03. elegi -
; antara ayah dan putranya.- - -
keheningan melanda mereka berlima, atau lebih tepatnya tiga sekawan lama yang telah hancur karena ego terdahulu- winter, sunghoon dan jake. sementara dilain sisi jungwon dan sunoo hanya terdiam menatap para orang tua bingung, mencoba memahami situasi hingga memilih bungkam menunggu salah satunya menjelaskan secara sukarela tanpa disuruh terlebih dahulu.
jake berdehem, melirik arlojinya dipergelangan tangan kiri, "udah hampir jam 9, gimana kalo kita ngobrol sambil bakar bakaran aja? anak anak juga pada udah laper kan? kamu ikut aja hoon, diliat dari daerah kita ketemu kayaknya rumah... kamu juga gak jauh." ia sedikit meragu saat mengucapkan kata rumah.
dibalas dengan anggukkan pelan, sunghoon pun beranjak, "kalian kesini mau beli bahannya kan?" winter mengangguk pelan, sibuk dengan pemikirannya sejak tadi. kenapa harus bertemu sekarang?
satu hal yang tidak wanita itu tebak, tiba tiba saja sunghoon tanpa melihat situasi berlutut dengan satu kaki dihadapannya, mengabaikan eksistensi jake yang merasa tidak nyaman, serta jungwon dan sunoo yang senantiasa dilanda bingung.
"jeong... dia anakku, kan?" bisiknya lirih.
tentu saja winter mendengarnya, ia sedikit melirik jake yang membuang muka. suaminya tidak nyaman dengan kehadiran sunghoon walau ia menawari untuk makan malam bersama, winter tau itu.
"iya." sunghoon tampak terpengarah dengan satu kata yang terlontar dari wanita yang sempat menjadi kesayangannya. ternyata benar, selama ini putranya yang lain tumbuh tanpa kehadirannya. putra yang selalu sunghoon banggakan, walau nyatanya sunghoon sendiri tidak pernah menemui lelaki itu sekalipun, jungwon-nya.
"boleh aku pinjam dia? hanya sampai kalian selesai belanja, setelahnya kalian boleh mengambil dia balik."
pertahanan winter benar benar diuji saat ini, batin dan fikirannya bergejolak, antara keinginan logikanya untuk menolak yang sangat besar, namun hatinya melemah.
hingga tepukan lembut dipundaknya mengalihkan atensinya, winter menatap ragu jake yang kini tersenyum maklum, "mau gimanapun sunghoon tetap papa biologisnya jungwon, jeong. mau sampai kapan kamu sekhawatir ini sama jungwon, walaupun itu sama papanya sendiri? sunghoon berhak mengenal putranya."
menghela nafas pelan, wanita itupun mengangguk, menuruti kemauan lelakinya. "yaudah, jangan diapa apain, aku mau bawa anakmu juga." sunghoon mengangguk kecil, diiringi dengan senyuman tipis yang terlukis kemudian, menatap putranya yang tampak bingung. apa dirinya dibarter dengan anak disampingnya? begitu fikirnya.
"jungwon?" yang dipanggil mendongkak, posisinya ia masih terduduk, menatap bingung uluran tangan sunghoon didepannya, "mau ikut?"
"kemana om?"
sunghoon tertegun mendengar itu, kata yang biasa ia dengar namun terasa begitu asing kala jungwon sendiri yang menyebutkannya padanya. tetap mengembangkan senyumnya, sunghoon lalu mengusap surai hitam legam itu pelan, "ke cafe disana, nanti om jajanin kamu sepuasnya, gimana?" ada rasa tidak rela disana, namun sepertinya aneh juga jika ia meminta jungwon memanggilnya papa saat ini, pertemuan pertama mereka semenjak jungwon dilahirkan.
pemuda berlesung itu mengangguk, "bun, yah, aku mau morotin uang om dulu, kalian jangan lirik sana sini nyari anak baru." ia mengancam, memicingkan matanya, terutama pada jake yang tertawa kencang mendengar penuturannya. wajah lelaki itu merengut tak suka, "gak usah ketawa!" pekiknya kesal.
jake mengedikkan bahunya acuh, "ayah sama bunda mau nengokin anak orang di dalem, nyariin kamu adek, kan lucu ntar ada anak kecil yang berantakin kamar kamu, terus kamunya marah marah, di rumah jadi rame lagi." pria itupun berdiri, merangkul pundak istrinya, "atau ayah tuker beneran aja kamu sama sunoo? sunoo juga keliatannya lebih kalem daripada kamu yang tiap lima menit sekali hobinya nyungsep."
"hus, udah ah, berantem terus." winter mengacak rambut jake, lalu merangkul lengan sunoo, "ikut bunda ya? nanti bunda juga jajanin kamu banyak jajanan, oke?" pemuda manis itu tersenyum kecil sembari mengangguk pelan, menatap ayahnya yang mengangkat alisnya sekilas.
"nanti jam 10 kita kumpul lagi disini, yang telat rambutnya kuncir dua."
* * *
disinilah mereka berada, disebuah cafe bernuansa elegan dengan harga yang tidak semua orang dapat memandai, sunghoon menatap lekat pemuda dihadapannya, tampak serius memakan cheesecake bertoping blueberry diatasnya hingga mungkin melupakan atensi sunghoon yang terlarut dalam dunianya, terlanjur memandang penuh rindu.
jungwon mendongkak sekilas, menatap bingung sebelum menyodorkan sesendok potongan kuenya, "mau? tapi sekali aja, jangan banyak banyak." melunjak.
terkekeh pelan, ia pun menggeleng, "habisin aja, om udah sering makan ini sama anak om." ujarnya santai, yang tanpa ia sadari mampu membuat mood jungwon sedikit menurun. ia melemaskan sedikit bahunya, berdehem pelan, kemudian memakan suapan cheesecake nya kembali.
"habisin aja, om udah sering makan ini sama anak om."
sudah jelas, walau tidak berniat menyindir, namun jungwon tersindir dengan kalimat yang sunghoon utarakan. bukankah ia juga anaknya?
"papa." gumamnya pelan, tanpa sengaja terdengar oleh sunghoon.
pria itu lagi lagi mengulas senyum, hingga mungkin pipinya akan keram. rasanya sebanyak apapun usaha yang ia coba untuk memudarkannya sia sia, tetap saja lengkungan melawan arah gravitasi itu terus mengembang, enggan berkurang barang sepersekian senti, "iya?"
jungwon kembali mengalihkan pandangannya, menatap netra serupa matanya, "boleh aku panggil om papa?" selanjutnya kata katanya terhenti, menggeleng sembari menunduk dengan senyum kecutnya, "tapi kan papa emang papa kandungku, walau selama ini yang ngebesarin aku itu ayah, bukan papa."
menghela nafasnya gusar, jungwon menegakkan punggungnya, meminum greantea frape yang pesan hingga tandas, kali ini memberanikan diri menatap papanya dengan tegas tanpa keraguan atau sirat akan ketidak nyamanan. ingat, bukan hanya darah winter yang mengalir dalam darahnya.
"aku udah bukan anak kecil, pa. aku ngerti dalam sekali tangkap diantara bunda, ayah sama papa ada sesuatu yang bikin kalian canggung kan? aku tau dulu kalian bertiga deket. aku ngerti dulu papa punya hubungan lebih sama bunda. aku ngerti kalo bunda sama papa ngejalin hubungan gak sehat sampe akhirnya aku lahir, dimana selama 17 tahun ini aku bahkan gak tau papa kandungku nganggep aku masih hidup atau nggak?" ia mengalihkan pandangannya ke arah lain, "gak usah dijawab, cukup jawab yang satu ini aja,"
pemuda itu kembali menatap sang papa, namun sorot tajam menusuk itu tak dapat ia kendalikan kali ini, "kenapa papa ninggalin bunda? apa papa emang gak mengharapkan kehadiranku makanya ayah yang tanggung jawab buat kesalahan papa?"
hening.
jelas sunghoon terkejut dengan perkataan putranya itu, namun sebagian dari dirinya tidak mengherankan, bukankah sifat jungwon yang satu ini menurun darinya? sama ketika ia melawan ayahnya beberapa tahun yang lalu.
tersenyum kecil, yang lebih tua menyesap kopinya perlahan, seakan sudah tau bahwa suatu saat nanti putranya itu akan bertanya sedemikian rupa, "yakin kamu mau denger cerita dari papa? tapi setelah denger ini, papa harap kamu gak menyalahkan siapapun dari nama yang termasuk, karena semua permasalahan papa persis hanya karena keegoisan kepala keluarga dikeluarga papa. bukan karena sahabat papa, ataupun istri papa dulu."
jungwon mengangguk pelan, "iya, ceritain semua tanpa ada yang terlewat."
─ elegi ─
KAMU SEDANG MEMBACA
[ II ] Elegi || SungWinJake
أدب الهواة❝ kisah abadi itu ilusi. ❞ [[ season 2 from 18 years ]] ﹫xylvrlyn