11 : SEPULUH PERSEN

233 44 19
                                    

Setelah mati rasa, ketika pulang tubuhnya membeku seketika.

Gio menelan ludah, meletakkan kunci mobil ke meja kaca ruangan Rean dengan hati-hati. Sebisa mungkin tidak terdengar suara, tetapi apa daya napasnya yang terengah kini mendominasi ruangan.

Rean yang menumpu dagu dengan kedua punggung tangan yang terlipat itu hanya menatap tajam, tanpa berbicara.

Jika ada salah satu ruangan di rumah yang paling Gio benci selain gudang, maka itu adalah ruang khusus yang dihuni oleh Rean. Tergolong kecil, dengan setiap sisi dinding yang dihiasi oleh lemari buku, bahkan Gio tidak tahu sejak kapan di sisi kanan sana menjadi jajaran berkas yang bertumpuk.

Bola matanya redup sesaat, begitu mendapati foto berukuran besar yang tertera di dinding belakang tempat duduk Rean. Keenam anggota keluarga dengan Rean yang terlihat masih duduk di bangku sekolah.

Hebat, ingin rasanya Gio mengakui jika saja situasinya bukan seperti ini. Di saat kuliah, ia belum menjadi apa-apa, sementara Rean pada saat itu sudah terlihat jauh lebih dewasa dan ahli dalam memimpin.

Gio memejamkan mata, Bagaimana bisa ia melampaui Rean jika dari awal saja semuanya sudah berbeda?

Abangnya itu dididik oleh Papa dan Mama jauh lebih lama, bahkan menghabiskan waktu bersama lebih banyak.

Ah, dan seingat Gio, sebelum segalanya berubah, peraturan rumah tidak seketat ini apalagi jika berkaitan dengan anggaran, tinggal meminta tanpa harus bersusah payah.

"Gue harap lo sedang menyesali apa yang barusan lo perbuat, bukan membanding-bandingkan hidup lo dengan hidup gue," ucap Rean, datar. Mata bundar itu hanya melirik kunci mobil yang ada di hadapan, tanpa niat mengambilnya.

Ketahuan. Satu-satunya cara, Gio hanya menahan napas, lalu menunduk agar Rean tidak dapat membaca ekspresi maupun sorot matanya.

"Lo tahu definisi kepercayaan?" tanya Rean, mengintimidasi.

"Di mana lo percaya dengan gue dan gue harus bertanggung jawab menyelesaikan tugas yang diberi," gumam Gio.

"Apa lo tahu? Nggak semua keberuntungan menghampiri lo. Mungkin saja, orang-orang yang lo temui sekarang masih bisa percaya berulang kali, tapi nanti?" Rean menatap lurus, tanpa mengubah posisi duduknya sedikit pun. "Kepercayaan bisa jadi begitu penting dan cuma bisa diberikan sekali."

"Bang," Gio mengangkat wajah, menatap pasrah. "ini cuma masalah mobil. Lagian gue tadi pakai untuk antar Nanta ke sekolah. Sesekali apa salahnya? Lo takut bensinnya habis? Memang berkurang, tapi nggak habis sepenuhnya. Kalau memang keberatan, bisa gue isikan sekarang."

"Nggak perlu." Rean tersenyum sinis, memejamkan mata sejenak. "Lo masih perlu belajar lagi, Yo."

Gio mengacak rambut dengan gusar, menatap tidak percaya. "Ini masalah kecil, woi! Lo--"

"Segala masalah besar juga berawal dari masalah kecil yang belum terselesaikan," potong Rean santai, mengeluarkan buku catatan dari laci meja.

Gio mengepalkan tangan dengan kesal, sontak dapat ia rasakan ujung jarinya mendingin seketika. Buku catatan merah itu bukankah ....

"Karena ini akhir bulan. Jadi, uang saku lo untuk bulan depan gue potong sepuluh persen."

Gio membulatkan mata, menatap tidak percaya. Ayolah! Uang sakunya yang seperti biasa saja sudah tergolong sedikit, hanya untuk kebutuhan bensin kendaraan dan beruntung lagi kalau dapat menikmati beberapa camilan mewah di kantin universitas. Sekarang? Dipotong lagi?

"Lo nyuruh gue jalan kaki?"

Rean tersenyum simpul, sibuk menggoreskan tinta hitam di buku catatan.

"Bang! Kampus gue sama rumah nggak dekat, woi! Lo mau nyiksa gue?"

"Yo ...." Rean menatap lembut, di saat semua orang mencintai pandangan penuh kasih sayang dan kehangatan, maka Gio benar-benar benci jika itu disorot dari mata bundar Rean. Bagi Gio, pandangan yang selalu Rean tujukan, tidak jauh beda untuk meremehkannya. "Lihat sekeliling lo."

"Bang, sekali saja, apa lo nggak bisa beri adik-adik lo kemudahan?"

Sebagai jawaban, Rean hanya mengangkat kedua alis, menumpu kepala kembali.

"Oke" Gio mengangguk pelan, berusaha menerima. Bagaimana juga ini konsekuensinya yang telah mengabaikan kepercayaan dari Rean. "Lo boleh hukum gue, tapi tolong, lo berbaik hati sama Bang Dikta, khususnya Nanta."

"Gue udah berbaik hati sama mereka," jawab Rean, tenang.

Sungguh! Gio tidak tau lagi, apakah Rean di depannya ini masih termasuk manusia atau bukan!

"Beri dia izin buat ikut kemah. Lo juga pernah seusianya, kan? Gue nggak tau kehidupan seperti apa yang lo jalani karena jarak umur kita terlalu jauh, tapi ini momen seumur hidup yang seharusnya dia dapatkan. Apa alasan lo nggak beri Nanta izin?"

"Alasan," ulang Rean, bola mata itu terangkat, berpikir. "Karena nggak cocok untuk dia."

Gio terperangah, tidak percaya dengan alasan Rean. "Sulit dipercaya, lo bisa berubah jadi sosok paling dewasa sekaligus kekanak-kanakan yang pernah gue lihat."

"Ya, begitulah," jawab Rean, santai.

"Jangan bilang ke gue, orang kayak lo nggak pernah ikuti masa perkemahan kayak gitu?"

"Gue nggak minat."

"Lo benar-benar, Bang." Tanpa sadar, kedua tangan Gio tergepal erat, mata bulat itu menyalang tajam. "Lo bisa memilih hidup seperti apa yang mau lo jalani! Sementara Nanta? Kenapa dia harus diatur sama orang kayak lo! Bokap Nyokap kayaknya terlalu manjain lo sampai-sampai gue harus punya abang kayak gini. Egois! Seenaknya!"

Rean tertawa, tanpa suara. "Setidaknya gue nggak lepas tanggung jawab buat mengurus hidup kalian."

"Hah?" Gio menatap meremehkan. "Bahkan lo nggak ada ngurus Bang Dikta, gue, Nanta sama sekali. Hadirnya lo atau tidak hadirnya lo juga tidak berpengaruh apa-apa! Malah lebih bagus kalau lo melepaskan tanggung jawab itu!"

Rean tidak menanggapi, matanya menatap sekeliling ruangan seakan sedang memilih buku apa yang mau ia bca setelah ini.

"Bicara perkemahan Nanta ...." Gio mengeluarkan amplop dari saku celana, setengah melambaikannya tepat di hadapan Rean. Sebelah sudut bibir Gio terangkat. "Itu jadi urusan gue. Lo boleh halangi gue sama Bang Dikta, tapi jangan coba-coba menghalang jalan hidup adik gue. Gue keluar dulu."

"Silahkan."

Pintu ruangan ditutup dengan kuat, meninggalkan keheningan yang mendalam. Rean yang tadi mencondongkan tubuh, kini bersandar di kursi putarnya. Sesekali ia memejamkan mata, sembari memijit pangkal hidungnya dengan pelan.

Benar-benar melelahkan.

___

Thanks for reading! I hope you enjoy it!
Vote, komen, kritik, dan sarannya sangat membantu ^^

Up : 17.03.22

Brother Notes [OPEN PRE-ORDER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang