Bagian 2

7 2 0
                                    

Hari-hari berikutnya berjalan seperti biasa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hari-hari berikutnya berjalan seperti biasa. Aku adalah mahasiswi semester satu yang berkuliah di kampus swasta yang ada di Bandung. Saat ini, mengerjakan tugas mata kuliah di perpustakaan adalah hal terbaik, saat di luar sana hujan sedang mengguyur kota. Tapi, konsentrasi ku terganggu dengan sedikit keributan di bangku belakang. Aku berbalik dan melihat beberapa orang pria sedang merebutkan sebuah buku.
 
"Aku tebak, itu adalah buku berisi contekan atau jawaban tugas yang akan dikerjakan oleh mereka, dan mereka sedang merebutkan siapa yang akan menulis jawaban itu duluan," ucap ku pelan sambil tertawa kecil. Aku kembali berbalik, dan fokus mengerjakan tugasku sendiri.
 
30 menit kemudian aku telah menyelesaikan satu tugas milikku. Setelah ini aku masih punya banyak waktu. Aku akan istirahat sebentar, mungkin dengan membaca sebuah buku ringan, lalu kembali melanjutkan mengerjakan tugas yang lainnya. Aku beranjak ke bagian buku-buku cerita sejarah, novel, atau majalah-majalah.
 
Mata ku menangkap sebuah buku dengan sampul ungu dideretan buku-buku dengan sampul putih. Tangan ku terangkat ingin mengambilnya, tapi seseorang telah lebih dulu menariknya dari sisi kanan. Ketika buku itu terambil, otomatis ada celah yang terbentuk. Aku dengan langsung bisa melihat wajah orang itu, kami bertatapan.
 
Mata itu, alis itu, hidung itu, aku kenal. Aku merasa déjà vu, aku seperti pernah melihat orang ini sebelum ini. Orang itu tersenyum, dia pergi. Aku kira dia pergi dari hadapan ku dan ketempat lain, ternyata orang itu malah memutar rak buku yang tinggi dan besar itu untuk menuju ke tempat aku berdiri.
 
"Ketemu lagi. Kamu lupa saya?" Tanya pria itu. Ah, aku langsung mengingatnya. Orang yang selama ini menghantui pikiran ku, dan yang selalu membuat ku betanya-tanya kapan aku akan bertemu lagi dengannya. Rupanya kita bertemu lagi dengan cara seperti ini.
 
"Ah iya, tentu saya ingat kamu. Di depan kafe pluto. Kamu yang hari itu saya tabrak kan. Dan juga, saya tidak lupa minuman saya yang tumpah mengenai baju kamu. Ah, saya sangat panik saat itu, dan nge-blank, jadi saya ngga tahu harus buat apa," aku membalas ucapannya dengan senyum tipis.

"Atau, saya ganti rugi saja ya. Em, kamu mau saya ganti rugi dengan apa?" Aku segera bertanya.
 
Orang itu justru tertawa kecil. Tawa yang malah membuat aku terhipnotis. "Gak usah ganti rugi. Saya gak masalah, hanya noda kecil di baju, udah dicuci dan sudah hilang nodanya. Omong-omong kita belum kenalan kan." Aku menyetujui ucapan pria itu. Dia segera memberikan tangannya."Nama saya Ardit, kamu?"
 
"Saya Naya. Kamu kuliah disini?"
 
"Engga, saya kesini dipanggil teman saya. Sekalian belajar dilingkungan baru." Masih mempertahankan senyumnya, pria dengan nama Ardit yang baru aku kenal itu menatap sekitar perpustakaan, lalu kembali menatap ku.
 
"Tapi, beneran gak apa-apa ya kalau saya gak ganti rugi, kak? Saya benar-benar ngerasa bersalah kak, gak enak hati kalau gini." Kembali ke topik pertama, aku mencoba membujuk Ardit agar aku bisa mengganti rugi baju yang telah—tidak sengaja—aku tumpahi dengan minuman ku.
 
"Kamu masih aja besikeras ya buat ganti rugi. Ya sudah, kalau gitu gimana kalau tukaran nomor telepon? Kan bisa pakai apapun?" Ardit sudah mengeluarkan ponsel nya untuk menekan nomor-nomor telepon ku. Sedangkan aku masih terdiam membeku.
 
Mimpi apa aku semalam bisa bertukar nomor telepon dengan orang yang selalu buat aku deg-degan setiap kali mikirin dia? Kenalan sama dia saja sudah membahagiakan, apalagi bertukar nomor. Aku tersenyum merekah, aku yakin pipi ku saat ini sudah memerah, blushing. Aku segera mengatasi rasa salah tingkah ini, dan menormalkan degup jantung ku. Selanjutnya, kami saling bertukar nomor telepon, dan juga sosial media.
 
"Semoga kita bisa berteman baik ya," ucap Ardit. Lalu dia pamit pergi, teman-temannya sudah memanggil dirinya untuk pergi dari kampus. Aku masih berdiri di dekat rak buku ketika Ardit berlalu dari hadapan ku, aku merasa dag-dig-dug. Kupu-kupu berterbangan di perut ku. Aku sangat senang, sangat bahagia. Jatuh cinta pandangan pertama? Entahlah.

__________________________________

__________________________________

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Our Story; Naya-ArditTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang