PERTEMUAN PERTAMA

60 6 0
                                    


"Udah SMA aja ya..." di pagi hari, gerutu ku sudah menguar tak jelas.

Selangkah demi selangkah aku mulai memasuki gerbang tinggi sekolahku. Hari ini adalah hari pertamaku bertemu dengan sekolah baru, lingkungan baru, maupun teman-teman baru yang nantinya aku akan mengisi hari-hariku bersama mereka. Aku perlu melewati lorong koridor panjang untuk menuju ke kelas, lorong tadi sangat padat. Aku dapat melihat teman-teman seangkatanku yang sepertinya ikut kelimpungan di hari pertama sekolah. Dari wajahnya, beberapa dari banyak murid di sana dapat dipastikan adalah kakak kelas. Terlihat dari aura tegas dan terbiasa seakan-akan pemandangan ini memang rutin terjadi. Aku melenggang pergi dari kerumunan itu lantas menuju kelasku yang berada di ujung lorong lantai empat.

"Huh." nafas ku menderu hebat. Tiba-tiba aku merasa lelah, padahal ini baru hari pertama.

Aku meletakkan tas ransel yang tersampir di pundakku ke samping meja. Sampai sebuah suara membuatku seketika menoleh.

"Hai." seorang murid perempuan tak dikenal menyapaku dari arah belakang. Tas ransel berwarna merah tersampir di pundaknya. Sebelah tangannya menjadi tumpuan kala ia menaruhnya di atas meja entah milik siapa.

"Hai?" aku membalas sapaannya canggung. Raut wajah anak itu mencoba ramah walau tetap tampak galak. Alisnya tebal, rahangnya terbentuk, menambah kesan seram perawakannya.

"Ayela, ya?" anak itu menyebutkan namaku.

"Eh, iya, aku Ayela, kamu...?"

"Ghaisa." tangannya mengulur setelah dirinya menjawab pertanyaanku.

Aku termenung sejenak, uluran tangannya belum aku jawab. Aku bahkan belum memperkenalkan namaku pada siapapun orang di kelas ini. Kok dia bisa tahu namaku?

Dagunya menunjuk ke arah sablonan nama yang terjahit di atas kanan bajuku, aku mengangguk paham, lantas merasa malu. Pantas saja dia tahu. Bahkan semua orang dapat dengan mudah mengetahuinya.

"Oh hai, Ghaisa, jadi teman baik ya, kita? " menghapus pikiran buruk, aku akhirnya menyambut uluran tangan teman baruku itu.

Perawakan nya membuatku bergidik ngeri, tapi Ghaisa ini banyak menyimpan hal baik diluar dugaan. Kita teman baik, dan dia adalah teman pertamaku di sekolah ini.

***

Setelah lama kenal, Ghaisa memang baik seperti apa yang aku kira. Dia suka sekali melindungiku dari hal sekecil apapun yang membahayakan. Eksistensi Ghaisa di sampingku dibandingkan sebagai seorang teman, dia lebih seperti seorang ibu.

Suatu hari sekolah kami mengadakan event yang merupakan salah satu program kerja utama OSIS kami. Aku tak sengaja berpapasan oleh seorang laki-laki waktu itu. Wajah laki-laki itu tidak asing, malah familiar sekali di otakku. Tapi sulit untuk aku mengingat kapan dan dimana aku pernah bertemu dengannya.

"Oh sorry sorry nggak sengaja, gue lagi buru-buru." laki-laki itu meminta maaf setelah tidak sengaja menabrakku hingga terjatuh.

"Yel, lo nggak papa? Gak ada yang luka kan?" Ghaisa yang berjalan lebih lambat karena sibuk memperhatikan ponselnya menatap keadaanku khawatir. Bola matanya beralih ke laki-laki tadi, lalu kembali ke arahku.

"Iya gak apa-apa, Sa." jelasku, berharap Ghaisa mau tenang dan tidak memperpanjang urusan.

"Lain kali hati-hati dong kak. Kalo ada event tuh pasti rame. Jadi hati-hati." sudah aku bilang eksistensi Ghaisa itu benar-benar seperti seorang ibu, Ghaisa menitah ku untuk berdiri. Kami terkejut bukan main saat menyadari laki-laki tadi sudah lenyap dari pandangan.

"Lah orangnya dimana, deh? Kok asal ngilang aja." Ghaisa merutuk lagi. Pandangannya mengitari semua arah. Mencoba mencari laki-laki yang menabrakku tadi.

"Pergi dia ke sana." aku menunjuk ke arah lorong koridor sekolah. Sekarang aku sudah seratus persen berdiri.

"Itu siapa sih, Sa? Kakak kelas kita?"

"Iya. Dia kakak kelas sekaligus waketos kita, mentang-mentang wakil ketua OSIS, lagaknya udah kayak bos." nada bicaranya terdengar berapi-api.

"Lo tau nama dia siapa?"

"Si paling bossy, Athalla Alais Nugroho."

"Yaelah... santai kali, Sa, jangan ngegas juga ngomongnya."

"Ya, habis ngeselin banget bukannya bantuin malah asal nyelonong aja, apa menurut lo gue bakal diem aja?"

Aku menggeleng. Memutuskan untuk menyerah saat Ghaisa memulai sesi debatnya adalah pilihan terbaik guna melindungi diri. Perempuan itu melenggang pergi mendahuluiku ke arah depan auditorium. Ia sekuat tenaga mendapatkan posisi paling nyaman. Aku tahu sasarannya adalah yang persis di depan panggung event sekolah.

Saat objek yang dapat terjangkau oleh pandanganku hanyalah speaker besar yang bertengger berdampingan, aku merasa bingung. Bingung harus melakukan apa di tengah-tengah keramaian yang membuatku kaget. Aku datang kesini hanya karena ajakkan Ghaisa yang tak mungkin aku tolak tanpa mengetahui siapa guest star yang menghadiri event ini. Tapi yang pasti, terhimpit banyak orang dengan luka kecil yang membatasi gerak itu menyulitkan. I supposed to having fun here, namun tidak dapat dipungkiri luka ini tetap terasa perih.

"Artis yang diundang siapa Sa?" Ucapku sedikit berteriak, suara disini sangat tidak kondusif. Sementara tanganku bergantian mengelus-elus area sekitar luka yang berdenyut. Semua orang tampak bersemangat, aku yakin suaraku tidak dapat terdengar olehnya.

"Katanya sih bakal ada Pamungkas sama Raisa!" Ghaisa ikut berteriak.

"Sumpah?!" Aku memekik tak percaya.

"Santai dong jangan teriak juga sakit kuping gue!"

"Serius gue seneng bangeeet! Thank you for inviting me here, Sa!"

Sementara aku dan Ghaisa asyik berbincang, suara menggema yang berasal dari panggung menarik perhatianku, dan aku mendapatkan seseorang yang aku kenali berdiri di atas sana.

"Oke, siapa yang nggak sabar untuk lihat penampilan dari Pamungkas coba tepuk tangannya mana?" Athalla, dengan leluasa membuka acara utama pada siang hari ini. Semua orang langsung menjawab pertanyaannya dengan tangan yang terangkat.

Athalla, laki-laki yang membuatku bertanya-tanya namun disaat yang bersamaan membuatku jengkel— hari ini pandanganku terhadapnya berbeda. Ada Athalla yang tersenyum dengan bebas di atas sana, ikut bergabung bersama emcee lainnya dengan penuh sukacita seakan panggung ini adalah miliknya. And he looks so fine today...

Jika bisa dideskripsikan dirinya saat itu, dia mengenakan kemeja putih dengan setelan jeans berwarna biru ke abu-abuan. Jam tangan hitamnya menambah kesan tampan saat di satu padu dengan postur badannya yang tinggi dan rambutnya yang sedikit curly.

Setelah Pamungkas selesai membawakan lagu one only, Athalla menaiki panggung dan menyapa kembali para penonton dari bawah auditorium.

"Yeay gimana nih penampilan dari Pamungkas? Pada suka gak?" tanya Athalla kepada penonton seraya tersenyum.

Diam-diam sudut bibirku ikut meninggi. Kepalaku menunduk. Aku salah tingkah dibuatnya.

"Ganteng—hah?! Enggak-enggak, maksud gue Raisa tampilnya kapan!"

Aku harap Ghaisa tidak dapat mendengar kalimat yang aku ucapkan barusan.

Rainfall Along The Time (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang