Accismus 02 | Ruang air merah

13 6 0
                                    

-4 maret akhirnya Mars dan Pluto bertemu setelah menghabiskan jutaan waktu saling menjaga jarak. Mars berada di magnitudo 1,2 sementara Pluto berada di magnitudo 1,5 yang disaksikan jutaan bintang di rasi Sagittarius. Kapankah kita seperti itu?

•••

Bicara perihal waktu mungkin tak akan pernah ada habisnya. Seperti embusan angin yang selalu menerbangkan banyak harapan tanpa sadar jika harapan itu tak akan jadi kenyataan.

Gadis yang terbaring di ranjang rumah sakit sejak seminggu yang lalu itu masih dalam keadaan yang sama. Bedanya gadis yang saat ini sedang berbaring bukanlah orang yang sama. Tepatnya ia adalah gadis yang dipaksa untuk bertukar posisi dengan kembarannya hanya karena sebuah kehormatan.

Kelopak matanya perlahan terbuka bertepatan dengan kedatangan enam orang pemuda yang masuk melalui pintu dengan heboh.

"Aku disek to sing, melbu!“ teriak Alpha yang berada di tengah pintu kamar inap Raina.

Pemuda itu berteriak heboh saat tubuhnya di apit oleh Antares juga Alif. Jika biasanya pintu hanya bisa dilewati satu orang namun, tak berlaku bagi ketiganya. Mereka yang memiliki prinsip 'Kalau ada yang susah kenapa harus mudah?'

"Heh! Kowe iki ra rumongso di enteni to piye? Mbok yo ngalah karo cah handsome," protes Antares tak terima.

Baginya seorang pria yang berdandan sangat lama hanya ada satu orang yakni, Alpha Centauri. Pemuda asal Klaten yang bercita-cita menjadi seorang Idol Korea.

"Najis bangsat! Ngalah kok karo anakan kadal. Sadar diri, Bro! Opo perlu tak tumbasno kaca?" balas Alpha. Hilang sudah harga dirinya sebagai pemuda khas Klaten jika gaya bahasanya berubah menjadi Jawa Timuran.

"Ngaca sono sendiri! Utang aja belum lunas gegayaan mau beliin gue kaca!"

"Dih! Situ udah gak punya beban hidup sampai ngurusin hidup saya?"

"Dahlah anjing! Buruan! Tuh, si pasien udah bangun tapi kalian malah ribut! Malu sama yang dibawah, katanya jantan tapi kok adu bacot, adu otot dong!" tegur Argan menatap tajam para kawannya sebelum melirik sekilas ke arah gadis yang terbaring di atas ranjang.

"Lo yang mulai ya!" tuduh Alif pada dua manusia minim akhlak itu.

"Udah stop! Kalau kalian masih mau ribut mending pergi. Kasian pasien lain terganggu sama kehadiran kalian. Udah fisiknya sakit jangan sampai batinnya ikut tersiksa." Argan kembali bersuara. Seperti biasa, menjadi seorang penengah dengan segala keotoriteran dan kalimat pedas sebagai bumbu kejulid-annya.

"Mampus!" ejek Alto yang sudah duduk manis di sofa dengan banyak camilan di pangkuannya.

Melihat itu ketiganya semakin heboh ketika melihat banyaknya makanan terlebih Alto menikmati jamuan tersebut dengan khidmat tanpa mau bertanya siapa pemilik makanan tersebut juga tak ada niatan menawari mereka makanan meski hanya sekedar basa-basi semata.

"Halo Rai, apa kabar?" sapa Antares tersenyum sopan saat matanya bersitatap dengan gadis yang menatapnya malas.

”Seperti yang lo lihat, gue masih bernapas dengan tenang sebelum kalian ngusik ketenangan gue dan ambil alih pasokan oksigen yang harusnya bersih.” Rentetat kalimat penuh sindiran keluar dari bibirnya membuat yang lainnya termangu.

Mereka semua berpikir apakah ini benar Raina? Aghata Nur Raina? Gadis dengan segala tingkah membosankannya sekarang berubah menjadi gadis bar-bar. Bahkan cara bicaranya berubah jauh dari sebelumnya.

”Lo ... Gak hilang ingatan 'kan? Cara bicara dan gaya bahasa lo beda banget dari sebelumnya.” Alif bertanya tanpa melihat situasi dan kondisi, ia bahkan berjalan masuk lebih dalam sebelum akhirnya menghempaskan badannya di samping Alto yang masih sibuk memakan jamuannya.

"Ye! Si bego. Mana ada orang yang ketabrak Pajero amnesia? Yang ada justru anemia," tukas Alpha menoyor kepala pemuda itu tanpa perasaan hingga membuat sang empu yang sedang minum es boba tersedak.

Uhhuk! Uhhuk!

"Anemia bapak kau kiper! Bisa mati muda gue bangsat kalau lo mainnya kasar!" umpatnya membalas perbuatan Alpha padanya.

"Btw, Rai. Kok ruangan lo kosong gak kayak seminggu yang lalu, ramai. Lo gak kesepian?" tanya Alto di sela kunyahan brownis coklat kesukannya.

"Gak perduli juga. Di jenguk sukur gak di jenguk bodo amat!"

Deg.

Mereka saling lirik sebelum akhirnya kembali mencairkan suasana setelah tahu jika topik kali ini begitu sensitif bagi gadis itu.

"Kok lo gitu, sih?" tanya Alto tak terima. Mungkin hanya pemuda itu yang tak mengetahui situasi dan kondisi saat ini.

"Ya terus. Intinya gue bismilah aja. Soal bisa atau enggak lillahita'ala," balasnya pasrah.

Jujur, pertemuan pertamanya dengan keenam pemuda ini membuatnya menghilangkan rasa canggung juga rasa tak nyaman saat salah satu pemuda yang sedang duduk tepat di samping ranjangnya menatapnya penuh selidik. Ia juga yakin jika pemuda itu adalah kekasih sang kembaran.

Aksara Nur Rinai terpaksa harus menggantikan kehidupan kembarannya untuk sementara waktu sampai seorang Aghata Nur Raina mampu beraktifitas kembali seperti sedia kala.

"Raina setelah gak sadarkan diri selama seminggu jadi rada aneh, ya. Mana gak jaim atau bersikap lembut kek biasanya waktu ada Askara," bisik Antares pada Argan yang mendengus tak perduli.

"Bener banget, anjir. Jangan-jangan otaknya ketuker sama Patrick bintang?" sahut Alpha yang tiba-tiba berada di belakangnya mengejutkan Antares hingga membuatnya mendapat hadiah sebuah pukulan penuh kasih  sayang.

"Ya! Ya! Bisa jadi! Bisa jadi," timpal Alif tak tahu diri.

"Bisa jadi, bisa jadi matamu picek a, cok!" umpat Argan kesal karena tiga pemuda idiot itu terus berisik dan itu sangat mengganggu.

"Sudah makan?" Askara bertanya dengan tatapan yang fokus pada ponselnya sebelum balasan singkat gadis itu membuatnya menengok ke arahnya sekejap.

”hmm.”

--••--

Setelah kepergian lima pemuda yang melarikan diri mencari makanan meninggalkan sepasang manusia yang sedang menikmati malam di atas rooftrop rumah sakit kala itu.

Rinai menghela napas pelan, memejamkan matanya dengan kedua tangan yang meremas pembatas pagar membiarkan angin malam menerpa lembut wajahnya. Menghiraukan tatapan kagum pemuda tampan yang berdiri tepat di sampingnya.

Merasa seseorang menatap lekat kearahnya membuatnya membuka mata, menatap balik netra itu sebelum akhirnya mendengus dan berniat melangkah pergi.

"Selangkah lagi lo pergi. Gue pastiin lo gak akan bisa bernapas dengan nyaman!" ancaman itu membuat langkah gadis yang berjalan membelakanginya berhenti namun enggan menengok.

Ia menarik sudut bibirnya kemudian tersenyum miring Melirik lewat ekor matanya sebelum akhirnya membalas ancaman tersebut dengan sebuah kata,"bacot."

"Shit!" umpat sang pria sebelum akhirnya bergerak maju, meraih pinggang gadis itu, lalu semesta menjadi saksi apa yang dilakukan dua anak Adam dengan genre berlawanan di bawah langit senja kala itu.

Cup.

"urīdu ʾan ʾakūna marḥaban al-mufaḍḍalah ladayk ūʾaṣʿabu wadāʿ bilnisbaẗi lak," bisiknya tepat sedetik setelah kecupan itu terlepas.

•°•°•°

ACCISMUS | NoveletteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang