20.1

18.3K 3.4K 224
                                    

Selamat membaca
••

Jangan lupa taburan bintang dan komen, Bestie! 🤌🏻🤣




RUKMA MENGAMATI STEVEN dan pemandangan malam Kota Bandung secara bergantian. Diam-diam, rasa kagum mekar dalam dirinya. Entah karena saking menakjubkannya hasil karya kolaborasi ciptaan Tuhan dan manusia yang terhampar di depan matanya, atau karena segala sesuatu yang telah Steven lakukan hari ini.

Kalau berkaitan dengan pemandangan, beberapa tahun belakangan sudah lusinan kali Rukma berkunjung ke tempat makan atau kafe yang memamerkan alam dan lampu-lampu sebagai daya tarik. Bahkan, restoran yang dipesan Steven ini pernah dia jadikan tempat menghabiskan malam sepi ketika Tita diculik Ghina.

Semua ini bukan hal baru, tetapi rasanya seakan-akan Rukma pertama kali datang ke restoran yang terkenal dengan gazebo private super mahal bernuansa tradisional Sunda, diberi kesempatan menyaksikan keindahaan malam yang syahdu sekaligus merasakan sensasi makan tepi bukit, ditemani lelaki pula.

Dia terdiam setelah menyilangkan pisau dan garpu di piring putih. Hatinya makin berdetum kencang, apalagi secara bersamaan Steven menengadah dan melemparkan senyum tipis ke arahnya. Dentuman behenti. Namun, hatinya mendadak jungkir balik karena perasaan berbunga-bunga yang sulit sekali diabaikan.

Astaga.

"Kenapa, Rukma?" tanya Steven, sembari melepaskan pegangan dari perlatan makan lalu bersedekap. "Biasanya, aku gampang banget baca ekpresi kamu. Anehnya, dari kita masuk terus makan sampai habis begini—aku kesusahan nebak apa yang kamu pikirin."

Lelaki di depannya itu mengubah posisi duduk dengan gerakan gelisah, mencondongkan badan, dan menumpuk kedua tangan di pinggiran meja bundar berbahan kayu jati.

"Kamu nggak suka? Apa kamu mikir ini terlalu berlebihan?" Steven meraih satu tangan Rukma, memosisikan genggaman mereka di tengah meja. "Just tell me what do you think, Rukma. Kalau ada yang kurang berkenan, kasih tahu aku di bagian mana. Baju, tempat, atau—"

Rukma menggeleng lambat. Berupaya menahan senyum, tetapi ujung-ujungnya keduanya terkekeh bersama.

"Ini ..." Steven mengambil jeda, lalu menggosok-gosok ujung dagu sendiri, tanpa memutus pandangan mereka. "Setelah belasan tahun, ini first time aku aku nyusun rencana begini. Dadakan. Jadi—"

"Semuanya aku suka," sahut Rukma sembari mengelus buku-buku jemari Steven. "Tempat ini. Makanan. Outfit." Rukma melirik wine bucket di samping meja makan mereka. "Wine. Sumpah, selera kamu oke."

Padahal, Steven sudah memintanya untuk tidak memikirkan masa lalu. Namun, ekspresi puas lelaki itu meloloskan kenangan serupa tentang makan malam yang dipersiapkan David begitu detail.

Dengan cepat, Rukma menunduk ke pangkuannya. Mengambil beberapa detik untuk mengusir kemuraman dalam benaknya, mendorong jiwanya kembali ke masa sekarang.

"Rukma ...."

Steven memanggil sekaligus mengisi ulang gelas wine mereka secara bergantian. Di tengah keduanya sedang minum, tiba-tiba grup musik yang berada di ambang pintu gazebo mulai memaikan melodi yang jauh lebih romantis dan mendayu dari sebelumnya. Bahkan, alunan merdu biola serasa memanggil keduanya untuk meninggalkan kursi.

"Jangan-jangan, kamu juga yang minta mereka mainin lagu pengiring dansa romatis begitu." Awalnya Rukma berniat bercanda, tetapi keseriusan di mata Steven membuat dia meringis lalu buru-buru menggeleng. "Aku nggak bisa nari. Nggak usah aneh-aneh."

Steven berdiri seraya menyunggingkan senyum misterius, yang memancing bagian terdalam dirinya memasang kuda-kuda bertahan—melindungi entah dari apa.

"Please," pinta Steven ketika berhasil berdiri di samping Rukma. Dengan setengah membungkuk, lelaki itu mengulurkan satu tangan ke arahnya.

The TeaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang