Chapter Eight

48 5 2
                                    

Hari ini, Jo memulai harinya dengan membersihkan diri dan membuat nasi goreng alakadarnya untuk sarapan.

Dengan kaos dan celana pendek juga rambut basah yang dibalut dengan handuk di kepalanya Jo mulai mempersiapkan bahan-bahan yang diperlukan.

Bawang merah dan bawang putih, itu sudah cukup kan?

Gadis itu mengeluarkan talenan dan pisau, mulai menggeprek bawang putih dan mengirisnya. Kemudian ia mengeluarkan wajan, dan bersiap memasukkan semua bahan.

Saat Jo sudah hampir selesai, ia hanya perlu memasukan bahan utamanya, nasi.

Jo baru sadar kalau ia belum memasak nasi...

Tidak, bahkan dia tidak tahu dimana tempat penyimpanan beras.

Buru-buru dia mematikan kompor dan duduk lemas di kursi meja makan.

Bego banget kau Sena Jo. Jangankan masak nasi, tempat beras aja gak tau dimana, malah mau bikin nasi goreng.

Aroma tumisan bawang yang masuk ke kamar Jeje membangunkannya. Ia lantas keluar, takut hal-hal yang tidak diinginkan terjadi di rumahnya ini.

Pemandangan yang lelaki itu lihat adalah punggung Jo yang terduduk lemas dan wajan dengan asap yang masih sedikit terlihat.

"Lu mASAk APa?" tanya Jeje sambil menguap. Tak kunjung menerima jawaban, Jeje melangkahkan kakinya mendekat, melihat apa yang ada di wajan.

Jo mengambil birnya di kulkas dan langsung kembali masuk ke kamarnya sementara Jeje membasuh wajahnya sebentar dan kembali ke dapur.

Lelaki itu mengambil mie di kabinet atas dan bahan lain yang diperlukan di kulkas. Dia mengolah semuanya dengan baik dan menyelamatkan tumisan yang tadi Jo buat bak seorang dokter yang menyembuhkan seorang yang sakit.

Terlahirlah seporsi mie goreng sederhana yang terlihat mewah dari tumisan Jo yang diselamatkan oleh Jeje.

"Sena! Keluar!"

Beberapa menit kemudian Jo keluar dengan rambut setengah basah. Gadis itu menyusul ke meja makan dimana Jeje lebih dulu memakan sarapannya.

Sambil mengunyah, Jeje mengisyaratkan Jo untuk ikut makan dengan dagu dan matanya. Jo menurut, dan matanya sedikit berbinar saat mie goreng itu memenuhi mulutnya.

"Enak," gumam Jo sambil sedikit menganggukkan kepalanya kecil.

Keduanya makan di meja yang sama dalam diam. Tidak ada yang bersuara maupun bermain ponsel, mereka hanya memandangi makanan mereka atau melihat sekeliling rumah seakan ini kali pertama mereka datang ke rumah ini. 

"Tolong cuciin ya, Sena," kata Jeje setelah meletakan piring bersihnya ke dalam rak. "Perabotannya,"

Jeje kembali ke kamarnya setelah mendapatkan respon dari Jo. Lelaki itu kembali bersembunyi dibalik selimut hangatnya.


°•°•°•°



"Pakeeetttttt,"

Bagi sebagian besar orang suara tadi sangat dinanti-nantikan dan membuat hati gembira sekejap. Namun suara itu menjadi satu hal yang menyebalkan bagi Jeje. Pasalnya, ia ingin menikmati hari liburnya setelah karyawan barunya sudah selesai melalui masa training. Ini sudah paket ke-empat yang Jeje terima hari ini, dan semua paket itu bukan miliknya tapi milik Jo. 

Dengan malas, Jeje bangkit dari kasurnya ia mengambil sebuah karung, kertas, dan spidol lalu berjalan ke luar. Lelaki berhoodie putih itu mengambil paket Jo sekaligus menaruh karung yang tadi ia bawa dan menggantungnya di pagar rumah lengkap dengan kertas bertuliskan 'Paketnya masukin ke karung aja' dan kembali masuk ke rumah.

The Silver LiningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang