat Fariza beberapa hari lalu; "Kenapa nggak coba buat membicarakan masalahnya, Mbak? Biar sama-sama lega."

Haruskah?

Didorong emosi asing yang datang, dia berjalan menuju lemari baju cokelat muda dua pintu di sebelah ranjang. Membuka laci kecil yang dipakai untuk menaruh hasil tabungannya selama tiga tahun, perhiasaan emas milik Tita dari Ghina, dokumen-dokumen penting, dan beberapa barang masa lalu yang lama tidak pernah dia pedulikan. Meski tersimpan di bagian paling dalam lemari, dia tetap menjaga barang-barang itu. Setiap kali ada keinginan membuang, hati kecilnya selalu berbisik; jangan, siapa tahu berguna di masa mendatang.

Dan ini, waktunya salah satu dari barang masa lalu berguna. Di antara rasa yakin dan ragu, Rukma mengambil ponsel android hitam—ponsel lamanya. Masih bagus, hanya saja kenangan di benda itu terlalu sulit dihapus, hingga pada saat pindah ke Bandung—dia memilih membeli ponsel lain.

Kemudian, Rukma kembali duduk di tempat awal sembari membawa ponsel dan powerbank. Tanpa memikirkan akibat jika ponsel lamanya menyala atau kemungkinan besar apa yang  dicari sudah hilang, Rukma mengaktifkan benda itu. Menunggu pengisian baterai membantu ponsel bekerja seperti seharusnya, menyambungkan wifi.

Baru beberapa saat internet memberi napas kehidupan kedua setelah baterai yang mulai terisi, pesan-pesan singkat dari satu nama datang terus—membentuk timbunan notifikasi yang membuat Rukma tercekat lagi. Bahkan, rasa cemas menemukan pesan omelan dan makian dari sang ayah atau saudara tirinya, terasa sia-sia.

Hanya satu nama.

David.

Dengan tangan yang gemetar, Rukma membuka room chat dari lelaki itu. Matanya melebar menemukan setumpuk pesan suara, namanya yang diketik berulang-ulang, sampai  foto-foto dari berbagai tempat yang masih lekat diingatan Rukma.

Di detik Rukma ingin memutar salah satu pesan suara, keraguan berusaha menghentikannya—mengirimkan rentetan peristiwa menyakitkan yang harus dia lalui, lalu ada teriakan keras menghantam dadanya, Nggak perlu tahu apa yang dilakukan lelaki itu. Toh, selama ini lo berhasil menahan diri. Yang ujung-ujungnya gagal meyakinkan Rukma agar berhenti mencari tahu.

"Ma, aku habis makan di warung sate favorit kamu. Abangnya nanyain kamu ke mana, terus aku bingung mau jawab apa." Terdengar helaan napas berat di ujung sana, lalu si pembuat pesan lanjut bicara, "Dulu setiap kali aku ngeluh capek karena kerjaan nggak ada habisnya, kamu selalu ajak aku ke sini. Dan, capek aku berkurang. Dulu aku pikir karena bumbu satenya emang beda dari yang biasa aku makan, lebih enak, suasana warunya juga menyenangkan. Sekarang, aku sadar pikiran aku salah. Bukan karena makanannya, tapi karena ada kamu di depan aku. Kenapa aku selalu terlambat sadar sama kesalahan aku ya, Ma?"

Rukma menyisir rambut dengan jemari sembari bersusah payah menghela napas. Sakit menohok makin menjalar ke seluruh badan, tetapi dia kadung basah untuk menarik diri dari lumpur masa lalu.

Ah, bukan.

Sesuatu di dasar hatinya paling dalam, perasaan yang dia tekan habis-habisan selama ini, meminta untuk sedikit dibebaskan.

"Rukma Asmarani ..." Suara tawa yang rendah dan aneh membuat Rukma sadar si pengirim pesan sedang terpengaruh alkohol. "Kapan kamu berhenti sembunyi? Hmm? Aku lebih suka kamu tampar aku, pukul aku, daripada ilang begini! Aku ..." Pesan terhenti, dan Rukma buru-buru menekan pesan suara di bawahnya. Isakan menjadi pembuka, lalu dilanjutkan ucapan serak dan rendah. "Kamu belum dengar penjelasan aku. Satu pun belum, Rukma!"

Dia menarik dan mengembuskan napas dengan cepat. Ada suara yang memohon untuk berhenti saja, tetapi jempolnya terus menggulir layar lalu menekan tombol play. Habis pesan satu, dia bakal berpindah ke pesan yang lain.  Ada yang isinya cuma sekadar memanggil namanya, beberapa bernada ngaco alias mabuk, ada juga yang menangis sambil minta maaf, ucapan selamat ulang tahun, pemberitahuan perceraian, menceritakan penolakan Ghina untuk membantu bertemu dengannya, kronologi tentang Alfa yang memberitahu keberadaan Rukma, sampai di satu pesan ... Rukma berhenti sejenak, mengembuskan napas lambat-lambat dengan misi melegakan dada yang teramat sesak.

"Rukma, aku tahu kemarin itu aku nggak mencintai kamu dengan layak. Maaf buat itu. Maaf juga kalau sekarang aku nggak bisa nyerah gitu aja."

Kenapa dia jadi kesakitan begini setelah tahu David mengirim pesan setiap hari?

Apa-apaan ini?

Namun, Rukma tetap lanjut mendengarkan pesan-pesan yang sebagain besar sudah berisi komentar-komentar tentang kehidupannya di rumah ini. Tentang Fariza yang membantu, kejadian Rukma dilarikan ke UGD, kebiasaan dia duduk malam-malam di teras.

Room chat ini bagaikan buku harian David.

"Anak kamu manis. Aku lihatnya dari kejauhan, sih, tapi dari sini aja aku bisa lihat seberapa mirip kalian. Kamu pasti happy, harapan kamu terwujud. Anak pertama cewek. Apa kamu juga memberi nama seperti yang kamu pikirkan dulu: Shakina Tita?"

Pandangan Rukma mengabur. Air mata sudah mengantre di pelupuk, sekali kedip—pipinya bakal basah. Hanya tinggal menunggu waktu.

Ketika dia tengah memainkan pesan berikutnya, sebuah pesan baru muncul. Ada sebuah ide terlintas dalam kepalanya begitu melihat foto keadaan coffee shop serta rumah yang sepi dan pagar hitam sudah menutup halaman parkir: Mematikan ponsel dan berpura-pura tidak menemukan pesan-pesan ini.

Lagi. Rukma mengabaikan bujukan-bujukan dalam dirinya. Dia meninggalkan ponsel di ranjang, memakai cardigan seadanya yang tergantung di belakang pintu, lalu keluar kamar.

Sebelum pintu rumah dibuka, dia memegangi gagang erat-erat sambil menyandarkan kening ke pintu. Rasa patah hati di malam perpisahan mereka, berhasil memegangi kedua kaki Rukma. Dengan panas yang menjalar langsung ke ujung kaki, Rukma mengizinkan air mata bergulir melewati pipinya.

Tindakan bodoh, bukan?

Dia menolak keras tangisan di dalam kamar sana, bahkan berupaya mengabaikan David terus menangis setiap kali meminta maaf. Rukma mati-matian membujuk hatinya membatu. Namun, fakta bahwa selama ini David seperti orang gila mengirim pesan pada hantu—setiap hari menunggu di luar sana entah berapa jam setiap hari—memukul telak hati Rukma.

Setelah cukup lama menangis tanpa suara sampai berlutut, Rukma melepaskan gagang pintu dan berbalik masuk ke rumah. Dia tidak bisa menemui lelaki itu sekarang. Alasannya? Tidak tahu.

Dia belum berhasil melewati lemari yang dijadikan tanda sudah memasuki area pribadi, matanya menangkap sosok Steven sedang berdiri di hadapannya—di anak tangga terakhir.

Tangisnya pecah lagi.

"What should I do, Stev?" Rukma betahan di tempatnya berdiri, mengamati Steven berjalan menghampirinya dengan hati-hati sekaligus mantap. "It would be too painful. Buat aku. Dia. Mungkin, kamu juga."

Tanpa jawaban, Steven menarik pinggang Rukma lalu memeluknya erat.


Baik, netizen silakan memberi saran. Hahahaha. Dijaga yes kata-katanya.

Seperti biasa buat kalian yang mengintip spoiler, mencari tahu tentang naskah-naskah aku yang lain. Kalian boleh follow akun2 berikut

Instagram : Flaradeviana
Tik-tok : Flaradeviana

Love, Fla.

The TeaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang