"Fathia di mana bu?"
"Sebentar lagi bertemu Fathia, Adnan tenang ya." Ujar Arini sembari terus menuntun Adnan untuk mengimbangi langkahnya.
Mereka baru saja tiba di Rumah sakit di mana Fathia melahirkan, tetapi tetap saja wajah Adnan menampilkan ekspresi yang tidak tenang saat Fathia tidak berada dalam pandangannya.
Melihat Adnan panik dan tidak tenang seperti itu, sejujurnya membuat perasaan Anita dan Didi menjadi campur aduk. Sedih dan iba karena sudah lama mereka tidak melihat ekspresi Adnan yang seperti itu, mereka jarang sekali meninggalkan Adnan saat tertidur karena pasti putranya itu akan mencari mereka. Senang karena setelah beberapa bulan mereka tidak satu rumah, secara tidak sadar Adnan mencari orang yang membuatnya aman dan nyaman, karena memang Adnan bertingkah seperti itu jika ditinggalkan orang terdekatnya.
"Fathia!" Dengan setengah berteriak, Adnan memanggil nama istrinya itu sesaat baru saja pintu ruang rawat dibuka ibunya. Ia segera berlari mendekati Fathia dan tak segan memeluknya.
Kalila hanya menatap bingung Adnan yang bertingkah seperti sudah lama tak bertemu dengan kakak iparnya itu, ya walaupun pelukan memang selalu dilakukannya ketika Adnan bertemu dengan orang terdekatnya.
"Adnan jangan kelamaan peluknya, Fathia sedang istirahat." Tegur Arini.
Adnan pun mengendurkan pelukannya, tetapi matanya tetap menatap Fathia, seperti meminta penjelasan.
"Maaf ya Fathia tinggal tadi, soalnya perut Fathia sakit sekali pagi tadi, jadi pergi ke sini."
"Sakit perut? Sekarang bagaimana? Fathia sudah minum obat?"
Fathia sedikit terkekeh melihat respon Adnan yang terlihat ekspresif sekali sekarang, jarang sekali ia melihat suaminya seperti ini.
"Sudah tidak sakit, karena bayinya sudah lahir. Adnan mau melihat bayinya?"
Adnan sebenarnya bingung, tetapi ia hanya menganggukan kepala saja saat bisa mencerna kalimat terakhir yang Fathia utarakan.
"Adnan pindah ke sini." Ucap Fathia menyuruh Adnan yang tadinya berada di sisi kiri, untuk bergeser ke sisi kanan, di mana bayinya tertidur di box bayi.
Fathia membuka kain tipis yang menutup box bayi, menampakan Thalia dengan kulit merahnya.
"Fathia, bayinya mirip dengan yang ada di mimpi Adnan!" Adnan berseru senang.
Fathia hanya tersenyum melihat Adnan yang langsung terdiam seperti terpana melihat Thalia.
"Adnan boleh elus pipinya?"
"Boleh, tapi pelan-pelan ya."
Adnan mengelus pipi Thalia dengan perlahan, rasanya ia ingin mencubit pipi bayi yang ada di hadapannya ini, tetapi tentu saja ia mengingat pepatah sang Ibu yang tidak boleh mencubit bayi ataupun anak kecil.
"Fathia!" Seru Adnan heboh saat melihat Thalia membuka matanya sesaat, kemudian kelopak matanya kembali tertutup.
Baru pertama kali menatap mata Thalia, Adnan sudah jatuh suka, ingin terus menatap mata indah bayi itu, entah mengapa.
"Nama bayinya siapa, Fathia?"
"Thalia, panggilan yang Adnan inginkan, bukan?"
Adnan hanya menganggukan kepalanya menanggapi ucapan Fathia. Matanya terus menatap Thalia tanpa berpaling.
Para orangtua dan Kalila hanya tersenyum melihat interaksi mereka berdua, pernikahan mereka berdua sepertinya tidak seburuk yang dibayangkan. Mereka hanya berharap kebahagiaan putra-putri mereka bisa lebih dari ini untuk ke depannya, apalagi setelah dikaruniai Thalia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia, Adnan. (Completed)
General FictionNamanya Muhammad Adnan Arrasyid. Seorang pria penyandang Autism Spectrum Disorder (ASD) yang dibebani tugas berat pada umur 24 tahun oleh keluarganya. Ia diminta untuk mempertanggung-jawabkan kesalahan yang bukan dilakukan olehnya. Akankah ia mampu...