3 - Keranjang Kudapan

11 2 0
                                    

Langit nampak lebih muram daripada hari yang lalu, Thea segera bergegas mengambil keranjang kudapan di warung-warung sebelum badai menggagalkan kepulangannya. Beserta langkah yang berantakan dan terburu-buru, Thea lewat jalan pintas sebelah lapangan yang tembus ke kampung lain dan jaraknya cukup dekat dengan rumah.

Seperti biasa, selalu ada snack yang masih tersisa, beberapa kudapan manis seperti donat meses dan odading belum habis. Ketimbang kudapan itu tidak termakan bila dibawa pulang, Thea selalu memberikan kudapan tersebut pada beberapa orang yang ia temui di jalan. Tak lupa, bila Thea melewati jalan pintas, ia menyempatkan untuk memberikan donat pada beberapa anak yang berlarian dan lansia yang sering duduk di depan rumah saat sore hari.

Rupanya langit tak memihak Thea, baru beberapa menit berjalan, hujan begitu saja mengguyur jalanan dengan suara petir yang saling bertaut. Karena tidak mungkin Thea menebas hujan yang cukup lebat, ia memutuskan untuk berteduh di tukang tambal ban samping lapangan. Satu jam berlalu, nampaknya guyuran air hujan sudah menjadi rintik yang takkan membuat dirinya basah kuyup.

Sore itu Thea tak menemukan anak-anak berlarian maupun lansia yang biasa bersantai di depan rumah. Kampung yang ia lewati nampak sepi, dari kejauhan Thea sempat melihat rumah minimalis warna putih yang gordennya sengaja disingkap dan memerlihatkan kegiatan orang-orang di rumah tersebut. Ada sepasang suami istri yang sedang menyaksikan televisi dengan 2 anak yang duduk disamping mereka, yang satu sedang asyik membaca dan satunya lagi ikut menonton televisi sambil berlarian kesana kemari.

Tak terasa air matanya menetes tanpa permisi, rasanya cukup pedih bila membayangkan bagaimana kondisi keluarganya saat ini, terlalu banyak carut marut dan menyebabkan momen berkumpul, mengobrol, bahkan menonton televisi bersama adalah kemustahilan. Thea merindukan segala macam hal tentang keharmonisan, kehangatan, dan kebersamaan bersama keluarganya.

Sejak krisis 1998, saat usianya masih 5 tahun dan adiknya baru saja lahir, keluarganya mulai mendapati banyak permasalahan baik finansial, kebohongan, ataupun ketiakpantasan yang tak perlu dilakukan. Cukup lama Thea terdiam di depan rumah tersebut, sekitar 10 menit dan hanya memandangi keharmonisan yang semu baginya. Seorang lansia dari seberang jalan memanggilnya "Hei nak, penjual kudapan, kemarilah, aku ingin donat meses yang biasa kau tinggalkan di atas kursiku, kemarilah nak," ucap Oma Hulda yang melambai pada Thea.

Thea bergegas mengusap pipinya yang basah dan menghampiri lansia tersebut. "Hai nek, maaf ya, saya sering meinggalkan kudapan saya begitu saja di atas kursi nenek, kadang saya lihat nenek duduk disitu, namun selalu saja setiap saya akan menghampiri nenek sudah masuk, mungkin karena langit akan segera gelap," Lansia itu hanya memberikan senyuman manis, sungguh elok parasnya hingga Thea tiada henti menatap setiap garis wajahnya yang tegas dan bulu matanya yang lentik. "Ini kubeli semua ya, berapa total semua kudapan ini?"

"tidak usah nek, ini hanya kudapan sisa, bunda selalu berkata bila yang dijual tidak terjual, kita harus membaginya pada orang lain karena sudah takdirnya kudapan ini tak terjual nek," sahut Thea. "Baiklah, berikan aku kudapan yang biasa kau letakkan di kursiku, yang lainnya bisa kau berikan pada orang lain," ucap Oma. "Iya nek, maaf saya tidak bermaksud menolak rezeki," jawab Thea dengan mengulurkan kudapan tersebut, menutup keranjang, dan segera berpamitan pada Oma.

Sebelum Thea meninggalkan lansia tersebut, pundaknya sempat ditepuk-tepuk oleh si lansia sembari membisikkan "Nak, dirimu hebat, tetaplah jadi anak baik, apapun hal yang menekanmu, percayalah semua proses yang kau jalani akan berlalu pada suatu saat nanti, yang kau butuhkan hanya tetap tangguh, lekas bangkit bila terjatuh, dan belajar lagi bila gagal. Selalu ada jalan indah di masa yang entah kapan, jangan memutuskan untuk hanya menunggu, cobalah tetap jalan walau rasanya kau ingin berhenti dan tak melanjutkan lagi," Thea pun mengucapkan terima kasih, memeluk Oma yang bahkan tak sempat ia jabat tangannya untuk berkenalan. Thea segera berlalu dan melambai pada Oma karena langit sudah mulai gelap.

RUANG LIMINALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang