4. Tidak Tenang dalam Genangan Dosa

30 5 2
                                    

Subuh Banyu tersentak, ia bermimpi buruk. Dirinya dikejar sejumlah orang, kemudian menggebukinya sampai terluka parah. Nafasnya kencang, seolah mimpi itu adalah kenyataan.

Mengelus dada, masih ada detak jantung. Tandanya ia masih hidup. Menoleh ke samping, terbayang istrinya yang selalu menemaninya di ranjang. Meski telah menikah 8 tahun, sang istri masih sering mengelus kepalanya kala akan tidur atau memijat tubuhnya saat lelah bekerja. Seminggu ini hanya ia sendiri. Benar-benar sendiri.

Mengambil ponselnya di nakas, ia melihat bahwa pesannya dibaca oleh sang istri. Ditegakkan badannya, menyender ke kepala ranjang. Tersungging senyum, meski itu hanya dibaca oleh sang istri.

Pagi hari Banyu akan berangkat ke kantor, ia mendapat panggilan dari Margareth, ia minta berjumpa. Entah bagaimana Banyu merasa tidak ingin berjumpa Margareth. Dirinya pun bingung, padahal ia telah mengklaim mencintai Margareth pada istrinya dan keluarga.

Namun kini, Margareth seperti ggangguan buatnya. Mengapa dirinya bisa berubah secepat ini. Betapa labil Banyu yang dewasa ini.

Sore ini ia akan bertemu konselor pernikahan seorang diri. Mungkin ini seharusnya dilakukannya bersama sang istri, namun kini ia akan pergi seorang diri.

"Buat apa Mas Banyu konseling? Kamu mau balik ke istri kamu itu, Mas?" tanya Margareth saat mereka bertelepon.

"Bukan! Setidaknya aku tahu keputusan yang aku mau buat, Margareth." Banyu menyayangkan keterusterangannya pada Margareth, malahan ia mendapat pertentangan dari perempuan itu.

"Keputusan! Mas Banyu terlalu plin plan! Mas pernah katakan mencintai aku dan ingin bersamaku. Sekarang malah mau berpikir membuat keputusan."

Banyu diam saja tidak menanggapi Margareth.

"Mas anggap aku apa? Tempat pembuangan?" Margareth mulai berang.

"Kamu ini bicara apa sih!? Selama ini kamu kan tidak aku apa-apakan. Omongan kamu ngaco." Mereka jadi meributkan sesuatu yang tidak jelas.

"Jadi, apa maksud Mas dengan kata cinta waktu itu? Sekedar memacu adrenalin?" Margareth tidak terima, perasaannya seolah diabaikan.

"Aku minta maaf, Margareth. Ini pasti menyakiti hati kamu."

"Ya, kamu tahu itu Mas. Lalu kenapa masih mau konseling, akan ada keputusan baru setelahnya." Margareth tak mau itu terjadi.

"Ini hidup aku, Margareth. Belum saja menjadi istri kamu sudah mengatur-atur hidupku!" Banyu sungguh terganggu dengan cara Margareth.

Banyu mematikan sepihak panggilan ponselnya. Ia mengacak-acak rambutnya. Banyu tidak membenci Margareth, malahan ia senang cara Margareth memanjakannya. Membuat ia lupa pada masalah hidupnya.

Meski mencintai Margareth, Banyu tidak pernah bertindak terlalu jauh dengan Margareth. Logikanya masih utuh, mengingat Margareth adalah perempuan yang belum terikat perkawinan. Meskipun demikian sentuhan kulit lainnya tetap saja terjadi di antara mereka.

Sorenya, janji untuk konseling tetap dilakukan oleh Banyu. Ia menceritakan bagaimana rumah tangganya kini dilanda prahara oleh karena perbuatannya.

"Saat ini keluarga Anda bermasalah dengan kesetiaan, ini adalah panggilan, untuk kembali mengurusi keluarga dengan lebih serius lagi." Mereka duduk santai di sofa kantor seorang konselor, ia menuangkan air ke dalam gelas untuk Banyu minum.

"Silakan diminum!" Banyu menenggak minuman hingga tandas.

"Anda dapat mengecek ke belakang bagaimana komunikasi sebagai suami dan istri, apakah berjalan lancar? Mungkin Anda bisa ceritakan kondisinya."

METANOIA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang