Jo mengerang pelan dan menutupi kepalanya dengan bantal untuk menghalangi bunyi berisik seperti sirene ambulan. Awalnya ia memilih mengabaikan bunyi itu, tetapi lama-kelamaan ia merasa terganggu juga. Dengan mata yang masih terpejam ia mengulurkan tangan ke pinggir kasur, mencoba menemukan benda yang mengeluarkan suara itu.
Sebuah benda berbentuk persegi panjang berwarna hitam berhasil ia dapatkan. Tanpa membuka matanya, ia menggeser panah untuk mematikan alarm di ponselnya itu. Ia kembali memejamkan matanya, namun ia tersadar kalau ia harus bekerja. Dengan rambut dan pakaian yang berantakan, ia bangkit dari kasurnya dan berjalan menuju kamar mandi.
Di lain ruangan, seseorang menyembunyikan dirinya dibalik selimut, menghindari sinar matahari yang memaksa masuk ke kamarnya. Berhasil bersembunyi, ia kembali terbangun akibat telfon masuk. Bukannya menjawab telfon tersebut, Jeje me-rejectnya dan bangkit dari kasur menuju pintu kamarnya.
Klek
Kedua pintu kamar yang berhadapan itu terbuka secara bersamaan menampakkan pemiliknya. Pria dengan hoodie dan joger berwarna abu lengkap dengan rambut yg berdiri seperti habis tersetrum listrik. Satunya lagi, wanita dengan rambut berantakan bagai singa juga kaos tipis yang miring seperti orang tidak terurus.
"Lo siapa?!" seru keduanya bersamaan.
Keduanya terdiam membeku untuk beberapa saat. Otak Jeje yang sedang istirahat karena ini adalah hari liburnya, dipaksa bekerja sepagi ini. Pria jangkung itu kembali masuk ke kamarnya, mengambil ponselnya dan menempelkan ponselnya ke telinga setelah menekan tombol panggilan.
Matanya menatap lurus pada perempuan yang ada di hadapannya. Ponsel yang perempuan itu genggam berdering, ia melirik ke arah Jeje sebelum menerima panggilan tersebut.
"Ha...lo," ucapnya pelan.
tut
Panggilan itu diakhiri sepihak oleh sang penelpon.
Jeje berjalan meninggalkan Jo dan menuju ke kamar mandi. Lelaki itu membasuh wajahnya dan melihat pantulan dirinya dari cermin dengan tatapan yang sulit dimengerti, pikiran bercabang entah kemana bahkan saat harinya baru saja dimulai. Ia berjalan keluar sambil mengeringkan wajahnya dengan handuk.
Sedangkan Jo masih mematung di depan pintu kamarnya, otaknya masih belum bisa mencerna kejadian ini.
"Woi!"
Jo menoleh dan melihat isyarat Jeje dengan matanya yang menyuruh Jo untuk duduk dihadapannya. Tanpa bicara, Jo menurutinya. Perempuan itu duduk dengan kaki menyila di atas kursi.
"Nama lo siapa?" tanya Jeje seraya menopang kepalanya dengan kedua tangan dan tatapan yang terfokus ke perempuan dihadapannya saat ini.
"Jo,"
"Nama lengkap." tegas Jeje, masih menatap lurus.
"Sena Jovanka," jawab Jo tak kalah tegas dari Jeje
"Kenapa dipanggil Jo?"
"Mana gua tau, tanya sama yang manggil lah," jawab Jo dengan nada cukup tengil.
"Cih," Jeje memalingkan wajahnya dengan ekspresi sebal.
"Lo sendiri? Cowo kok dipanggilnya Jeje," Jo balik bertanya pada Jeje.
"Jeremy Jason,"
"Jeje dari mananya dah?" tanya Jo bingung. Ia mengalihkan pandangan ke langit-langit rumah seakan ada jawaban disana mengapa lelaki dihadapannya dipanggil Jeje.
"Jeremy huruf pertamanya apa?"
"Je," jawab Jo polos.
"Jason huruf pertamanya apa?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Silver Lining
General FictionSetelah ditinggalkan sang ibu untuk selama-lamanya, Sena Jovanka harus menerima kenyataan bahwa ayahnya memilih untuk menikahi wanita lain. Kecewa dengan sikap ayahnya setelah meikah lagi. Jo memilih untuk hidup mandiri di atas kakinya sendiri. Sela...