15. Saya akan Menunggu

80 8 2
                                    

#15 Bab 15
"Saya akan menunggu kamu, sampai kesenangan kamu adalah menyenangkan saya."
****
"Saya bener-bener butuh pencerahan."
"Maksudnya, Mbak?"
"Ya ... setelah kamu menikah dua kali ini, pasti kamu sudah banyak pengalaman. Dan saya ingin mengikuti cara-cara kamu itu. Hasilnya ... keliatan luar biasa. Siapa tau ... saya bisa ngikutin jejak kamu."
Hasna menarik tangannya yang semula mengulur di atas meja. Ia terhenyak. Betulkah yang dikatakan wanita yang berada di depannya itu? Apa yang terlihat luar bisa? Bibir istri Gus Dafi tersebut getir seketika, setelah tersenyum hambar.
Setahu Hasna salah satu keponakan Umi Aina itu pernah mengalami keretakan rumah tangga. Namun, ia tidak mendengar lagi bagaimana akhirnya. Pandangan perempuan tersebut beralih sesaat, kembali memikirkan dirinya yang menikah tanpa cinta.
"Emang, kalau cinta sama orang itu ... kita yang banyak berkorban. Tapi ... belum tentu juga, hasilnya akan sesuai pengorbanan kita."
"Kecuali, cinta kepada Allah, Mbak."
Mbak Ila, namanya. Usianya tujuh tahun lebih tua dari Hasna. Di usia delapan tahun pernikahannya, ia telah dikaruniai tiga orang anak. Namun, suami wanita itu telah menikah lagi. Mbak Ila juga bersikeras bertahan karena anak-anaknya.
"Apa? Berarti ... nggak selalu punya anak itu bikin suami nggak ngelirik perempuan lain." Hasna menyimpulkan.
"Ya, kamu beruntung sudah lepas dari laki-laki yang tidak menjaga hatinya untuk kamu. Tidak ada pertimbangan soal anak, bahkan secepat itu mendapatkan pengganti."
Hasna tersenyum miris. Seberuntung itukah dirinya? Ia mengangguk seolah-olah menerima perkataan Mbak Ila.
"Tapi, poligami itu boleh aja, Mbak. Dan soal sakit hati, memang sakit. Namun, tergantung orangnya juga.
"Seperti saya waktu itu, setelah saya pikir-pikir ... benar juga ucapan Gus Amin dulu. Begitu menikah dengan dia, saya tidak menemui kesulitan apa pun. Baik dalam hubungan keluarga besar kami, maupun soal finansial. Ada ART yang membantu pekerjaan saya. Awal berpoligami memang berat, tapi lama-lama kami bisa saling menunaikan kewajiban."
"Namun, lain halnya dengan istri yang berjuang bersama dari nol. Secara ... saya sendiri tidak mentolerir laki-laki yang seperti itu. Dia sudah ditemani dari nol, bahkan kadang istrinya ikut banting tulang, tapi setelah sukses malah menggaet perempuan lain. Mungkin kalau saya diposisi perempuan tersebut, tidak pikir panjang lagi untuk menyudahi."
"Dan saya ada di posisi itu, Hasna." Mbak Ila menahan dada, seraya berderai air mata. Bicaranya bercampur sesak.
Hasna tercengang, tetapi tak sanggup berkata. "Beginikah Umi, saat begitu menginginkan saya menyudahi pernikahan saya dengan Gus Amin?" bisik wanita itu. Hasna mengelus-elus punggung Mbak Ila.
Ada orang-orang yang merasakan sakitnya, tetapi Mbak Ila sendiri bersikeras bertahan. Ia melakukannya demi anak-anak. Perempuan itu menginginkan akhir yang manis seperti kisah Hasna.
"Apa yang baru saya katakan, saya tidak menemui kesulitan dalam pernikahan? Justru kesulitan itu datang juga hingga rumah tangga saya kandas." Hasna berbisik dalam hati.
Ucapan wanita itu sendiri yang membuat dirinya sedikit demi sedikit membuka pikiran. Ia bahkan baru saja memberikan saran kepada Mbak Ila. Hasna ingin perempuan tersebut meninggalkan suaminya.
Menurut Hasna, istri yang banyak ikut susah payah bersama suaminya tidak layak diduakan. Baginda Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam saja, berpoligami setelah istri pertama beliau wafat. Dalam kisahnya, bahkan Sayyidah Aisyah begitu cemburu terhadap Sayyidah Khodijah. Hal tersebut menunjukkan sampai sang istri pertama wafat pun, Baginda Rasulullah masih menunjukkan rasa cinta terhadap Sayyidah Khodijah.
"Apa yang membuat kamu bertahan waktu itu? Saya dengar kamu sampai diperlakukan tidak adil."
"Saya tidak mau mendengarkan siapa pun. Sekalipun mengabaikan mereka yang peduli, juga menyakitkan saya."
Namun menurut Hasna, untuk Mbak Ila lebih baik menjemput kebahagiaan lain. Tidak melulu menyakiti diri, walaupun anak-anak sebagai alasannya.
Sampai pada titik di mana Hasna mendapatkan pria seistimewa Gus Dafi. Itu menurut orang-orang di sekelilingnya. Padahal, entah. Ia sungguh tidak menyusun skenario apa pun dalam rumah tangganya yang kedua tersebut. Meski demikian, banyak faktor yang membuat wanita tersebut merasa berat untuk menjalani sebagai mana mestinya.
***
Entah bagaimana pun nanti, mencoba kehidupan yang baru tidak ada salahnya. Bisa jadi kebahagian akan didapatkan di sana. Akan tetapi, bagaimana pun kesulitan itu datang, semua akan menjadi mudah jika menjalaninya dengan mendekat kepada Yang Maha Kuasa.
Hasna tersenyum kecut, bahkan wajahnya tampak serius. "Apa, iya, Mbak? Orang seriusan kayak Gus Amin aja ... nggak disangka--" Wanita itu teringat dialognya dengan Mbak Ila.
Hasna melirik beberapa kali kepada sang gus yang terlelap beberapa menit lalu. Hatinya terus saja berbicara. Antara ingin turut menerima pendapat orang lain, atau memenangkan pemikirannya sendiri.
Haruskah Hasna menerima kebenaran, bahwa tidak ada yang lebih mengerti tentang dirinya saat ini selain Gus Dafi? Ada kecemasan yang melanda setiap kali ia hendak menyerahkan diri begitu saja.
"Saya selalu melihat kamu tidak serius dalam hal apa pun. Kecuali untuk menikahi saya. Apa saya harus akui itu dan percaya sama kamu, Mas?"
Hasna terisak dan berusaha meredam suaranya sendiri. Hal itu yang dilakukan wanita tersebut selama ini, hingga dua minggu pernikahan. Tepatnya setiap menjelang tidur, di mana Gus Dafi sudah terlelap.
Sampai pada malam itu, isakkan halusnya membangunkan Gus Dafi.
"Tapi sampai kapan saya akan menumpuk dosa untuk tidak menunaikan hak kamu?" Kalimat yang didengar Gus Dafi membuatnya bangkit dari tempat tidur.
"Hasna?" Gus Dafi terduduk. "Apa ada yang menyusahkan kamu hari ini?"
"Jenengan pasti udah denger, Mas." Lelehan panas masih meluncur deras. Hasna menghadap jendela kamar. Ia sengaja membukanya, agar dapat berbicara dengan suasana malam.
Tiba-tiba angin bertiup cukup kencang. Gus Dafi cepat-cepat menutup jendela. Saat itu, air mata Hasna terlihat jelas meski di bawah bayangan gelapnya malam.
"Apa yang menjadi kesusahan kamu, juga kesusahan saya." Gus Dafi mendekati wanita yang masih mematung di depan jendela, dari belakang. Ia membisikkan kata-kata untuk menenangkan istrinya.
Hasna mengapit lagi mutiara-mutiara dari matanya.
"Kamu bisa membaginya dengan saya. Karena bagi saya, kamu adalah saya. Saya ridhoi kamu selama ini. Bagaimana pun sikap-sikap kamu ke saya, bahkan saya minta maaf jika saya menjadi beban bagi kamu, Hasna.
"Kasih tahu saya, gimana caranya membahagiakan kamu. Karena jika saya hanya menerka-nerka, saya khawatir malah menyakiti kamu."
Hasna terus menyimak seraya berpesta bersama air mata.
"Kita bisa mulai dengan berteman, Hasna. Kamu inget, kan, waktu kita kecil dulu, kita sering musuhan?"
Tiba-tiba rintik hujan meramaikan heningnya ruangan itu. Semula hanya terdengar bisikan Gus Dafi.
Sang gus merapatkan lagi bibirnya ke daun telinga Hasna. Sebab, hujan yang semakin deras menenggelamkan suara lelaki itu.
"Kamu tidak perlu menyakiti diri kamu, dengan memaksakan diri untuk menggembirakan saya. Lakukan apa pun yang kamu bisa."
Salah satu mata Gus Dafi turut menumpahkan air mata, kemudian ia berkata, "Saya akan menunggu. Saya akan menunggu, sampai kesenangan kamu adalah menyenangkan saya."
Tangan Gus Dafi menelusuri siku-siku Hasna, hingga merapat pada pergelangan tangan wanita yang tengah bersedekap itu. Menghangatkan tubuh yang sempat terhembus angin tadi.
Bahu Hasna bahkan sedikit terbasahi oleh air mata Gus Dafi.
Sang gus juga merasa berat. Namun, ia juga berusaha lebih berbesar hati demi mengayomi sang bidadari.

Suara dari LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang