8. Duka ci(n)ta

21 2 1
                                    

Malam hari setelah sampai di rumahnya, Banyu segera masuk ke kamar yang sepi tanpa penghuni. Ia ingin menyegarkan diri, menyalakan shower kemudian membasuh dirinya. Banyu ingin berlama-lama di dalam, sekedar melepas penat di tubuhnya.

Selesai berpakaian, ia mengambil ponsel dan membaca pesan-pesan yang masuk. Tidak ada sama sekali pesan dari istrinya. Miranda dan buah hatinya menghilang tanpa jejak. Kesal rasa hati Banyu sudah sebulan tak ada kabar, tetapi pesan-pesannya pasti dibaca oleh istrinya.

Banyu membuka pesan lainnya, grup gereja. Ponsel jatuh dari tangannya, betapa terkejut Banyu mendapati pesan duka bahwa Margareth menjadi korban kecelakaan tunggal tadi siang setelah dari kantornya. Ia tidak menyangka akhir hidup Margareth begitu tragis.

Buru-buru Banyu menelepon teman lainnya yang ada dalam satu grup. Ia menanyakan dimana kini jenazah Margareth disemayamkan. Setelah mengetahui info nama rumah sakit tempat Margareth disemayamkan, Banyu melajukan kendaraan menuju lokasi.

Tidak ada teman mereka yang tahu tentang hubungan spesial antara Banyu dan Margareth. Hanya keluarga Banyu, entah dengan keluarga Margareth. Sebab Banyu belum sekalipun  berkenalan dengan anggota keluarga Margareth. Namun, hubungan itu telah putus tadi siang dengan kesepakatan bersama.

Sesampainya di lobi rumah sakit, petugas menunjukkan jalan menuju kamar jenazah. Telah banyak orang di sana, termasuk sesosok perempuan yang mirip sekali dengan Margareth.

"Bagaimana kronologisnya Pak Wahyu?" Setelah berbasa-basi sebentar Banyu menanyakannya pada teman segereja yang datang melayat.

"Masih simpang siur Pak Banyu kronologisnya, sedang ditangani pihak kepolisian. Tapi menurut saksi kecelakaan tunggal. Dari keluarganya tadi saya dengar begitu," jelas Wahyu.

"Ooh! Yang mirip dengan Margareth itu keluarganya, Pak?" Meski sebelumnya Banyu telah mengancang-ancang pernikahan dengan Margareth tetapi dirinya belum mengenal keluarga Margareth. Banyu merasa benar-benar pria yang labil dalam mengambil keputusan penting dalam hidupnya.

"Iya Pak Banyu. Saudara kembar mendiang." Banyu menoleh ke arah wanita yang mirip Margareth, bersamaan pandangan Banyu bertemu dengannya. Sedikit Banyu agak merinding, tatapannya mirip sekali dengan Margareth.

Banyu berjalan perlahan menuju arah perempuan kembaran Margareth dengan sewajarnya.

"Saya Banyu teman segereja Margareth. Turut berdukacita atas berpulangnya mendiang Margareth." Banyu memberi salam pada perempuan itu dan kerabat di sampingnya ditaksir usianya 50 tahunan.

"Terimakasih Pak Banyu," ujar perempuan paruh baya itu, Banyu menduga itu adalah ibu atau tantenya mendiang. Ia tampak menangis dan terisak.

Banyu masuk ke dalam ruang jenazah dan mendekat. Jasadnya sudah dikeluarkan dari kantong jenazah dan ditaruh dalam peti. Malam ini juga mereka akan membawa pulang dan esok hari akan dikebumikan.

Margareth, betapa pilu kepergian kamu. Maafkan aku telah menyakiti kamu. Aku mendoakan keselamatan jiwamu. Semoga Tuhan mengampuni kita yang berdosa ini, mengampuni kamu oleh belas kasih Tuhan. Apa yang terjadi kenapa kamu bisa mengalami kejadian tragis seperti ini?

Banyu hanya bisa menyampaikan permintaan maaf dan doanya di dalam hati karena masih banyak orang yang berada di sekitarnya. Selesai itu, Banyu berpamitan untuk pulang. Wahyu menyampaikan bahwa esok siang akan ada Ekaristi* dilanjutkan pemakaman Margareth. Banyu berencana untuk menghadirinya.

Merebahkan diri di ranjang setelah membasuh diri sekali lagi, Banyu tidak bisa tidur. Ia dibayang-bayangi oleh memori Margareth. Kenangan dirinya dan Margareth tidak berhenti melintas. Banyu duduk dan memutuskan untuk berdoa. Ia mengakui dosanya, ia merasa dekat dengan Tuhan, kenyataannya begitu jauh.

Banyu melayani di gereja, malahan mengalami godaan duniawi. Tidak tertebak olehnya keinginan daging seperti ini akan menimpanya. Perlahan Banyu jatuh tertidur.

Pagi hari Banyu terbangun, masih terasa mimpi bahwa Margareth telah tidak lagi bernyawa. Banyu turun dari ranjang beranjak menuju balkon kamarnya. Cuaca sedikit mendung hampir-hampir gerimis. Banyu dilanda perasaan bersalah dan dosa.

Ia kembali masuk dan mengambil ponselnya kemudian menghubungi konselornya. Dirinya butuh teman bicara. Ia meminta pagi pukul sembilan untuk bertemu sebelum siang ia akan melayat ke rumah duka.

Karena masih pagi sekira pukul setengah tujuh, Banyu belum mendapat balasan. Tapi tidak mengapa bila ia melanjutkan dengan olahraga pagi, sarapan, dan mandi pagi. Meski sendirian, Banyu sebelum menikah terbiasa mengurus diri sendiri. Bahkan saat masih rukun dengan sang istri, dirinyanridak sungkan membantu Miranda perihal printilan rumah tangga.

Dengan semangat Banyu memasuki ruangan konselor, ia telah menyiapkan foto keluarganya di dompet. Dirinya hanya ingin bercerita tanpa ingin dinasehati. Sebab ia sendiri tahu bahwa dirinya salah akan tetapi melawan kehendak diri itulah perjuangannya kini.

"Halo Pak Banyu! Selamat datang, silakan duduk." Konselor menyambut ramah Banyu, mereka bersalaman kemudian duduk.

"Apa kabar pagi ini, Pak?" Ini bukan pertanyaan basa-basi sang konselor, melainkan kata pembuka menuju inti pembicaraan.

"Buruk! Saya merasa sangat buruk." Pengakuan Banyu.

"Bagaimana? Bapak ingin menceritakannya?"

"Margareth. Perempuan itu meninggal." Sedikit reaksi terkejut dinampakkan konselor, sejurus kemudian ia bisa mengendalikan dirinya.

"Saya turut berdukacita, Pak."

"Siang ini ia akan dimakamkan. Semalam saya tidak bisa tidur karena perasaan bersalah dan berdosa. Saya menyakiti perasaan banyak orang. Sebelumnya saya telah meminta maaf padanya untuk tidak lagi melanjutkan hubungan gelap kami. Apa yang harus saya lakukan?"

"Saya mengapresiasi keberanian Anda untuk mengakui diri sendiri dan memohon maaf pada mendiang... tadi siapa namanya?" Tanya konselor

"Margareth." Konselor mengangguk.

"Ada introspeksi diri yang baik. Saya bisa menyarankan Anda untuk menghubungi seorang Pastor untuk mendapatkan Sakramen Tobat dan atau mengikuti retret."

"Retret apa itu?"

"Tujuannya untuk mendapatkan ketenangan batin dengan cara mengundurkan diri dari kesibukan sehari-hari untuk sementara waktu."

"Oh, oke saya paham."

"Bagaimana kabar istri dan anak Anda?"

"Saya masih belum bisa menghubunginya sampai saat ini. Pasti ia sangat marah sekali kepada saya."

"Anda membawa foto keluarga Anda?"

Banyu mengelurkan dari dompetnya, foto lama dirinya dan kedua buah hatinya.

"Bila Anda memandang foto istri sekarang, bagaimana perasaan Anda?"

Banyu menatap foto, kilasan kenangan bersama sang istri dan anak berganti-ganti keluar masuk pikirannya. Kenangan kesabaran sang istri saat hidup apa adanya. Tidak mengeluh, dirinya terus mendukung pekerjaan suaminya. Kenangan kemarahan sang istri saat tanpa sengaja Banyu memecahkan vas bunga kesayangan istri, tapi tidak berapa lama merajuk sang istri kembali tersenyum.

Kenangan saat ia melahirkan buah hati mereka Ester dan Daud,  dengan cara pembedahan, bagaimana istrinya tertatih belajar jalan, kesusahan bangun dari ranjang, sampai kesakitan saat biusnya mulai habis.

Kenangan saat mereka berdua saling mencumbu mesra, dalam gairah suami dan istri. Saling memuja satu sama lain, tersenyum saling menggoda.

Sampai kenangan tangisan sang istri saat dirinya masuk rumah sakit karena kesakitan akibat usus buntu. Hingga tangisan luka sang istri sebulan lalu sebab ia memaksa menandatangani perjanjian cerai.

Banyu menangis mengingat semuanya.

METANOIA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang