( A quite-long POV of Atthalla.)Kehidupan gue di Kanada nggak jauh beda dengan kehidupan gue di Indonesia, terkadang gue pikir datangnya gue ke Kanada adalah pelarian. Terlalu banyak pintu labirin yang belum gue tutup disana. Pembaca bahkan tahu, gue ini masih sama aja.
Gue udah lama berkeinginan untuk melamar Ayela. Jauh disaat gue pertama kali menabrak dia di event itu. Dan setelahnya, setelahnya, setelahnya lagi. Membayangkan apa yang akan terjadi jika gue dan si dia bisa bersama. Lantas gue spontan menyadari, gue sendiri bingung harus menuntaskan segalanya mulai dari permasalahan yang mana.
Mengingat problem gue dan Shabila terselesaikan dengan mengorbankan setengah nyawa—untuk gambaran hiperbolis nya. Tapi untuk yang satu itu kayaknya lebih mudah. Permasalahannya cuma satu, akarnya terlihat, titik terangnya ada. Untuk masalah yang gue timbulkan di hubungan gue dan Ayela, semuanya jelas berkebalikkan.
Ketika melihat sepasang kekasih sedang bertukar afeksi sambil melangkah di trotoar jalan, gue punya khayalan bagaimana jadinya kalau mereka adalah gue dan Ayela. Andai, si dia ada di sini. Akan gue bawa dirinya mengitari Kanada dari Yukon hingga Nova Scotia. Sambil menceritakan betapa gue merindukannya, dengan Poutine dan coklat hangat pada genggaman.
Selanjutnya membicarakan jati diri Atthalla di sini. Sedikit berubah, di fase perubahan demi bertahan hidup di negeri orang itu pula rasanya gue hampir ingin menyerah. Mencoba membuka diri, menambah relasi pertemanan, dan meninggalkan zona nyaman mematikan yang sedari dulu selalu teraplikasi di hidup gue.
Ghafin namanya. Teman satu Universitas gue yang membantu gue sejak pertama kali gue menginjakkan kaki di asrama. Sebagai orang awam yang tidak tahu menahu soal Kanada, Ghafin yang merupakan mahasiswa asal Indonesia dan lebih dulu berkelana di sini selalu membantu gue dalam hal apapun. Termasuk membantu masalah gue dengan Ayela—pertemanan kami cukup bisa dibilang akrab.
"Fin, bantu gue lah."
Kali ini Ghafin sungguh berjasa terhadap nasib hubungan gue dengan Ayela.
"Coba lo chat dulu Ayela nya, siapa tau dia udah lupa sama lo."
Betul juga apa katanya. Dua tahun belakangan urusan Studi sepenuhnya mengambil waktu gue. Akibatnya keinginan untuk mengabari si dia berkali-kali terpendam. Gue yang masih mencoba untuk memanajemen waktu gue di sini, betulan mempelajari semuanya dari hal yang paling dasar.
"Kalo dia udah benci sama gue gimana ya, Fin?"
"Don't be a fool. You've been cheating on her for the past years, dan lo baru bingung sekarang. Najis."
Yang dikatakan Ghafin hanyalah hiperbolis. Gue nggak pernah selingkuh dari Ayela kalau yang ia maksud adalah perihal Shabila. Hanya masalahnya yang belum kelar, tapi perasaannya? Jelas udah.
Gue mengumpulkan keberanian untuk memulai percakapan kembali setelah dua tahun lamanya gue memutuskan percakapan sepihak tanpa si dia tau apa penyebabnya. Here I am. Mengetuk-ngetuk piring berisi makanan dengan garpu, sampai Split Pea Soup di hadapan gue nyaris tak berbentuk.
< Hai, Ayela
Halo halo >
< Kamu masih ngesave nomer aku?
Masih, ada apa kak? >
< Gapapa Ayela, kamu apa kabar?
Aku baik, kamu? >
< Baik juga, selalu
Lega rasanya karena Ayela masih menyimpan nomor gue. Padahal sekarang gue harusnya sudah memakai nomor dengan kode nomor Kanada. Tapi demi si dia, gue kebelakangkan permintaan semua orang yang ingin mengirimi gue pesan, dengan alasan lewat sosial media aja. Toh, memang nggak ada bedanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rainfall Along The Time (END)
RomancePertemuan yang di sengaja melalui event sekolahnya, membuat satu dari mereka harus merasakan beratnya jatuh cinta dengan laki lami yang belum selesai dengan masa lalunya, namun atthalla tau tentang perasaan ayela. tapi ia memilih untuk tidak berbuat...