05. Ruang sendu

21 10 0
                                    

Sinar mentari yang terik membuat mata Atan menyipit. Musim panas dan udara yang sejuk membuat beberapa kali mata Atan mengerjap untuk merasakan anila yang berhembus menyapu permukaan kulitnya. Ah, Atan menyukai suasana hari ini.

Saat ini, Atan tengah duduk tenang di sebuah kursi kayu yang berada di balkon rumahnya sembari menggambar bunga tulip ungu yang ditanam oleh adiknya. Dulu, Atan tidak menyukai bunga, ntah apa alasannya tidak menyukai bunga-bunga cantik itu. Namun, saat Anathania sudah memasuki sekolah menengah gadis itu sering sekali membeli bibit tanaman dan mulai menyukai kegiatan berkebun. Awalnya, Atan protes. Sampai suatu saat dirinya pindah ke Jakarta dan bertemu seseorang yang begitu menyukai bunga sama seperti adiknya dan dari sanalah Atan mengerti kutipan filosofi soal bunga dari Gerard De Nerval, "setiap bunga adalah jiwa yang mekar di alam" begitu katanya dan itulah yang membuat Atan menyadari bahwa bunga itu begitu istimewa.

Atan tersenyum saat melihat hasil gambarnya. Ia mengusap gambar bunga tulip yang telah selesai ia gambar kemudian kembali terkekeh saat mengingat saat dirinya diejek habis-habisan oleh Anathania karena tidak bisa menggambar dengan baik seperti ayah. "Gambar kak Atan kayak ceker hayam!" Kalimat itu yang sering Atan dengar dari mulut Atha dan ia akui bahwa yang dikatakan Atha itu memang benar.

"Sekarang udah lebih berkembang, kok." Gumam Atan. Dirinya kemudian menaruh buku diary miliknya di atas meja kecil, lantas bangkit dari duduknya untuk memperhatikan Atha yang masih belum selesai menyirami tanamannya.

Atan tersenyum. Atan sangat bersyukur Atha tidak marah berkepanjangan kepadanya, padahal pertengkaran mereka tempo hari cukup serius. Atan tidak mengerti bagaimana bisa Atha memaafkannya. Dan sekarang ini Atan tengah berusaha menerima Atha sepenuhnya karena bunda juga pasti menginginkan itu. Dari awal Atan tidak membenci Atha, namun kepergian bunda yang begitu mendadak di usia Atan yang masih sangat muda membuat laki-laki itu terus menyalahkan adiknya. "Kalau aja Anathania nggak ada... bunda pasti masih ada." Kalimat itulah yang selalu ia ucapkan dalam hati, namun seiring berjalannya waktu Atan sadar kalau kepergian bunda bukanlah kesalahan Atha melainkan karena takdir yang dikendalikan Tuhan.

Di sisi lain, Atha tampak membeku saat merasakan kepalanya berdenyut nyeri. Atha juga beberapa kali mengerjap untuk memfokuskan pandangannya yang terasa kabur, detik berikutnya selang yang ia genggam terjatuh dan darah segar mengalir dari hidungnya membuat Atha cepat-cepat menutup mulutnya mengunakan telapak tangan. Baru saja ia akan berbalik kepalanya semakin berdenyut membuat kesadaran Atha sepenuhnya hilang. Dari balkon Atan mengerutkan alisnya, lantas berlari menuju taman. Atan langsung memangku tubuh Atha yang tersungkur tanpa pikir panjang Atan langsung membawa adiknya itu menuju rumah sakit mengunakan mobil.

Atan beberapa kali melirik Atha yang masih tidak sadarkan diri. Tangannya menekan kuat klakson mobilnya untuk meminta kendaraan yang ada di depannya memberikan jalan.

Suara bangkar rumah sakit yang didorong oleh beberapa perawat berhasil membuat beberapa pasang mata menoleh. Takut, jelas tergambar di raut wajah Atan apalagi saat bangkar yang ditiduri Atha didorong memasuki ruangan yang gelap. Atan menghentikan langkahnya, wajah yang dipenuhi peluh, napas yang terengah-engah, dan kaki yang begitu lemas membuat Atan pasrah dan membiarkan tubuhnya terjatuh didalam sendu yang tidak berujung. Sudah lebih puas menangis Atan menyalakan ponselnya untuk menghubungi ayah yang berada di luar kota Bandung.

"Ada apa, kak? Ayah masih di kantor." ujar ayah di seberang sana yang praktis membuat Atan kembali terisak.

"Kak?"

"Yah... Atha masuk rumah sakit." Selanjutnya Atan dapat mendengar suara barang jatuh di sebrang sana.

"Masuk rumah sakit?"

"Iya, padahal tadi baik-baik aja."

"Atan harus apa?" imbuh Atan putus asa.

"Kakak tenang, ya? Atha nggak akan kenapa-kenapa. Maaf, ayah nggak bisa pulang sekarang, tapi ayah usahain untuk pulang secepatnya. Jaga Atha kalau ada apa-apa langsung hubungi ayah." Suara ayah bergetar jelas sekali ia sedang menahan tangis. Atan kembali terisak, saat ini lebih keras dari sebelumnya membuat ayah yang mendengarnya terluka.

ANATHANIA || MarkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang