10. Kontak Pertama Setelah Berpisah

23 3 1
                                    

Ponsel Miranda bergetar di meja. Ada panggilan dari suaminya. Padahal ia juga ingin membaringkan tubuhnya yang lelah seharian ini. Miranda memutuskan menerima telepon di luar kamar.

"Halo," sapa Miranda lebih dahulu.

"Halo, Sayang! Akhirnya bisa dengar suara kamu lagi. Mas senang sekali," ucap Banyu dari seberang.

Sayang, itulah panggilan Banyu pada istrinya sepanjang pernikahan. Bahkan sebelum ketahuan relasi gelap suaminya, Banyu masih memanggilnya dengan sapaan 'Sayang' pada istrinya.

Setelah mengajukan perjanjian cerai pada Miranda, kata itu tak pernah lagi terucap dari suaminya. Mengingat bahwa sapaan itu sempat sebagai kepura-puraan, hati Miranda serasa teriris.

"Jangan panggil aku lagi seperti itu," pinta Miranda. Panggilan Banyu telah terasa gersang.

"Yang menelepon tadi anak-anak, mereka kangen Papanya." Miranda menyampaikan maksud tanpa merespon kerinduan suaminya.

Banyu menangkap nada berbeda dari suara istrinya. Biasanya suara Miranda tidak seperti sekarang, tanpa semangat berbicara dengannya.

"Sayang, Mas rind--"

Miranda segera memotong perkataan suaminya, ia takut akan menangisi suaminya lagi saat ini, "Besok lagi menelepon Mas. Besok langsung suara anak-anak, aku harap Mas mengangkat panggilan mereka," pinta Miranda.

"Sayang, Mas mohon dengarkan Mas dulu." Banyu tetap dengan panggilan awal terhadap Miranda.

"Sudah malam, Mas. Aku butuh istirahat." Miranda menolak.

"Kapan kita bisa bicara?" Setelah Miranda selesai bicara, Banyu terus bertanya. Ia takut teleponnya ditutup sepihak oleh Miranda dan ia akan sulit mendapat momen seperti ini.

Miranda diam untuk berpikir menjawab apa lagi untuk Banyu.

"Mas, minta maaf sama kamu. Mas telah melukai hati kamu. Bila --"

Secara sepihak Miranda memutus panggilan. Ia tidak kuat mendengar kelanjutan pembicaraan dengan suaminya.

Untuk apa Banyu meminta maaf padanya? Seseorang yang telah ia percayai malah menduakannya. Secara terus terang, Banyu memilih Margareth yang baru beberapa bulan dikenal. Bahkan saat itu, Banyu membeberkan kelebihan Margareth dan kelemahan Miranda.

Miranda sangat terpukul atas keterusterangan suaminya. Ia ingin membenci, sayangnya tarikan cinta nampaknya masih bertahta di relung hatinya.

Komitmen pernikahan telah dinodai suaminya. Ia tak sanggup saja bila maaf Banyu adalah bentuk kebohongan lainnya. Miranda memilih mengistirahatkan tubuhnya di antara anak-anaknya.

Meski ranjang yang mereka tiduri tidak besar, momen sebulan ini tidur bersama Miranda sangat menggembirakan hati Ester dan Daud. Seperti perkataan Ester dua minggu lalu, "Kita bisa seterusnya tidur bersama, Bu?" Seraya memeluk Miranda di tengah.

Miranda hanya mendehem sebagai jawaban. Ia mengelus lengan anak-anaknya sampai mereka semua terlelap.

Berbeda rasa pada Banyu. Setelah sebulan tidak berjumpa dengan istrinya, ada rasa rindu bergejolak dalam dirinya. Ia senang bisa mendengar suara istrinya kembali.

Namun, nada ketus Miranda seolah-olah menamparnya dengan keras. Perempuan yang tidak pernah membantah kini meninggikan suaranya, menunjukkan rasa marah dan kecewa.

Mendengar Miranda keberatan dipanggil 'sayang' mencubit hati Banyu. Ketidaksediaan itu membuat dada Banyu menjadi sesak.

"Apakah kamu membenciku, Mira?" lirihnya menyugar rambut hitamnya. "Bagaimana aku bisa mendapat maaf darimu?" lanjutnya lagi.

Banyu mengambil foto keluarga mereka di nakas sebelah ranjang. Ia mengusap foto yang menunjukkan hangatnya kebersamaan mereka.

Terpisah dari anak dan istri ternyata sangat menggelisahkan, bahkan dibandingkan saat ia mengalami keguncangan dalam pekerjaan.

"Aku benar-benar bodoh, Mira. Marahlah padaku, caci aku... tapi jangan tinggalkan aku seperti ini." Tanpa terasa tetesan air mata membasahi pipinya.

Pria itu tidak bisa tidur, suara Miranda yang lembut terngiang ďi telinganya. Tidur di ranjang besar sendiri selama sebulan membuktikan bahwa ia belum siap ditinggal Miranda. Kenangan di setiap sudut kamar seakan-akan menertawakan dan menyindir pria itu sebagai orang yang layak untuk ditinggalkan.

Miranda tersentak dalam tidurnya. Ia terbangun dengan deru nafas yang cepat. Mimpi buruk menghampirinya, malah mungkin akan terjadi yakni perceraian dengan suaminya.

Ia turun dari ranjang, mengambil ponselnya dan melihat jam menunjukkan pukul tiga dini hari. Miranda duduk di meja kerjanya, ia mengambil waktu untuk berdoa berharap kekuatan dari Yang Kuasa.

Selesai berdoa, berdenting nada ponselnya, di layar terlihat pesan masuk dari suaminya.

Mas Banyu belum tidur? batinnya.

Miranda gelisah antara membaca atau membiarkan pesan itu. Beberapa menit ia memutuskan akhirnya membuka pesan dari suaminya.

[Sayang... Mas sulit tidur, begitu merindukan kamu. Perbuatan Mas tidak baik, telah menyakiti kamu. Mas tidak berharap kamu langsung memaafkan, Mas. Tapi dengan anak-anak, Mas tidak ingin dipisahkan.]

Membaca pesan Banyu bukannya membuat hati Miranda tenang dan membaik melainkan sebaliknya. Kalimat terakhir membebani pikirannya.

Lantas, perempuan itu membalas pesan suaminya.

[Aku tidak mengerti maksud pesan yang Mas kirimkan. Perlu Mas ketahui, aku tidak memisahkan Mas dari anak-anak. Mas sendiri yang menarik diri dari mereka! Siapa yang didatangi ke ruang kerjanya untuk diajak bermain tapi menolak. Siapa yang berjanji akan membawa anak-anak liburan, tapi mengingkarinya?] Miranda mengirim pesan itu, ia menulis dengan cepat agar apa yang ada dalam benaknya tidak terbang begitu saja.

Belum puas, Miranda melanjutkan tulisannya kembali.

[Anak-anak selalu bertanya sama aku, ada apa dengan ayahnya? Dan aku terpaksa harus mengatakan kamu sibuk bekerja mencari penghidupan untuk mereka. Padahal kamu sibuk memadu kasih dengan perempuan asing yang berlagak religius.]

Banyu menegakkan tubuhnya membaca dua pesan sangar dari istrinya. Miranda ternyata belum tidur dan ia memantik emosi istrinya yang masih basah akan rasa marah dan kecewa.

Pesan rindunya tidak digubris sang istri, melainkan pesan di kalimat terakhir yang seharusnya tidak ia kirimkan.

[Sayang... kamu belum tidur? Mas minta maaf, Mas salah tulis tapi tidak bermaksud mengatakan kamu memisahkan Mas dari anak-anak. Kamu jangan marah ya] Banyu segera ingin memadamkan api amarah istrinya sebelum meledak menjadi kebencian.

"Bodoh banget aku," ucap Banyu pada dirinya sendiri, menepuk keningnya berkali-kali.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 22, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

METANOIA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang