Part 2

78 69 118
                                    

Happy reading ♡

***

Mentari pagi ini terlihat malu-malu memamerkan kebesaran tahtanya. Sang mentari bersinar tak secerah biasanya, nampak sedikit mendung. Namun wanita cantik dengan rambut terurai itu tetap menampilkan senyum cerahnya menadingi cahaya sang mentari. Seperti biasa Anin melakukan ritual paginya. Ia bangun lebih awal daripada Sean. Ia ingin menyiapkan seragam kantor dan blazer untuk Sean dan keperluan penting lainnya, karena hari ini Sean ada jadwal meeting penting.

Ia juga ingin membantu para maid untuk menyediakan sarapan pagi untuk Sean. Ia menyajikan berbagai menu hasil buatannya di meja makan besar itu.

Tiba-tiba perhatian Anin teralihkan pada derap langkah seseorang. Anin memutar tubuhnya. Terlihat Sean sudah rapi dengan setelan kerjanya. Ia menuruni tangga menuju ruang tamu. Kedatangan Sean langsung disambut ramah oleh Anin. Ia merangkul mesra lengan suaminya itu.

"Sayang, kamu sarapan pagi dulu biar perut kamu ke isi dan gak masuk angin. Cuaca diluar cukup dingin. Nanti kamu pakai jaket tebal ini ya biar kamu gak sakit," ujar Anin sambil menunjukan jaket tebal yang ia telah siapkan tadi pagi.

Sean hanya berdehem pelan. "Hm."

Ia tidak melirik sama sekali sarapan yang telah disediakan beserta jaket yang dibawakan Anin. "Aku sarapan di kantor," ujar Sean.

Sean kembali menyeret langkahnya, namun sebelum itu, ia sejenak melirik Anin. "Tidak perlu menungguku. Aku lembur."

Tanpa mendengar jawaban Anin, ia langsung saja pergi meninggalkan  mansionnya  menuju mobil yang telah disiapkan oleh Stif. Diam-diam Stif menatap iba pada Nonanya itu. Ia merasa kasihan dengan Anin, segala perjuangannya selalu diabaikan oleh Sean. Jika saja ia memiliki keberanian, Stif pasti akan merebut Anin dari Sean.

Melihat Sean yang mulai menjauh, Stif membungkukkan badannya hormat pada Anin.
"Saya permisi, Nona."

"Stif tunggu."

Stif mengurungkan langkahnya tatkala mendengar suara Anin. Stif memperhatikan apa yang dilakukan wanita itu. Tangan Anin bergerak dengan cekatan memasukkan makanan yang susah payah ia buat, ke dalam kotak makanan yang entah kapan ia siapkan.

"Stif, tolong berikan ini pada tuanmu.  Kau harus memastikan dia memakannya. Jangan sampai dia tidak makan. Kau tau kan, dia punya maag. Akan berbahaya jika dia telat makan."

Stif meraih kotak makanan yang diberikan Anin padanya. Sekali lagi ia membungkuk sopan.

"Baik, Nona. Akan saya sampaikan."

"Panggil aku Anin, Stif. Jangan terlalu sopan padaku. Lagi pula, kau lebih tua dariku."

Stif menggeleng. "Tidak bisa, Nona. Anda majikan saya."

"Bukan aku, tapi Sean. Dialah majikan mu. Jadi jangan terlalu formal padaku."

"Tidak, Nona. Anda isteri tuan." Stif tetap kukuh. Lagi-lagi Stif dibuat kagum melihat sifat Nona muda itu. Kalau sampai suatu saat nanti Sean menyakiti Anin, Stif lah orang pertama yang akan menghajar pria itu.

Anin terpaksa mengalah. "Terserah kau saja. Pergilah, nanti tuanmu itu akan marah."

"Baik, Nona."

Sementara di luar sana, Sean berulang kali melirik kaca mobilnya. Mengapa asistennya itu tak kunjung datang?

"Darimana saja kau bodoh? Aku menggajimu bukan untuk membuatku menunggu!" Kata-kata menusuk dari mulut pedas Sean langsung meluncur dengan mulus saat melihat Stif memasuki mobilnya.

Stif diam-diam memutar bola matanya malas. Ia sudah bisa dengan kata-kata Sean yang kadang menguji kesabaran siapa saja yang mendengarnya.
Stif diam saja, ia tidak menyahuti ucapan Sean. Ia mengendarai mobil Sean, hingga sampai di depan gedung besar yang tingginya seakan menantang cakrawala. Emilian's Company, perusahaan kebanggaan Sean.

Stif keluar lebih dulu dari mobil itu, dan membukakan pintu untuk Sean. Hingga keluarlah Sean dengan penuh wibawa dan kharisma.

"Maaf tuan, tadi nyonya menyuruh saya untuk membawa makanan dan jaket ini untuk Tuan," ungkap Stif pada Sean.

Sean yang melihat itu langsung menatap tajam pada Stif. Ia menolak mentah mentah. "Harusnya kau tidak menerimanya."

"Maaf, Tuan. Saya tidak berhak untuk menolaknya."

Sean berdecih. "Kau memang selalu bodoh. Tinggalkan saja di mobil, aku tidak ingin memakannya. Jika kau mau, ambillah."

"Tapi tuan--"

"Kau menentangku, Stif?"

Stif yang melihat sinyal merah dari Sean langsung saja mengalah. "T-tidak, tuan." Lebih baik cari aman saja, pikirnya.

Tanpa menerima titipan Anin, Sean mengayun kakinya memasuki gedung pencakar langit itu. Dibelakangnya, tampak Stif yang dengan setia mengekori Sean. Dalam hati, Stif mati-matian menahan kesal pada Sean. "Kapan kau akan menyadari betapa baiknya Nona Anin, Tuan?"

***

Diwaktu yang sama di tempat yang berbeda, tampak Anin yang kini duduk di kamarnya seraya memandang objek di depannya. Jemarinya yang lentik dengan mahir mengoleskan kuas pada kanvas yang terbentang di depannya. Memadukan warna demi warna, hingga menciptakan suatu maha karya yang sangat indah. Ya, Anin sangat suka melukis. Di saat luang seperti ini, yang selalu dilakukan Anin adalah melukis. Dan yang menjadi objeknya adalah Sean, cintanya. Namun Sean tidak pernah mengetahuinya, lebih tepatnya tidak ingin tahu dengan apa yang Anin lakukan.

Anin memandang puas pada lukisannya yang menampakkan sosok Sean dengan tatapan matanya yang tajam bak seekor elang.

"Suamiku memang sangat tampan." Anin tersenyum indah. Membayangkan bagaimana rasanya jika yang saat ini ia pandangi adalah Sean yang nyata, bukan sekedar lukisan.

Namun tiba-tiba senyum cerahnya kian meredup. Pandangannya menggelap. Kenyataan bahwa suami yang ia cintai tak pernah memberikan hati untuknya, sangatlah menyiksa bagi Anin. Setahun pernikahannya dengan Sean, namun sampai saat ini perjuangan Anin tak kunjung membuahkan hasil.

Tes!

Tanpa bisa dicegah, butiran kristal bening itu turun membasahi pipi sang empunya. Ia terisak pelan. Jujur saja, Anin lelah jika harus terus bersikap kuat di depan Sean.

"Sean, apa hatimu sekeras itu, sayang? Hingga sangat sulit bagiku untuk meruntuhkannya."

Perlahan, Anin menyapu pipinya yang basah terkena lelehan air mata. Ia harus tetap kuat untuk Sean. Hingga tanpa sengaja jemarinya menyentuh hidungnya yang terasa lembap. Anin bergeming menatap jemarinya yang kini dipenuhi noda bercak darah.

"Astaga, darah."

Wanita itu buru-buru berlari ke toilet kamarnya. Ia menyalakan air wastafel. Untung saja tidak ada yang melihatnya.

Setelah memastikan tidak ada sisa noda merah itu, Anin mematikan kran air. Dengan tangan bertumpu pada sisi wastafel, lamat-lamat ia memperhatikan wajahnya di pantulan cermin. Anin tersenyum miris.

"Kau memang sangat menyedihkan, Anin."

***

To be continue.

Surrender Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang