Tepat pukul 12 siang, Ata telah sampai di lapak si pedagang, seperti biasa, membawa setangkai lily dengan selipan surat untuk Thea. Sembari menunggu Thea, Ata menjual beberapa koran Thea yang dititipkan pada si pedagang. "Hati-hati kalau ingin kencan dengan gadis itu, kau harus siap dengan berbagai macam penolakan, dia tak suka ada hal menjijikan semacam cinta dalam hidupnya," bisik si pedagang pada Ata. "Kenapa kalian berbisik, ternyata kalian sama ya dengan gadis-gadis di pojok kantin sekolahku, ada saja yang hal yang perlu disindir hingga berbisik," Thea tiba-tiba muncul, dan duduk di kursi sembari melepaskan atribut sekolah seperti dasi dan ikat pinggangnya. "Bawakan sebentar, aku akan ke kamar mandi untuk ganti kostumku," ucap Thea sambil melempar dasi dan ikat pinggangnya pada Ata.
Setelah mengganti pakaiannya, Thea mendekati Ata yang telah menggenggam jimat utama, yakni Lily yang diambil dari pekarangan pribadinya. "Lily lagi? Sepertinya 14 hari yang kau janjikan ujungnya adalah panen lily ya," ucap Thea sambil sedikit tertawa. "Hanya lily yang kupunya, aku pun bigung harus membawa apa," jawab Ata. Thea menyentil dahi Ata dengan kedua jarinya, "bodoh, tak usahlah membawakan apapun, aku cukup senang kau menyempatkan waktu berhargamu untuk sekadar menemani keseharianku yang tak penting ini. kau rela menukar waktumu yang berharga dengan waktuku yang tak pernah kuanggap penting dan kubiarkan berlalu begitu saja." Kali ini Thea menunjukkan tawa yang cukup lama walau terhitung hanya 2 detik, namun baru kali ini Ata melihat tawa Thea di hadapannya karena sebelumnya ia hanya menguntit lewat jendela kamarnya saat Thea mengumbar tawa pada anak-anak di dekat rumahnya.
"Coba lakukan sekali lagi," Ata mencoba membuat Thea tertawa lebih lama dengan menggelitik pinggangnya sesekali. Respon yang diberikan Thea pun jauh di luar prediksi Ata, Thea mendorong tubuh Ata cukup kencang hingga Ata terhuyung ke gerobak pedagang. Kini, Thea nampak gemetar dan seperti ketakutan akan sesuatu, Thea duduk di ujung kursi dengan menggenggam tangannya sekuat tenaga dan menggigit ujung bibirnya hingga Thea pun tak sadar bila gigitannya menimbulkan luka dan meneteskan darah. Ata dibantu si pedagang untuk berdiri, pelan-pelan ia mengahmpiri Thea yang masih termenung dengan rasa takut dan gemetar yang semakin menjadi-jadi. Tangan, kaki, hingga tubuhnya pun bergerak tak beraturan. "Maafkan aku, pasti aku terlalu lancang karena menggelitik tubuhmu, aku hanya ingin melihat tawamu sedikit lebih lama," ucap Ata sambil mengampiri dan duduk di hadapan Thea. Ata pun mengambil sapu tangan dari kantong celananya, menempelkannya pada bibir Thea yang sudah cukup merah terlumuri darah. Thea masih tetap gemetar dan menunjukkan gelagat cemas bahkan sampai Ata selesai mengusap luka di bibirnya.
Pelan-pelan Ata mulai mengusap genggaman tangan Thea yang cukup erat, "Tak apa, seburuk apapun hal yang kau ingat saat ini, kau masih memilikiku, sejauh apapun kau menghempasku, aku akan kembali lagi ke hadapanmu, memastikan dirimu aman dan cukup tenang." Kaki Thea mulai terdiam, walaupun tangannya masih tergenggam erat, untuk kedua kalinya, Ata membuat Thea jauh merasa lebih tenang. Ata masih mengusap genggaman Thea dengan terus memandangi dan meyakinkan bila Thea dapat lebih tenang dan menghilangkan rasa cemasnya. Secara perlahan, genggaman Thea mulai terlepas, Thea yang semula menunduk pun kini beralih memandang Ata. "Terima kasih, maaf aku terlalu keras mendorongmu, apakah ada yang luka? Maaf sekali Ata tiba-tiba aku teringat hal yang membuatku tak nyaman. Kau tak salah, aku hanya tiba-tiba teringat sesuatu," ucap Thea sambil mengusap tangan dan pelipis Ata memastikan semua masih utuh tanpa goresan.
Memori gelap itu kembali menyelimuti,
Bahkan saat susana seharusnya senang hati.
Dua manusia yang bersetubuh beberapa tahun lalu,
Amat membekas tingkah bejatnya di benakku.
Hingga seorang lelaki tak sengaja menjadi pelampiasan,
Terhuyung cukup jauh ke pinggir jalan,
Atas memori yang tak lebih baik dari jin dan setan.
"Tak perlu khawatir, aku tak apa, bahkan kau sendiri yang terluka, lihat bibirmu itu, kencang sekali kau menggigitnya hingga banyak darah yang kau buang," ucap Ata sambil menyodorkan sapu tangannya kembali. Thea pun baru tersadar saat merasakan perih pada bibirnya, bodoh sekali tanpa sadar luka pada bibir Thea cukup dalam. Ata kembali mendekat ke hadapan Thea dan memegang kedua bahu Thea "gimana jagoanku? Sudah aman sekarang? Sudah lebih baik? Jangan kau anggurkan koran-koranmu itu, nanti kita pulang larut malam jika tetap disini dan tak berlari ke tengah jalan." Saat Thea mengangguk, seketika Ata meraih telapak tangan Thea dan menariknya ke tengah jalan, seperti biasa dekat lampu merah. Cuaca siang ini adalah cuaca yang cukup disenangi Thea, tak panas, tak hujan, lebih tepatnya mendung. Thea tak perlu sibuk mengusap keringat ataupun repot mengenakan jas hujan.
Dari seberang jalan, Ata terlihat cukup sibuk menawarkan beberapa koran sedangkan Thea beberapa kali terpaku melihat kesibukan Ata. "Untuk Apa semesta mempertemukanku dengan Ata, apakah Tuhan sedang memperlihatkan sisi indah dan suka cita miliknya? Dengan menghadirkan manusia semacam Ata untuk hidupku yang tak jelas arahnya. Kenapa Ata begitu sempurna dimataku? Saat Tessa dan Carlos selalu cerewet bertanya tentang masalah apa lagi yang kuhadapi, pikiran mana lagi yang kuselami, atau memori kelam mana lagi yang menghinggapi, Ata tak pernah sekalipun bertanya perihal apa yang terjadi. Namun, ia selalu memastikan diriku aman, cukup tenang, dan merasa lebih baik entah apapun penyebabnya, Ata tak pernah ingin tau. Sungguh amat elok ciptaan Tuhan yang satu ini, bahkan memikirkannya pun membuatku merasa damai." Thea masih saja termenung hingga pelanggan yang ingin membeli korannya pun menunggu cukup lama sampai ditekannya klakson dengan kencang dan sontak membuat Thea tersadar dari lamunannya.
"Jangan melamun di tengah jalan neng, saya nunggu daritadi ini sampai antrian kendaraan di belakang nampaknya sepi sekali," sindir pelanggan koran Thea. "Maaf pak, silahkan korannya, sekali lagi maaf ya pak," ucap Thea pada pelanggannya. Ata melihat Thea dari kejauhan dan segera menghampirinya, " kau tak apa? Apakah masih cukup sakit luka di bibirmu? Minggirlah, kau sebaiknya istirahat di dekat gerobak, biar aku yang melanjutkan," Ata menarik beberapa koran dari genggaman Thea dan mengantarkan Thea ke dekat gerobak. Sejak lamunannya tadi, Thea tetap terdiam, memandangi Ata dan tak sekalipun ia memberikan jawaban, hanya mengangguk dan menuruti arahan Ata. Nampaknya romansa benar-benar tercipta, hingga melamunkannya saja membuat wajah Thea cukup merona. Entah apa yang diinginkan Tuhan hingga manusia semacam Ata dihadirkan dalam hidup Thea, Ata seolah menjadi segala macam hal yang dibutuhkan Thea. Ata bukan hanya penyembuh lara, pembangkit asa, ataupun pahlawan barunya. Nyatanya, Ata hanya lelaki biasa yang terlihat luar biasa di hadapan Thea.
Di sisi lain, Ata melanjutkan tugasnya untuk menghabiskan koran dengan pikiran yang tiada henti karena melihat reaksi dan ekspresi Thea beberapa menit lalu. Trauma semacam apa yang dialami Thea hingga sekujur tubuhnya gemetar, bahkan luka pada bibirnya pun tak dirasakan olehnya. Ternyata memang tak mudah membuat Thea mengeluarkan tawa dengan sengaja, entah seberapa hampa kalbunya sampai tawapun direnggut oleh memori kelamnya. "Semoga kelak aku dapat membersamaimu dalam masa yang membuatmu bahagia dan lega Althea jingga drinata" gumam Ata sembari memandang Thea yang sedang mengusap sepatu di seberang jalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
RUANG LIMINAL
عاطفيةKatanya kita harus terus tumbuh walau nyatanya kita sedang runtuh. Althea Jingga Drinata, tak pernah membanggakan kisah yang ia jalani selama hidupnya. Satu - satunya yang selalu ia jaga dan miliki adalah Nara, Adiknya. Persetan dengan romansa palsu...