Part 1

124 73 119
                                    

Jangan lupa vote dan komen.
Happy reading💜💜

***

Langkah kaki pria itu terdengar saling bersahutan menapaki anak tangga mansionnya. Pria bertubuh jangkung dengan wajah tampan bak pahatan dewa Yunani kuno, dengan setelan jas mewah yang masih melekat membungkus tubuh atletisnya. Dia Sean Emiliano, pewaris tunggal Emilian's Company, perusahaan properti terbesar se-Asia Tenggara.

Saat netranya tak sengaja menangkap objek di depannya, ia menghela nafas berat. Hatinya mencelos melihat sesosok wanita bertubuh mungil yang tertidur pulas meringkuk di sofa seraya memeluk dirinya sendiri. Sean melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Pukul 2 pagi, namun wanita ini masih setia menungguinya.

Sean menoleh pada salah seorang maid di mansion yang masih bertugas. Maid itu menunduk sopan.

"Kami sudah meminta Nona untuk tidur, Tuan. Tapi Nona bilang ingin menunggu Tuan pulang," jawab maid seolah paham dengan tuannya itu.

"Hm, pergilah."

Sean menyeret langkahnya mendekati Anin yang masih belum mengetahui kedatangannya. Ia duduk berjongkok di depan Anin. Tangan Sean tergerak menyingkirkan helaian rambut yang menutupi wajah cantik istrinya itu. Sejenak pria itu terpaku melihat pahatan sempurna yang tersaji di depannya. Wajah tirus putih bersih, bulu mata lentik dengan mata indah yang terpejam, serta bibir mungil berisi berwarna merah delima, yang seakan mengundangnya untuk melabuhkan kecupan lembut.

Perlahan diusapnya surai indah milik Anin, hingga mampu membangunkan sang empunya. Sean buru-buru menarik kembali tangannya.

Anin mengerjapkan matanya, menyesuaikan dengan pencahayaan yang menusuk inderanya. "Sayang, kau sudah pulang?" Suara serak Anin menelisik pendengaran Sean.

Sean berdehem pelan. "Hm."

Anin terbangun dari posisinya. Ia merangkul lengan Sean. "Kenapa sangat larut? Kau lembur lagi?"

Sean tak langsung menjawab. Ia terdiam menatap Anin dalam. Entah apa yang dipikirkan pria itu.

"Ada pekerjaan yang harus ku selesaikan," jawabnya kemudian.

Anin menghela nafas singkat. Ia menangkup wajah Sean, mengusap rahang tegas suaminya itu tak lupa memberikan senyum lembutnya.

"Kau bisa meminta Stif untuk melakukannya. Kau terlalu sering lembur sayang, kau harus memperhatikan kesehatanmu. Aku tak mau suamiku ini jatuh sakit." Stif yang Anin maksud adalah asisten kepercayaan Sean, Stifen.

Sean membisu. Tatapannya semakin terkunci pada Anin. Lihatlah, betapa tulusnya wanita ini. Ia tak pernah malu menunjukkan perhatiannya pada Sean. Anin sosok yang pengertian, perhatian dan hangat. Sungguh, Anin sangatlah sempurna. Segala yang dicari oleh para pria ada pada Anin.

"Aku masih bisa melakukannya sendiri."

Anin mengangguk. "Tapi kau juga harus menjaga tubuhmu."

"Aku akan menyiapkan air hangat untukmu," tawar Anin seraya mengambil alih tas kerja Sean dan membawanya menuju kamar pria itu.

Sean hanya diam membuntuti Anin dari belakang, hingga sampai di depan pintu kamar bercat coklat gelap itu. "Tidak perlu, kau kembalilah ke kamarmu," tolaknya.

Jujur saja, Sean merasa tidak pantas menerima segala kebaikan wanita itu. Anin memanglah istrinya, tapi Sean tau pernikahan mereka bukanlah keinginannya.

Anin tersenyum samar, dia dan Sean memang tidur di kamar yang terpisah. Namun Anin tak merasa keberatan dengan hal itu, selama ia masih bisa berada di dekat suaminya.

"Kalau kau membutuhkan sesuatu, panggil aku."

"Hm."

Sekali lagi, Anin tersenyum. Wanita cantik itu menyeret langkahnya meninggalkan Sean. Kini tinggallah Sean sendirinya. Pria itu terdiam, bergelut dengan pikirannya. Ia melepaskan satu per satu lembar kain di tubuhnya, dan masuk ke dalam toilet untuk mandi.

Selang beberapa lama, Sean keluar dengan handuk yang melilit di pinggangnya. Bulir-bulir air terjatuh dari ujung rambutnya yang panjangnya sudah menyentuh alis tebalnya itu. Lagi-lagi, Sean menghela napas berat. Di atas kasur King size itu sudah tersedia sepasang piyama coklat motif polkadot, lengkap dengan secangkir kopi dengan asap yang masih mengepul di atas nakas.

Sean tentu tak bodoh untuk menebak siapa yang menyiapkan itu. Tentu saja Anin. Sean sudah berulang kali meminta Anin untuk tidak melakukan apapun untuknya. Namun wanita itu tetap kukuh untuk melayani Sean, karena katanya itu adalah kewajibannya. Sean bahkan tidak pernah memberikan hak Anin, tapi dia dengan sukarela menjalankan kewajibannya sebagai istri.

Dengan handuk yang masih melingkar memamerkan perut sixpack -nya, Sean meraih secangkir kopi panas buatan Anin, dan membawanya menuju balkon kamarnya. Ia meneguknya dengan perlahan. Rasanya tetap sama, kopi hitam sedikit pekat dan tidak terlalu manis.

Pandangan Sean mengembara pada gelapnya langit. Kedua tangannya bertumpu pada sisi pembatas balkon. Ia menengadah, membiarkan dinginnya sang angin menerpa lembut permukaan dada telanjangnya.

Tatapannya semakin mengedar jauh, kala pikirannya tertuju pada wanita yang setahun ini menyandang status sebagai istrinya.

Anindya Canfelia. Entahlah, sangat sulit bagi Sean untuk membuka hatinya pada Anin. Ia tidak ingin menyakiti hati tulus wanita itu. Namun Sean pun tak ingin membuat Anin berharap lebih darinya jika Sean merespon segala kebaikan Anin.

"Maafkan aku, Anin."

***
To be continue.

Surrender Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang