18. Ditinggal Umi

81 9 2
                                    

#18 Bab 18
Demi kenyamanan Hasna, Gus Dafi tetap menghubungi Kang Supri. Sang gus hanya molor lima menit lagi untuk keluar dari kamar. Namun, saat ia menuju teras rumah, lelaki itu tidak mendapati satu mobil pun yang menunggunya seperti kata Umi Aina. Tadinya, ada lima mobil yang berderet untuk keberangkatan keluarga besar Pesantren Al-Islam.
"Ditinggal, Gus," sesal Hasna begitu tiba di teras. Ia terduduk lesu seraya meletakkan hand bag pada meja.
"Huf! Kayak rombongan pesawat aja?" gerutu Gus Dafi. Padahal hatinya riang gembira. Ia jadi punya kesempatan berdua lagi dengan Hasna. "Malah nggak ditanya-tanya Umi, 'kan?" hibur Gus Dafi.
"Iya, sih. Tapi, nggak enak aja sama Umi."
"Umi bener-bener pengertian," bisik Gus Dafi gagal menahan kekehannya.
"Kok, malah cengar-cengir, sih!" Hasna mencubit perut lelaki itu, kesal.
Kang Supri datang sambil tergopoh-gopoh sejak memasuki gerbang rumah. Ia tidak menjawab panggilan Gus Dafi tadi. Lelaki itu hendak mengantar pesanan snack dan kopi ke Jepara. Namun, baru saja keluar dari lingkup pesantren, ia mendapati panggilan dari sang gus.
"Ngapunten, Gus. Tadi kulo silent."
"Kalau gitu, biar kita muter Jepara dulu, baru antar saya ke Demak."
"Nanti Jenengan telat, nggak, Gus? Kulo antar aja dulu."
"Nanti kalau anter snacknya telat, saya yang rugi."
Hasna dan Gus Dafi pun berangkat tanpa rombongan. Keduanya duduk di jok bagian tengah. Di jok belakang terdapat tumpukan dua puluh kardus berisi macam-macam keripik produksi rumahan yang dikemas kekinian. Delapan kardus di dekat jok kemudi dan dua kardus lagi di bawah tempat duduk Gus Dafi dan Hasna.
Usaha sang gus yang ditekuninya sejak masih bujang, sudah berjalan lancar. Keripik dan kopi dikirim berbagai daerah. Jika jaraknya memungkinkan, hasil produksi rumahan itu diantar langsung oleh supirnya. Tentu dengan jumlah minimal pesanan yang ditentukan. Awalnya, ia menawarkan keripik maupun kopi kepada para alumni pesantren yang tersebar diberbagai daerah. Kini sang gus sudah memiliki lebih dari lima puluh pelanggan tetap di berbagai daerah dan tiga puluh pelanggan tetap di sekitar kota Rembang. Belum lagi, setiap harinya lebih dari seratus kemasan ludes di koperasi pesantren.
"Sebaik-baik suami adalah yang paling banyak ngasih duit ke istrinya ...." Sejak Gus Dafi mendengar petuah tersebut dari kiainya ketika mesantren dulu, ia pun bercita-cita memiliki usaha sendiri sebelum menikah.
Namun, jangan ditanya. Kalau Gus Dafi sudah membuka kitab, lelaki itu betah begadang hingga dini hari.
"Wes, to, ngaji yang sungguh-sungguh. Nanti, kan, kalau kamu buka kitab, itu keluar duitnya." Pesan dari Kiai Hasan juga sang gus terapkan dalam kehidupannya.
Hadiah dari sekali undangan pengajian saja, cukup bagi Gus Dafi untuk nafkah istrinya selama satu bulan. Namun, bukan mencari dunia sebagai tujuan utama. Tanda ilmu itu makbul, pasti ada barokahnya. Untuk mendapatkan barokahnya, tentu dengan kesungguhan.
Cari nafkah itu tidak dilarang, yang tidak boleh adalah berharap kepada manusia. Sedangkan, menghilangkan kebodohan itu wajib. Prinsip sang gus tersebut sudah mendarah daging. Kini ia mulai memetik buahnya.
***
Hasna mendongakkan wajah memandangi Gus Dafi. Saling tatap beberapa detik itu, menerbangkan ruhnya ke langit. Napasnya seakan-akan tertahan. Sampai suara-suara mulai terdengar di telinga, Hasna baru memalingkan pandangan.
"Hah!" desis Hasna masih terbengong. Ia kemudian melepas cekalannya dari pundak Gus Dafi.
Teringat hal itu sewaktu di rumah Umi Aina tadi, sungguh membuat dirinya membayangkan tengah mengacak-acak rambut sendiri. Kini Gus Dafi berada di sisinya. Pria yang membuat Hasna merasa dipermalukan oleh diri sendiri itu, sedang tidak melihat ke arahnya. Hasna curi-curi pandang lagi. Pandangan wanita itu jatuh pada unfuqoh alias rambut tipis yang tumbuh tepat di bawah bibir Gus Dafi, bukan jenggot. Selama perjalanan, ia suka sekali memperhatikan gerakan monoton sang gus ketika terdiam. Yaitu, gerakan jari-jari Gus Dafi yang mengetuk-ngetuk lututnya, karena terhanyut oleh alunan salawatan yang diputar Kang Supri.
Gus Dafi melepas anak panah lagi lewat hujan senyumannya, saat memergoki Hasna yang diam-diam memandangi lelaki itu.
"Suka, nggak, sama salawatannya?" Gus Dafi mencairkan situasi.
Hasna salah tingkah. Ia menutupi wajah dari samping dengan tangan. Wanita itu menggeleng cepat.
"Nggak!" katanya sedikit menyentak.
"Ya Allah ... kok, nggak, bilang? Dari tadi saya enak-enakan dengerinnya. Ganti, Kang Supri!"
"Nggih, Gus."
"Mau salawatan yang klasik atau kekinian?" Gus Dafi menawarkan lagi. Sang gus lebih menyukai yang klasik alias yang ditabuh dengan rebana.
Sebetulnya, Hasna suka-suka saja tadi. Hasna tidak begitu menyadari apa yang ditanyakan suaminya itu. Selama ini wanita tersebut terlalu sering memberi jawaban penolakan terhadap Gus Dafi. Sampai-sampai lidahnya terbiasa dengan kata-kata "nggak".

"Alfi Laila Wa Laila, Mas." Hasna bicara menghadap kaca. Padahal, judul lagu yang disebutnya bukanlah salawatan. Melainkan lagu gambus Arab.
"Apa itu?"
"Masak Jenengan nggak tau, sih, Mas?"
"Yang di-cover Alma itu, ya, Ning?"
"Tuh! Kang Supri aja tau!"
Gus Dafi terkekeh, merasakan hawa-hawa kesal istrinya. Ia mengerti, Hasna ingin menutupi rasa malunya karena terpergok curi-curi pandang terhadap sang gus tadi. Lagi pula lelaki itu memang lebih suka salawatan klasik, yang kebanyakan dibawakan oleh vokalis laki-laki. Mana dirinya tahu siapa yang disebut-sebut sang istri.
"Kalau ada, setel aja, Kang."
"Nggih, Gus."
"Apa tadi? Alfi li--"
"Alfi Laila Wa Laila," sahut Hasna.
"Artinya apa, ya?" Gus Dafi mencondongkan kepalanya lebih dekat ke arah Hasna, hendak mendengar jawaban dari sang istri.
"Seribu satu malam, Mas ...."
Gus Dafi terkekeh sejenak, panggilan untuknya mulai terdengar mesra lagi.
"Apa?" Gus Dafi ingin mendengar suara Hasna menyebut panggilan itu sekali lagi.
"Seribu satu malam, Gus ...." Hasna geregetan.
"Yah ... berubah lagi!"
***
Jangan ditanya siapa yang paling terlambat datang di kediaman Mbah Jari? Hasna dan Gus Dafilah pemecah rekornya. Sebab, mereka harus belok ke Jepara dulu. Rumah paman dari Kiai Hasan itu, sudah penuh dengan sanak famili yang datang sejak satu jam lalu.
"Tola'al badru! Tola'al badru!" canda Mbah Saripah, istri Mbah Jari setengah menyeru, menggoda Gus Dafi dan Hasna yang baru turun dari mobil. Mbah Saripah memang sengaja menunggu-nunggu di pintu masuk.
Hasna dan Gus Dafi datang hampir menjelang Zuhur. Biasanya setiap acara-acara besar pesantren, Kiai Hasan akan disambut dengan salawat badar tersebut. Kini mereka berdua yang sedang diledek oleh Mbah Saripah.
Hasna menutup wajah dengan ujung pashminanya, menahan malu. Ia menahan tawa juga. Wajahnya memanas seketika. Wanita itu menunggu sang suami agar berjalan beriringan, meskipun nantinya mereka akan melewati pintu yang berbeda.
"Wah ... Dik Dafi klimis amat," gumam seseorang yang kemudian memandangi dirinya. Ia hanya mengenakan celana panjang, kemeja berwarna putih dan songkok hitam. Padahal, dulu dirinyalah yang diperhatikan sedemikian rupa oleh Hasna.

Suara dari LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang