Chapter One

165 21 0
                                    

Hari ini terasa lebih sibuk dari biasanya karena deadline yang tepat berada di depan mata Jo. Dirinya selaku manajer juga sedikit membantu para staff jika mereka kewalahan.

Matahari sudah berada di posisi tertingginya sekarang. Terlihat sekilas dari jendela kalau satu per satu staff mulai meninggalkan kubikel mereka dan berjalan entah menuju kantin kantor atau resto terdekat. Bagi Jo, pekerjaannya lebih penting, maka perempuan itu masih berkutat dengan berkas-berkas dan komputer di hadapannya. Tiba-tiba, suara ketukan pintu menginterupsi.

'Ck, ganggu saja,' batinnya.

Tok tok tok.

"Ya, masuk."

"Permisi Bu, maaf menganggu. Ini ada kiriman dari Bu Ivanna."

"Tolong taro di atas meja, Pak. Makasih," jawab Jo dengan seulas senyum tipis.

"Baik Bu, permisi," pamit office boy yang barusan memasuki ruangannya.

Begitu pintu tertutup, Jo seketika kehilangan mood-nya. Ia menatap nanar kotak bekal yang diantar barusan. Perempuan dengan balutan blouse putih itu berjalan menuju kulkas di sudut ruangan, mengambil sekaleng bir dan langsung menegaknya. Ya, bir ini bisa sedikit memperbaiki moodnya. Setelah itu, Jo kembali melanjutkan pekerjaannya. Ia harus tetap bersikap perofessional dengan tidak mencampuri urusan pribadi dan kantor, bukan?

Waktu terus berputar melaksanakan pekerjaannya dan matahari pun sudah bertukar posisi dengan bulan. Jam sudah menunjukan pukul 21.00 sekarang, dan hanya ia seorang yang belum meninggalkan kantor.

Cacing di perut Jo berdemo semakin gencar, tapi perempuan itu masih belum sempat untuk meredakan para pendemo tersebut. Ia hanya sedikit menenangkannya dengan memakan sebungkus roti.

"Sabar ya, dikit lagi kelar. Nanggung," kata Jo dengan tangan kanan yang mengelus-elus perutnya.

Selepas itu, Jo membuka kotak masuk email dan menyelam di dalamnya, tapi ia tidak menemukan data yang tengah dibutuhkannya. Perempuan itu lantas langsung mengobrak-abrik berkas di mejanya. Takut-takut kalau ternyata staffnya memberikan data itu dalam bentuk hardcopy. Namun, ia tetap tidak mendapati apapun.

"Sial! Buang-buang waktu gue aja!"

Ekspresi Jo berubah drastis, rasa kesal dan marah tercetak jelas di sana. Tidak ada lagi yang bisa Jo kerjakan sekarang karena data yang ia butuhkan masih belum ditemukan dan itu memperlambat semuanya.

Jo benci orang lelet.

Ia mematikan komputer dan merapihkan kembali berkas yang sempat diobrak-abriknya tadi. Lalu ia mengemasi barang-barangnya dengan kasar dan berjalan meninggalkan ruangan.

Ah, sial.

Amarahnya semakin memuncak saat ia melihat kotak bekal di meja. Ia mengacak rambutnya kasar dan mengoceh dalam hati.

'Tadi mah gue langsung suruh buang aja nih bekel. Bikin makin gondok aja.'

Ia tidak sudi memakan bekal itu, barang melihat isinya saja malas. Akhirnya, dengan malas dia mengambil kotak berwarna hijau itu keluar, kemudian membuangnya ke tempat sampah.

Sekarang, Jo harus mengisi perutnya atau ia akan berakhir terkapar di jalan karena sepanjang hari ini hanya sekaleng bir dan sebungkus roti yang masuk ke dalam perutnya. Dengan langkah yang gontai, Jo berjalan menuju kedai ayam goreng langganannya. Cukup jauh memang, tapi sebanding dengan rasa makanannya yang luar biasa.

°•°•°•°

"Bu, paha bawah tiga, sayap dua, sama bir segelas, ya."

Sambil menunggu pesanannya, Jo membuka WhatsApp dan membalas beberapa pesan yang masuk.

Bian 🐵

|Jangan lupa makan
11.46
Read

ini lgi makan 👍|
21.37



Ivanna

|Tadi saya titip bekal kamu ke security
|Udah kamu terima blum?
12.17
Read

|Saya buat spagethi
|Kamu pulang jam berapa?
|Biar saya hangatin
18.53
Read



Papa

|Cepat pulang. Makan bersama dirumah
|Ivanna sudah masak makan malam
18.02
Read


Pas sekali, Jo baru selesai melihat-lihat pesan di WhatsApp begitu pesanannya tiba. Ia langsung melahap makanannya tanpa memedulikan pesan dari Ivanna dan papanya yang menyuruhnya untuk makan di rumah.

Setelah gigitan pertama, air muka Jo langsung berubah 180 derajat. Seperti badai yang tiba-tiba menghilang dan berganti menjadi matahari yang bersinar terang. Perempuan itu merasa hidup kembali saat ia menegak birnya. Bisa dibilang kalau bir adalah pengisi dayanya.

Jika seorang food vlogger pernah makan di kedai ini dan membuat vlog, dapat dipastikan food vlogger itu akan menyebut tempat ini sebagai hidden gem karena lokasinya yang berada di gang kecil.

Sudah pukul 22.27. Waktu yang tepat untuk pulang. Setelah membayar pesanannya, Jo menyumpal telinga dengan earphone dan memutar playlist spotifynya. Butuh waktu kurang lebih empat puluh menit untuk Jo bisa sampai ke rumah dengan berjalan kaki. Itu bukan masalah besar baginya. Ia suka berjalan kaki.

So, live a life you'll remember.

Ketika lirik itu terputar, senyum tipis yang miris muncul di wajah Jo. Ia menunduk dalam, lalu mendongak, memandangi bulan yang berjalan beriringan dengannya di atas sana.

The Silver LiningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang