06

41.3K 3.4K 36
                                    

Salwa melanjutkan langkahnya menuruni anak tangga, dengan perasaan canggung tentunya.

"Ya Allah ternyata selain Hani masih ada bidadari lain di rumah ini" celetuk Zidan yang langsung di tampol oleh Ilham.

"Your mouth harap di jaga, dia istrinya gus Raka. Ning Salwa." sahut Ilham mencoba menyadarkan Zidan.

"Cantiknya kelewatan sih ini" lanjutnya tak menghiraukan ucapan Ilham.

"Salwa butuh sesuatu?" Tanya Fatimah dengan lembut.

Salwa menggelengkan kepalanya "tadi Salwa denger ada ribut-ribut jadi Salwa turun umi." jelasnya singkat.

"Jerapah kaki dua ni emang biangnya" celetuk Ilham menyalahkan Zidan.

"Umiii" panggil Zidan dengan lembut tak menghiraukan Ilham yang berada di sampingnya.

Spontan Fatimah langsung menoleh ke arah Zidan "hmm"

"Nikahin Zidan sama Salwa, Zidan siap jadi suaminya lahir batin umi" pintanya memelas.

"Astaghfirullah,,, ya Allah ya karim, kamu liat itu Raka!" jawab Fatimah menghela nafas panjang sembari menunjuk ke arah Raka yang kini diam tak bersuara.

"Kenapa?" Tanya Zidan tak tahu

"Salwa ini istrinya Raka, nggak mungkin kan Salwa punya dua suami" jelas Fatimah yang membuat Zidan patah hati untuk ke sekian kalinya.

"Raka? Udah punya istri? Bidadari cantik gini mau sama Raka?" Pekiknya keheranan dengan perasaan kecewa.

"Mulutnya kalo ngomong,, suka bener." sahut Ilham menyetujui dengan acungkan jempol yang tak tertinggal.

*****

Sekarang sudah tepat pukul sepuluh malam, Salwa yang dari tadi hanya membolak-balikkan tubuhnya, kini mulai beranjak dari ranjang besar itu dan menuju balkon untuk menghirup udara segar, siapa tau dengan cara ini ia bisa mengantuk dan segera tertidur.

Terasa sangat sepi, padahal baru jam sepuluh malam, apa memang suasana di pondok memang seperti ini? Tidak ada santri yang lalu lalang, bahkan saat sehabis Maghrib saat ia berkeliling pondok bersama Hani ia tak melihat ada penjual makanan sama sekali.

Hanya ada Kantin di dekat aula yang hanya buka saat waktunya makan pagi, siang, dan malam, itu pun kantin yang memang di jalankan oleh beberapa pengurus pondok.

Salwa rindu suasana di Jakarta, biasanya jika ia tidak bisa tidur ia akan keluar dan berbincang-bincang dengan Ammi, tapi sekarang, ia bahkan tak tahu harus berbicara dengan siapa.

Salwa memincingkan matanya, mengamati sosok lelaki yang kini berjalan menuju ndalem.
"Itu Raka?" Gumamnya setelah melihat Raka.

Dengan cepat Salwa langsung berlari menuju ranjangnya dan menutupi dirinya dengan selimut , selang beberapa menit ia mendengar suara pintu kamarnya di buka.

Ceklek

Langkah kaki Raka terdengar begitu jelas, dan tentu saja itu membuat Salwa agak khawatir.
"Saya akan tidur di sofa, kamu tenang saja, lagi pula saya tidak tertarik sama sekali dengan kamu." ucapnya yang membuat Salwa terkejut dan membuka selimut yang menutupi tubuhnya.

"Sekarang kamu sudah menjadi bagian dari keluarga saya, kamu mengemban nama Al Irsyam sekarang, tapi saya ingatkan kamu,
Jangan pernah sekalipun kamu mengototori nama Al Irsyam dengan tingkah urakan kamu." lanjut Raka sembari menata bantal di sofa yang berada di dekat pintu menuju balkon.

"Mengotori?" Gumam Salwa yang masih tercengang.

"Mungkin saya memang wanita yang tak terlalu pintar dalam hal agama, tapi saya tahu batas saya, jadi kamu tidak perlu mengingatkan hal itu pada saya. Dan satu hal lagi, saya bukan wanita urakan seperti yang ada dipikiranmu itu." Sahut Salwa merasa tak terima

"Saya hanya tidak ingin nama baik keluarga saya tercoreng hanya karena tingkah laku kamu yang seperti perempuan urakan dan tak tahu batasan."

Astaghfirullah, ingin sekali rasanya Salwa mencakar wajah tampan Raka. Dengan gampangnya ia tidur setelah mengatakan hal barusan pada Salwa.

"Emang manusia dingin nggak punya hati." gerutu Salwa sembari menarik selimutnya kembali.

Sekarang matanya justru tak bisa terpejam, mendengar perkataan Raka barusan membuat hatinya tak nyaman. Ia ingin pulang, benar-benar ingin pulang.

Baru sehari ia tinggal di sini sikap Raka sudah begitu dingin pada Salwa, bahkan Raka dan Salwa tak bertegur sapa sejak tiba di Surabaya. Apa ini yang dinamakan suami istri?

"Bismillah semoga kuat" ucapnya menguatkan dirinya sendiri.

*****

Rasanya baru sebentar Salwa memejamkan matanya, adzan subuh sudah berkumandang. Bahkan Raka sekarang sudah tidak ada di kamar, entah kemana ia sepagi ini.

Tapi jujur saja, itu membuat Salwa bisa bernafas lega, dadanya selalu merasa sesak jika melihat Raka.

Tok tok tok

"Mbak, ini Hani"

"Masuk aja Han, pintunya nggak di kunci" jawab Salwa.

Hani masuk ke dalam kamar dengan mukena yang masih membalut tubuhnya.
" Mbak Salwa nggak shalat?"

"Mbak lagi udzhur Han"

"Haa? Mulai kapan mbak?"

"Kemarin sore sih, memangnya kenapa?" Tanya Salwa balik.

"Yahh , berarti nggak di unboxing dong sama mas Raka kemarin malem, ishh padahal kemarin malem aku udah nahan-nahan pengen ngobrol sama Mbak Salwa loh biar mas Raka nge unboxingnya bisa lama." ucapnya tanpa beban.

'Astaghfirullah apa lagi ini' gumam Salwa dalam hati

"Padahal Hani udah ngak sabar loh buat punya ponakan yang gemes gemes.
Pasti nanti lucu deh kalo mas Raka sama mbak Salwa punya anak, pokoknya judesnya mas Raka jangan sampek nurun ke ponakan ponakan aku yang imut-imut." lanjutnya antusias.

" Hani cepet berangkat ke masjid gih, keburu ketinggalan jamaahnya."

"Ya udah mbak, aku berangkat dulu ya, assalamualaikum" pamit Hani yang membuat Salwa lega.

"Waalaikumussalam"

Yang satu kalo ngomong pedesnya minta ampun yang satu kalo ngomong ceplas-ceplos kayak ngak ada beban. " beri kesabaran ya Allah" ucapnya lirih.

Salwa mengambil handuknya dan berjalan menuju kamar mandi, ya meskipun kamar mandinya ada di dalam kamar tetap saja ia harus berjalan kan.

Selesai mandi dan mengganti bajunya kini ia berjalan menuju dapur, siapa tahu ada yang bisa di bantu olehnya.

Ia kan harus tetap menjadi menantu yang di pandang baik oleh keluarga suaminya, benar kan?

" Ada yang bisa Salwa bantu umi?" Tanya ketika kedua bola matanya berhasil menangkap sosok Fatimah yang tengah mengiris sayuran di dapur.

"Loh, kamu ngapain ke sini? Harusnya istirahat aja dulu di kamar, nggak capek apa emangnya kamu?"

"Enggak kok umi, Salwa tenaganya kan banyak, kalo bantuin umi masak sih jelas masih kuat" jawabnya antusias.

Fatimah tersenyum mendengar ucapan Salwa, sebelumya ia bahkan tak membayangkan Raka bisa menikah secepat ini, ya kalian pasti tau lah Raka itu anaknya dingin jarang ada waktu buat kenalan sama cewek.

Sebelum ini bahkan ada rombongan keluarga yang datang untuk melamar Raka. Benar, melamar, meminta agar Raka menikah dengan putri mereka dengan bantuan pihak ke tiga, bahasa halusnya mereka ingin menjodohkan Raka dengan putri mereka.

Namun tentu Raka tak pernah memiliki keinginan untuk menerima perjodohan itu, karena ia tak ingin menikah dengan cara seperti itu.

Memang jalan takdir Allah tidak ada yang tahu.

Ra.Sa (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang