03. Takut berakhir sendirian

31 12 17
                                    

Atha dibuat meringis saat Atan meremas kuat bahunya. Atha tidak mengerti maksud dari Atan, tapi dirinya terlalu takut untuk bertanya. Atan membawa tubuh Atha kedalam pelukannya dan hal itu membuat Atha terkesiap, baginya ini sebuah keajaiban yang hanya bisa ia rasakan dalam mimpinya. Pelukan seorang Atan terlalu mustahil untuk Atha dapatkan. Namun, lihatlah saat ini apa yang selalu Atha dambakan akhirnya ia dapatkan.

Atha kembali menangis padahal matanya sudah sangat pedih. Tiba-tiba disela-sela tangisnya Atha kembali teringat Raja, laki-laki yang pertama kali menemukannya yang terjebak diantara sepi. Dengan sisa-sisa tenaga yang ia punya Atha mulai memukul-mukul dada bidang Atan tidak perduli walau tindakannya ini salah.

"Aku benci kakak."

"Kakak selalu telat."

"Kalaupun nggak telat kakak nggak pernah datang."

"GUE BENCI SAMA LO... ATANDRA."

Suara Atha menggema di telinganya dan Atan yakin akan bertahan lama dalam ingatannya. Atan sama sekali tidak dapat mengelak karena memang itu kebenarannya, dia terlalu terlambat. Tapi, untuk berkata maaf itu jauh lebih sulit bagi Atan, bibirnya terlalu kelu untuk mengucap kata itu.

"Kenapa selalu telat, hah?!"

Atan akhirnya memegang kedua tangan Atha dengan sangat erat membuat gadis itu berontak. "Karena lo selalu sembunyi!" seru Atan, padahal bukan ini yang ia ingin katakan.

"Kalau lo mau gue nggak telat jangan sembunyi, tapi datang ke gue!"

Tubuh Atha bergetar menahan rasa sakit di tangannya, tapi bagi Atha rasa sakit yang ada di dadanya jauh lebih sakit lagi. "Kenapa tadi dia tidak ikut dengan Raja saja?" pertanyaan itu yang saat ini terus terputar dalam kepalanya.

"Apa bedanya dengan gue datang ke lo? Lo nggak pernah nyadar."

"Lo bisa bilang, bilang sama gue! karena kalau lo diam gue nggak akan pernah ngerti, gue nggak akan pernah ngerti! karena gue bukan manusia peka kayak lo."

Napas Atan kali ini tidak beraturan, matanya benar-benar merah menahan air matanya agar tidak pecah dihadapan Atha. Atha tergelak bukan main dengan air mata yang tidak dapat ia bendung lagi, baginya rasa sayangnya yang begitu besar kepada Atan adalah sebuah ancaman terbesarnya. Namun, mau seberapa keras ia berusaha menghilangkan perasaan sayang itu dan mau seberapa keras ia mencoba membenci kakaknya itu dia tetap akan gagal. Suara tawa Atha perlahan mereda dan berganti dengan suara isak tangis yang menyakitkan.

"Sekali aja... cari aku, bantu aku buat keluar dari rasa sepi itu. Aku udah terlalu cape buat nyari kakak, karena jalan menuju kakak ataupun ayah terlalu berkabut buat aku." kata Atha lirih.

Hati Atan kembali tersayat. Perih, dan jika Atha terus seperti ini dirinya tidak akan kuat lagi. Bagaimana jika Atha mulai menjauh darinya, bagaimana kalau Atha tidak ingin berada didekatnya lagi, dan bagaimana kalau malah Atan yang berakhir menyesal dan mencari Atha? bagaimana, bagaimana, bagaimana... terus terputar dalam kepala Atan dan tanpa sadar itulah keegoisan yang berada dalam dirinya. Dia takut berakhir sendirian, tapi tanpa sadar karena alasan yang seburuk itu dia menyakiti Atha.

"Ayo pulang." ajak Atan.

Atha menggeleng, tapi percuma saja Atan tidak akan pernah mau kalah. Akhirnya keduanya pulang ke rumah. Dan setiba keduanya di rumah Atha dengan cepat mengurung dirinya sendiri di kamar tanpa mengatakan apapun kepada Atan. Atan? laki-laki itu memilih untuk meninggalkan rumah dengan keadaan pikirannya yang benar-benar keruh.

Malam ini, Atan memutuskan untuk pergi ke Southbank Club, yang ramai. Bahkan kali ini ia kembali meneguk beberapa gelas rum dingin, rasa yang kaya serat aroma yang kuat membuat kesadarannya perlahan hilang. Dengan tubuh yang sempoyongan Atan keluar dari Southbank Club dan tak menghiraukan para jalang yang menghadang jalannya.

Sekitar pukul satu lebih sembilan belas Atha masih belum tidur, dia tentu khawatir saat mendengar suara pintu yang dibanting Atan beberapa jam lalu. Dia terus mengintip keluar jendela kamarnya menunggu kehadiran Atan. Beberapa saat berlalu sampai akhirnya sebuah taksi berhenti di depan rumahnya dan hal itu membuat Atha langsung berlari menuju gerbang rumahnya.

Atha membuka gerbang rumahnya dan mendapati Atan yang tengah dibopong oleh supir taksi. "Mbak, ini benar rumah keluarga Mahen?" tanya supir taksi itu yang dibalas dengan anggukan kepala oleh Atha.

"Iya, benar pak."

"Sebelumnya maaf, pak, ini kakak saya kenapa?"

"Mohon maaf, mbak, sepertinya masnya habis minum-minum soalnya saya antar dia dari Southbank Club."

Atha kemudian menghembuskan napasnya. "Terima kasih, pak." ucap Atha kemudian membawa Atan masuk kedalam rumah setelah membayar ongkos taksi. Atha hendak membawa Atan kedalam kamar laki-laki itu, tapi Atan secara tidak terduga bangun dan menatap Atha.

"Heh, anterin gue ke kamar adik gue."

Atha dibuat mendesis tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Atan. "Mau apa? Kakak harus istirahat. Aku udah pernah bilang jangan minum-minum kayak gini." kata Atha. Atan mengacungkan telunjuknya kemudian menaruh jarinya itu di bibir Atha membuat mata Atha membulat.

"Ih, bau!" kata Atha sembari menepis tangan Atan hingga membuat kakaknya itu terjatuh kelantai. Atha kembali dibuat terkejut saat Atan mulai terisak.

"Loh, kakak nangis?"

"Sakit? maafin aku." ucap Atha panik sembari berusaha membantu Atan untuk bangkit lagi. Atha tertegun saat Atan mulai memeluk tubuhnya. "Adik gue marah. Jadi tolong anterin gue ke kamarnya gue mau minta maaf." kata Atan yang membuat Atha menutup matanya sekilas.

Mau tidak mau Atha membawa Atan kedalam kamarnya. Didalam kamar Atha, Atan terlihat berlari kesana-kemari sembari berceloteh tidak jelas.

"Nah, ini adik gue."

"Putri keluarga Mahen."

"Anathania Adya Maheswari."

"Cantik, kan?" ujar Atan sembari menunjuk poto Atha yang dipajang didinding kamarnya. Atha hampir menangis saat mendengar Atan berbicara demikian. Mimpi Atha adalah diakui oleh ayah dan kakaknya.

Setelah itu, Atan kembali berlari kesana-kemari sampai akhirnya dia duduk di tepi ranjang milik Atha. Atha menghembuskan napasnya kemudian membantu Atan membuka jaket dan sepatunya. Baru saja Atha akan melangkah untuk menyimpan jaket milik Atan tiba-tiba saja laki-laki itu merintih kesakitan dan hal itu membuat Atha panik bukan main. Atha mengusap punggung Atan.

"Kakak minum berapa gelas, sih?" tanya Atha kesal sembari membantu Atan untuk meminum air bening. Detik berikutnya Atan melirik Atha kemudian kembali terisak layaknya laki-laki lemah yang tidak bisa melindungi dirinya sendiri.

"Lo tahu nggak gimana caranya supaya bisa ngerti perasaan orang-orang disekitar lo? Tadi adik gue marah, katanya gue selalu telat. Padahal, pas dia bilang itu gue keliling-keliling gedung fakultas hukum yang gede cuma buat cari dia."

"Adik gue nggak ada, dia marah."

Atha kemudian memukul tangan Atan dan menatap kakaknya itu dengan sengit. "Terus aku siapa?!" seru Atha membuat Atan menatapnya. Atan terdiam begitu bersitatap dengan mata abu Atha.

"Atha... kakak benci sorot mata kamu yang terlalu teduh."

"Terlalu mirip bunda." sambung Atan kemudian menjatuhkan tubuhnya.

Atha benar-benar terdiam saat itu sampai suara Atan kembali terdengar lagi. "Maaf karena selalu telat." ujar laki-laki itu sebelum benar-benar pergi ke alam mimpi.

To be continued.

"Sama seperti Atha, gue takut kesepian gue takut orang-orang disekitar gue pergi. Tapi gue sadar, hanya karena ketakutan itu gue jadi egois dan melukai perasaan orang-orang disekitar gue terutama Atha." -Atandra

09 Maret 2022

ANATHANIA || MarkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang