Bab 7 : Alasan sebenarnya

11 4 0
                                    



Setelah meminta izin kepada Calla untuk berkunjung ke rumah gadis itu hari ini, kini Angkasa baru saja keluar dari mobilnya, berjalan memasuki rumah keluarga Januar.

Pak Maman— security rumah keluarga Januar, keluar ketika melihat eksistensi pria yang dulu sering bertemu dengannya ketika Angkasa mengantar Calla pulang dari sekolah.

"Mas Angkasa, toh?" Sapa Pak Maman.

Angkasa menoleh dan mendekati Pak Maman tanpa rasa canggung. "Apa kabar, Pak man?" tanya Angkasa ramah.

"Baik, Mas. Loh, baru keliatan, kemana aja?"

"Baru balik dari Jerman, Pak."

"Oalah, pantes sekarang mukanya rada bule-bule gitu ya?!" Pak Maman terkekeh, begitupun Angkasa.

"Iya, kena anginnya aja bisa jadi bule, Pak."

"Bisa aja Mas Angkasa ini bercandanya. Ngomong-ngomong mau ketemu Mba Calla ya?"

Angkasa mengangguk, "Ada?"

"Kayaknya ada, soalnya tadi ada guru musik Mba Calla. Monggo masuk, Mas."

"Saya masuk ya, Pak. Mari."

"Mari, Mas Angkasa."

Sepeninggalan Angkasa, Pak Maman menggelengkan kepalanya sembari melangkah masuk ke dalam pos jaga, "Belum ada lagi saya liat orang seganteng Mas Angkasa itu, makan apa dia ya?" Tanya Pak Maman pada dirinya sendiri.

***

"Angkasa di Berlin makan apa? Kenapa pulang-pulang makin ganteng." Januar baru saja melempar candaan pada Angkasa, meskipun kalimat tersebut adalah kejujuran.

Mungkin karena udara di negara sana lebih bersih dibandingkan dengan kota Jakarta, wajar jika kulit Angkasa yang sebelumnya sudah seputih susu jadi semakin menyilaukan.

"Disana makan buku dia, Pi," sahut Calla mengejek.

Januar terkekeh melirik anak gadis satu-satunya yang baru saja menyelesaikan les piano mengambil alih sofa disebelahnya.

"Di sana Angkasa lebih suka konsumsi buah, Om, dan nggak minum cola atau alkohol."

"Kamu remaja yang baru beranjak dewasa loh, Sa, nggak tergoda alkohol di sana?"

Angkasa mengangguk, "Karena Angkasa sendirian disana, lebih berisiko kalau macem-macem, Om."

Januar lagi-lagi tertawa kecil, sejak dulu Angkasa tidak pernah tidak membuatnya kagum. Pintar, sopan dan baik. 3 poin yang selalu Januar sematkan untuk Angkasa. Tentu ada poin penting yang lebih utama; dari keluarga terpandang.

"Angkasa mau macem-macem kebanyakan mikir."

"Harus, Call. Berbuat baik aja kadang mikir, apalagi yang macem-macem."

"Iya juga, sih."

Irene datang dengan kedua pelayan di belakangnya, membawa nampan berisikan makanan dan minuman untuk sang tamu.

"Calon menantuku," sambut Irene dengan raut wajah girang.

"Sudah batal, Mih," celetuk Calla tidak suka.

"Tante, how are you?" tanya Angkasa.

"So good, apa lagi hari ini kedatangan kamu."

Angkasa tersenyum malu, Irene akhirnya bergabung bersama ketiganya. Calla sudah memprediksi sesuatu negatif akan terjadi jika Maminya nimbrung diantara dirinya dan Angkasa.

"Ada sesuatu yang tertinggal, nak?" Tanya Irene pada Angkasa.

"Maksudnya, Tan?"

"Kenapa kembali ke Indonesia padahal kamu lagi adaptasi sama kuliah kamu di Berlin?"

Lily Terakhir Untuk CallaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang