Setelah sekian lama, akhirnya Fathia bisa kembali memasuki ruang lukis Adnan, karena sejujurnya ia masih agak takut kejadian Adnan marah terulang, padahal sudah dari lama ia ingin melihat karya-karya Adnan yang mungkin sudah bertambah banyak.
Tak terasa sudah hampir 6 bulan Fathia menjalani rumah tangganya bersama Adnan. Jika ditanya banyak suka atau dukanya, tentu saja ia akan menjawab dengan jujur bahwa duka lebih banyak yang ia rasakan dibanding sukanya, tetapi tentu saja ia yakin semua itu adalah proses untuk hidupnya berjalan ke arah yang lebih baik, juga sebagai bentuk pendewasaan diri karena sebenarnya untuk di umur sekarang ia tidak pernah membayangkan akan jadi ibu dalam waktu dekat.
Dahulu di mimpi dan targetnya, ia hanya ingin fokus kepada karirnya sebagai penulis, bermimpi salah satu novelnya bisa dijadikan series atau bahkan mungkin film, kemudian memiliki komitmen yang serius dalam pacaran tetapi tidak terpikir akan menikah di umurnya yang baru 24 Tahun.
Lamunan Fathia terusik saat ekor matanya menangkap sebuah lukisan bayi yang terlihat lucu dan sangat realistis. Langkahnya mulai ia dekatkan ke arah lukisan tersebut, memandangi lukisan tersebut lebih dalam lagi, entah mengapa hatinya terasa menghangat melihat lukisan tersebut, padahal ia sendiri belum tahu sebab dan alasan Adnan melukis lukisan tersebut.
"Kenapa Fathia masuk ke sini?"
Fathia yang sedang terkesima melihat lukisan tersebut, merasa kaget dan langsung membalikan tubuhnya ke arah suara tersebut berasal.
"Fathia cuma ingin melihat lukisan-lukisan Adnan, memangnya tidak boleh?"
Adnan berjalan mendekat, mengamati lukisan yang persis berada di belakang tubuh Fathia.
"Boleh saja. Fathia suka dengan lukisan ini?" Tanya Adnan, tangannya sembari menunjuk lukisan yang Fathia belakangi.
Fathia kembali membalikan tubuhnya, bermaksud melihat lukisan yang ditunjuk suaminya itu, dan tebakan suaminya itu seratus persen benar.
"Fathia suka sekali. Sejak kapan Adnan melukis lukisan ini?"
"Satu minggu yang lalu Adnan lukis ini. Menurut Fathia bagus tidak?"
"Tentu saja bagus, 'kan Fathia suka sekali."
Sebuah senyuman manis merekah begitu saja di Bibir Adnan, sesaat setelah Fathia menjawab pertanyaannya. Meskipun ia sering sekali dipuji orantuanya atau adiknya, tetapi rasanya dipuji Fathia berbeda, ia tidak tahu mengapa itu terjadi.
"Oh iya, boleh Adnan jelaskan mengapa Adnan lukis ini?"
Adnan termenung sebentar, mencoba mengingat-ngingat apa alasan ia melukis lukisan tersebut.
"Adnan bermimpi tentang bayi ini, karena lucu dan Adnan menyukai ekspresinya, jadi Adnan lukis saja."
Fathia melirik Adnan yang kembali terdiam setelah menjelaskan alasan mengapa ia melukis bayi itu. Hatinya mulai menginginkan lukisan itu untuk di pajang di kamar bayinya nanti, mungkin bisa dibilang sebagai kado dari ayahnya, tapi apa mungkin Adnan mengizinkan keinginannya? Soalnya pernah ia memfoto satu lukisan dan ditunjukan kepada temannya yang kebetulan seorang kolektor lukisan, ternyata temannya Fathia menyukai lukisan yang ditunjukannya dan ingin membelinya, tetapi saat meminta izin kepada suaminya itu, malah ia dimarahi, Adnan tidak mau menjual lukisan yang menurutnya 'berarti'.
Maksudnya, bukan berarti lukisan yang lain tidak berarti, tetapi lukisan yang benar-benar ia kerjakan lama dan ia sukai, tak akan pernah dijualnya, walaupun ada beberapa lukisan yang dengan mudah mendapat izin untuk dijual atau diikut-sertakan ke galeri seni.
"Kalau Fathia meminta lukisan ini untuk dipajang di kamar bayi Fathia, boleh?"
"Eum.. Boleh."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia, Adnan. (Completed)
General FictionNamanya Muhammad Adnan Arrasyid. Seorang pria penyandang Autism Spectrum Disorder (ASD) yang dibebani tugas berat pada umur 24 tahun oleh keluarganya. Ia diminta untuk mempertanggung-jawabkan kesalahan yang bukan dilakukan olehnya. Akankah ia mampu...