23. Kembalinya Gus Amin

162 11 1
                                    

#22 Bab 22
Apa yang ingin Hasna ingat dari masa lalu? Itu yang menjadi pertanyaan hati Gus Dafi. Pertanyaan yang sebelumnya sudah ia abaikan. Namun, pikiran lelaki itu seperti diserbu penyusup yang bermuara pada rasa cemburu gara-gara ocehan Gus Amin.
Hasna terpaku di kejauhan dengan perasaan was-was. Pandangannya fokus kepada sosok Gus Amin. Ia baru mengalihkan penglihatan setelah mantan suaminya itu meninggalkan Gus Dafi.
"Mas Dafi," gumamnya lirih seraya buru-buru menghampiri.
Sepasang mata yang terus memandangi Gus Amin tadi cukup mengoyakkan hati Gus Dafi. Pandangan wanita itu, bahkan seolah-olah memberi jawaban tentang siapa yang dicintai olehnya.
Gus Dafi terduduk dengan wajah tegang. Ia melepaskan peci, kemudian menyingkap rambut sesaat. Sedikit demi sedikit lelaki itu melengkungkan bibir, menyambut Hasna yang mendatanginya.
"Udah dipesan?" Diam-diam Gus Dafi mengelus dada, menenangkan diri. Ia sedikit membungkukkan badan, hingga Hasna tidak melihat gerakan tangan sang gus di balik meja.
"Sebenernya ... Jenengan lagi pura-pura senyum, ya, Mas?" Hasna menerka kepada pria yang tengah menopang dagu di hadapannya.
"Sesering apa kamu dulu ke sini?" Gus Dafi bersedekap kemudian menyandarkan punggungnya.
"Hampir setiap pasar ini buka ... saya ke sini, Mas." Hasna tampak takut-takut menjawab. Barang kali, pertanyaan sang suami ada hubungannya dengan kedatangan Gus Amin tadi.
Gus Dafi manggut-manggut. Ia bahkan mengelus dagunya, membuat lawan bicara kian tak berkutik. Lelaki itu menarik napas, kemudian menaikkan kedua alis.
"Bisa klop banget sama Mas Amin. Makanya Mas Amin sudah hapal," bisik Gus Dafi dibarengi tatapan curiga.
Hasna sendiri merasa tidak ada yang salah pada dirinya. Menurutnya, mungkin kedatangan Gus Amin yang membuat sang suami tampak tidak ceria lagi. Ia juga berusaha bersikap hati-hati. Perempuan tersebut tak mau membuka pembicaraan mengenai Gus Amin lebih dulu, khawatir acara jalan-jalan saat ini jadi tidak bisa dinikmati.
Hidangan yang ditunggu-tunggu datang. Semua tampak disuguhkan dengan sederhana. Wadah-wadah makanan tak luput dari dedaunan dan peralatan makan terbuat dari tahan liat. Mungkin, begitu gambaran kehidupan orang-orang zaman wali songo.
Asap mengepul berasal dari kuah kelo mrico alias sup ikan pesanan Hasna. Wanita itu begitu bersemangat melihat pemandangan potongan warna-warni cabai yang pedasnya seakan-akan sudah terasa membakar lidahnya. Ia mulai memindahkan kepala ikan sembilang tersebut beserta potongan rempah-rempahnya, pada piring yang berisi nasi. Hasna mengunyah dengan lahap. Perpaduan rasa pedas cabai dan merica benar-benar jedag-jedug di mulut perempuan itu. Pada suapan ketiga, Hasna mengurangi kecepatan kunyahannya. Padahal, tak peduli seberapa panas makanan tadi, ia begitu cepat menyantap.
Gus Dafi tampak tidak berselera. Lelaki itu sibuk mencampurkan bumbu sate srepeh pada nasi, tetapi tak kunjung menyantapnya. Tiba-tiba saja lidah pria tersebut seakan-akan terasa pahit, sepahit rasa cemburu yang mendera.
"Makannya yang semangat, Mas. Katanya tadi laper?" bujuk Hasna, melirik Gus Dafi.
"Mau makan, takut kepedesan," kata Gus Dafi yang malah meletakkan sendoknya.
"Itu bumbunya bening begitu, nggak merah sama sekali." Hasna sedikit menekan bicaranya, kemudian menyendok lagi nasi dan suwiran ikan sembilang. "Masak mau disuapin, Mas. Tangan Jenengan, kan, udah sembuh," imbuh Hasna.
Gus Dafi melengos kesana-kemari. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk tak tenang. Posisi duduk lelaki itu diubah-ubah.
Hasna ingin cepat-cepat menghabiskan makanannya. Hati perempuan tersebut turut tidak tenang. Ia jadi bertanya-tanya dalam hati mengenai apa yang dikatakan mantan suaminya tersebut, hingga Gus Dafi tampak memendam banyak hal saat ini.
"Terakhir kamu ke sini ... berapa bulan yang lalu?"
"Udah setahun lebih, Mas. Dulu sering ke sini sama temen-temen ustazah," ungkap Hasna menatap lelaki itu.
Wajah sang gus pendar seketika. Matanya yang mengerjap-ngerjap, kini terlihat bersinar-sinar lagi. Betapa leganya Gus Dafi mendengar jawaban wanita berpakaian serba ungu itu.
"Hasna ...."
Sang gus meraih tangan Hasna di atas meja. Matanya seakan-akan menyelam pada sepasang mata nan indah menawan. Ia sangat ingin menembus indera penglihatan itu, hingga dapat menemukan hati sang istri untuk kemudian disimpan.
Hasna turut tercenung. "Ya Allah, Mas. Jangan ngeliatin saya kayak begini," bisik istri Gus Dafi tersebut sambil perlahan meletakkan sendoknya. Sedangkan, kedua matanya melirik-lirik pada indera penglihatan Gus Dafi.
"Gimana perasaan kamu ke saya sekarang ini? Apa ... perasaan kita sudah sama?" Tatapan sang gus semakin jeli, penuh paksaan.
Memaksa jantung Hasna bekerja lebih keras. Tak hanya itu, paru-paru wanita itu seperti sulit dilewati oksigen. Ia menahan napas. Akalnya masih menolak bunga-bunga yang bermekaran di hatinya. Banyak benang kusut yang harus ia urai sebelum wanita itu yakin.
"Hah!" Hasna mengembus napas kasar, kemudian meloloskan tangannya dari tangan Gus Dafi. Ia tersenyum jengah, melirik lelaki itu.
Hasna meraih air mineral kemasan botol, ingin segera meneguknya. Perempuan itu mengupas segel tutup botol dengan susah payah. Ia sendiri bingung. Kenapa dirinya malah bertingkah aneh seperti itu? Hasna tidak pernah merasakan bagaimana seorang pria menembak hatinya dulu. Wanita tersebut yang bahkan menyatakan perasaannya di hadapan orang banyak. Jauh sekali situasinya dari yang sekarang.
Tanpa kata. Gus Dafi tidak tahan melihat kesulitan wanita itu. Ia meraih botol minuman miliknya, kemudian membukakan untuk sang istri.
Hasna meneguk air minum tanpa jeda, hingga tersisa separuhnya. Ada apa dengan rumput yang bergoyang? Kenapa tiba-tiba tampak menari-nari seperti hatinya?
"Saya harus gimana biar kamu tertarik sama saya?" Gus Dafi menunduk seraya melengos, sedikit kecewa.
Hati Hasna tersentak, kemudian bibirnya berdesis. Serumit itu ia membuka hati. Wanita tersebut sudah, bahkan sangat tertarik. Akan tetapi, ada benteng keraguan yang membuatnya sulit membalas cinta seseorang seperti dulu.
"Bu-bukan Jenengannya, Mas. Tapi, saya." Hasna memberanikan diri membuka mulutnya. Ia menunjuk diri di hadapan sang suami.
"Kamu atau perasaan kamu?"
"Jenengan sudah sempurna bagi saya, Mas."
"Tapi?" Gus Dafi menajamkan penglihatan, semakin serius.
"Tapi, entah ini trauma atau apa, saya juga nggak ngerti. Ada ketakutan yang membentengi saya," ungkap Hasna.
"Ketakutan seperti apa, Hasna? Kamu akan saya lindungi, bahkan dari kejahatan saya sendiri. Selama ini, saya juga begitu menyayangi kamu. Lantas apa yang membuat kamu ragu?" desak Gus Dafi mendekatkan wajahnya.
Hasna menghela napas pelan. Ia mengangguk, membenarkan perkataan sang suami seraya menaikkan kedua alis, tampak kepusingan. Perempuan itu begitu bahagia, bahkan sangat bahagia setiap kali bersitatap dengan Gus Dafi.
"Saya sulit membedakan perasaan saya sendiri. Apa itu cinta, atau hanya sekadar perasaan memiliki?"
"Kamu milik saya, saya milik kamu dan saya mencintai kamu. Kamu tidak perlu rumit-rumit memahami diri kamu."
"Masa lalu yang membuat diri saya menjadi rumit, Mas. Jenengan tau, kan, apa balasan seseorang yang hari-hari menerima cinta dari saya?" Hasna menitikkan air mata. "Saya jadi takut mencintai, takut berkorban, bahkan sekadar mengakuinya saja harus mempertimbangkannya, Mas."

Suara dari LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang