Part 4

32 16 9
                                    

Happy reading ♡

***

Anin menatap langit cerah yang terbentang luas di atasnya, bak kanvas biru yang dilukis dengan sangat sempurna. Sungguh sebuah mahakarya dari sang pencipta.

Perhatian Anin tersisa, pada suara tawa anak-anak yang bermain di sekitar taman tempat ia berada. Sudut bibirnya tertarik sempurna. Pemandangan itu membawanya kembali pada masa kecilnya yang sungguh bahagia, tidak ada masalah ataupun beban. Jika saja ia mempunyai kantong ajaib Doraemon, mungkin ia bisa menggunakan mesin waktu agar ia bisa kembali ke masa kecilnya. Namun itu hanyalah khayalan semata.

Senyum itu kini sirna, saat tanpa sengaja bayangan wajah sosok yang amat ia rindukan itu muncul dalam benaknya.

Seminggu sudah berlalu, sejak malam itu Anin tak lagi melihat Sean. Pria itu seakan menghilang tanpa kabar. Anin sudah mencoba menghubunginya dan mengirimi pesan, namun hasilnya nihil. Tidak ada balasan dari pria itu. Ia tersenyum miris, menyedihkan sekali bukan? Seorang istri yang tidak mengetahui keberadaan suaminya. Pernikahan macam apa yang tengah ia jalani ini.

Terlalu sibuk dengan pemikirannya, membuat Anin tidak menyadari kehadiran seseorang di sampingnya. Hingga saat tepukan itu mendarat di bahunya, barulah Anin tersadar. Ia menoleh, menatap pria di sampingnya yang juga tengah menatapnya.

"Anindya." Pria dengan kemeja maroon dan celana bahan berwarna hitam gelap itu tersenyum, menampilkan lesung pipinya yang khas.

Anin tersenyum. "Hai, Dokter Dafa."

"Boleh aku duduk?"

"Tentu saja, Dokter."

Pria itu bernama Dafa. Lengkapnya, Dava Putra Pradipta. Pria tampan rupawan dengan rambut ikal berwarna coklat gelap, dan juga lesung pipi di pipi kirinya. Selain itu, Dava juga mempunyai karier yang cemerlang di dunia kedokteran di usianya yang masih muda.

"Sebenarnya tadi aku tidak sengaja melihatmu disini. Makanya aku menghampirimu."

Anin hanya tersenyum seadanya menanggapi ucapan Dava.

"Bulan ini kau melewatkan jadwal check up mu. Bukankah sudah ku katakan kau harus rutin memeriksakan keadaanmu?"

"Maaf, Dokter. Saya sedikit sibuk hingga melupakannya," alibi Anin. Jujur saja, rasa-rasanya ia sungguh merasa bosan melakukan pengobatan yang entah sampai kapan ujungnya.

"Kau harus optimis Anin, kau pasti bisa sembuh," ujar Dava memberi semangat. Pria itu rupanya cukup paham pada Anin, ia yakin Anin pasti merasa jenuh dengan berbagai macam pengobatan yang sudah dia tahun ini selalu menemani harinya.

Anin menundukkan pandangannya. Sebenarnya Anin yakin bisa sembuh.  Ia sungguh merasa tidak enak pada Dava yang selama ini sudah sangat baik padanya. Selama dua tahun belakangan, Davalah yang selalu membantu Anin mengobati penyakitnya. Dava adalah pria yang hangat, perhatian dan bersikap lembut pada perempuan. Disaat Anin merasa putus asa dengan sakit yang dideritanya, disaat itu juga Dava hadir membawa sejuta semangat dan harapan bagi Anin.

Anin sungguh merasa tidak pantas menerima segala kebaikan dari pria itu. Bukannya Anin tidak tahu kalau dokter muda itu menaruh hati padanya. Namun ia tidak ingin membuat Dava berharap pada dirinya. Apalagi Anin adalah wanita yang sudah bersuami, yang harus pintar menjaga hatinya.

"Dokter, sepertinya saya harus pulang. Ada urusan yang harus saya selesaikan." Anin berdiri dari duduknya, diikuti oleh Dava.

"Ah, baiklah. Biar aku mengantarmu," tawar Dava dengan senyum tipis yang menghiasi wajah tampan nya.

Anin menggeleng, menolak dengan halus tawaran Dava. "Sebelumnya terimakasih, Dokter. Tapi sebaiknya saya pulang sendiri saja. Saya duluan, Dokter."

Dava menghela napas pelan, menatap punggung wanita itu yang kian menjauh hingga benar-benar sirna dari pandangannya.

"Kenapa kau selalu membatasi diri denganku, Anin. Apa aku terlalu buruk untukmu?"

***

Ceklek!

Anin menatap nanar pada benda pipih yang ada di genggamannya. Pesan yang ia kirimkan pada Sean, tidak sekalipun di balas oleh pria itu, bahkan dibaca pun tidak. Ia tersenyum kecut.

Kedua kaki jenjangnya ia seret menuju tempat tidurnya, dan mendudukkan diri di sisi ranjang. Tatapannya kini terpaku pada figura yang terpajang di atas nakas. Foto berbingkai biru yang menampilkan sepasang manusia dengan mengenakan pakaian pengantin. Itu adalah foto pernikahannya dengan Sean.

Tangan wanita itu tergerak, mengusap lembut pada foto itu, tepatnya pada wajah tampan Sean. Namun tiba-tiba, rasa sakit mendera kepala Anin. Ia meringis pelan, meremas kepalanya, berharap rasa sakit itu lekas menghilang.
"Kau tau sayang, aku bahkan masih bisa menahan rasa sakit ini. Tapi aku tidak cukup kuat untuk menahan luka atas segala penolakanmu padaku.".

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 20, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Surrender Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang